buletinaufklarung.com - Obsesi terhadap produktivitas membuat individu merasa harus selalu sibuk dan menghasilkan sesuatu setiap saat. Pada akhirnya tidak hanya mengurangi keseimbangan kehidupan dan kesehatan mental, tetapi juga mengaburkan makna dari pencapaian dan kebahagiaan sejati. 

Terkadang, pencapaian karier juga diwarnai ketakutan akan kesuksesan itu sendiri (fear of success) yang membuat individu merasa cemas dan takut bertanggung jawab lebih besar.

Fenomena ini menjadi tantangan besar karena membentuk budaya kerja yang mengabaikan kebutuhan manusia akan istirahat dan refleksi diri, serta berpotensi menimbulkan stres kronis dan kelelahan. 

Apalagi dengan dihadapkan oleh fenomena yang kontras antara pencapaian materi dan profesional yang tinggi dengan kondisi psikologis individu.

Kondisi tersebut sering disebut sebagai existential vacuum, yaitu kekosongan eksistensial di mana seseorang merasa kehilangan makna dan tujuan hidup yang sesungguhnya. Meskipun kebutuhan fisik dan sosial terpenuhi, mereka tetap mengalami krisis identitas dan keutuhan diri.

Produktivitas sering dipahami sebagai ukuran seberapa banyak output atau hasil yang dapat dihasilkan seseorang dalam rentang waktu tertentu, biasanya dikaitkan erat dengan jam kerja, gaji, dan pencapaian eksternal lainnya (Sari, 2024)

Dalam konteks ini, nilai diri individu cenderung diukur berdasarkan performa kerja dan kemampuan menghasilkan keuntungan atau hasil yang nyata secara materi.

Jam kerja yang lebih panjang dan gaji yang tinggi sering dijadikan indikator keberhasilan dan produktivitas seseorang, sehingga nilai pribadi mulai terdefinisi oleh aspek-aspek ekonomi dan performatif tersebut. 

Konsep ini menggeser fokus dari kualitas hidup atau makna intrinsik aktivitas ke kuantitas dan hasil yang dapat diukur secara objektif.

Hubungan nilai diri dengan jam kerja, gaji, dan pencapaian eksternal ini menempatkan produktivitas sebagai tolak ukur utama dalam menilai eksistensi dan harga diri seseorang di masyarakat modern. 

Ketika nilai diri bergantung pada faktor-faktor eksternal tersebut, individu mungkin merasa tekanan untuk terus meningkatkan output kerja dan pencapaian materi sebagai bentuk pembuktian diri yang dapat mengabaikan aspek kesejahteraan psikologis dan sosial.

Akibatnya, produktivitas tidak hanya menjadi ukuran ekonomi, tetapi juga menjadi sumber stres dan alienasi ketika pengukuran nilai diri hanya berfokus pada prestasi yang tampak secara eksternal, bukan pada kualitas atau keseimbangan hidup secara menyeluruh.

Nihilisme dalam konteks produktivitas modern mencerminkan krisis makna di tengah tekanan untuk selalu produktif dan efisien dalam masyarakat yang serba cepat dan kompetitif. 

Di era modern, kehidupan sering terasa hampa karena nilai-nilai tradisional yang dulu menjadi landasan moral dan tujuan hidup mulai kehilangan maknanya.

Ketika hidup dan hasil kerja dianggap tidak memiliki tujuan atau nilai hakiki, individu rentan mengalami perasaan kekosongan dan ketidakpedulian; nihilisme eksistensial. 

Hal ini menjadi tantangan bagi banyak orang dalam menemukan motivasi sejati dan arti dari produktivitas mereka. Sehingga produktivitas modern kadang menjadi mekanisme kosong yang hanya berputar pada rutinitas tanpa makna yang dalam.

Namun, nihilisme juga bisa dianggap sebagai kesempatan untuk merefleksikan dan mendefinisikan ulang makna produktivitas sesuai dengan nilai-nilai baru yang mampu menjawab kecemasan eksistensial tersebut. 

Dalam konteks ini, individu diajak untuk tidak pasrah pada kehampaan, melainkan menciptakan sendiri makna dan nilai baru atas karya dan aktivitasnya.

Dalam situasi sosial dan teknologi sekarang yang serba kompleks dan berubah cepat, produktivitas tidak hanya soal pencapaian kuantitatif tetapi juga penciptaan nilai yang otentik dan bermakna bagi diri dan komunitas. 

Dengan demikian, menghadapi nihilisme dalam produktivitas modern membuka ruang bagi kreativitas moral dan refleksi lebih mendalam tentang tujuan hidup manusia di dunia kontemporer.

Nihilisme sendiri merupakan pandangan filosofis yang menyatakan bahwa kehidupan atau alam semesta tidak memiliki makna, tujuan, atau nilai intrinsik yang melekat (Alfi, 2023)

Secara singkat, nihilisme menolak adanya makna atau kebenaran mutlak yang diberikan secara objektif di dunia ini. Hal ini sering dianggap sebagai kritik terhadap sistem nilai tradisional atau agama yang mengklaim memberikan arti universal bagi eksistensi manusia.

Friedrich Nietzsche, salah satu tokoh utama nihilisme, menganggap nihilisme sebagai tantangan besar yang muncul akibat kematian nilai-nilai tradisional seperti agama dan moralitas, sehingga manusia kehilangan makna dalam hidupnya. 

Menurut Nietzsche, nihilisme terjadi ketika nilai-nilai tertinggi mendevaluasi diri mereka sendiri. Sehingga dunia dan keberadaan manusia dianggap tanpa makna lebih tinggi (Munir, 2011).

Namun, nihilisme tidak harus berakhir pada keputusasaan atau sikap pasif yang putus asa. Justru, pengakuan bahwa tidak ada makna yang sudah "diberikan" sebelumnya bisa menjadi momentum penting untuk menghadapi kenyataan secara jujur dan realistis. 

Ini adalah titik awal untuk melepaskan ilusi dan dogma yang mungkin membelenggu pemikiran atau tindakan manusia selama ini.

Dengan menyadari ketiadaan makna yang sudah ada, seseorang justru diberikan kebebasan untuk menciptakan makna sendiri. Ini berarti bahwa makna hidup bukanlah sesuatu yang ditemukan, melainkan sesuatu yang harus dibangun dan dirumuskan secara aktif oleh individu atau komunitas. 

Dalam konteks ini, nihilisme membuka ruang kreativitas dan tanggung jawab pribadi untuk menentukan tujuan hidup. Dengan demikian, nihilisme adalah posisi filosofis yang dapat membebaskan seseorang dari keterikatan makna yang bersifat paksa atau palsu. 

Alih-alih menjadi jurang keputusasaan, nihilisme adalah panggilan untuk membangun makna yang otentik dan bermakna secara pribadi, menjadikan kehidupan sebuah proyek yang terus berkembang sesuai dengan nilai dan cita-cita yang dibuat sendiri.

Mengatasi nihilisme dan krisis makna dalam produktivitas manusia dapat dimulai dengan mengembangkan kesadaran akan tujuan hidup yang lebih dalam dan autentik, yang melampaui sekadar pencapaian materi atau status sosial. 

Manusia perlu menggali nilai-nilai personal dan kolektif yang memberikan arti pada setiap aktivitasnya seperti kontribusi positif bagi sesama, pengembangan diri yang berkelanjutan.

Selain itu, membangun komunitas yang suportif dan berdiskusi secara reflektif tentang makna hidup dapat membantu menghadirkan rasa keterikatan dan tujuan bersama. Praktik mindfulness dan pengelolaan stres juga dapat memperkuat fokus dan kebahagiaan intrinsik dalam bekerja.

Sehingga produktivitas tidak sekadar hasil kuantitatif, tetapi juga bermakna secara psikologis dan eksistensial. Dengan begitu, manusia mampu melampaui perasaan kosong dan menemukan motivasi yang mendalam untuk berkarya secara konsisten dan bermakna.

Ro’iyal A’la Muzakki

Santri Pusat Kajian Filsafat dan Teologi