buletinaufklarung.com - Dalam
dunia Politik, pada intinya bukanlah tentang idealisme, demokrasi, atau
moralitas yang luhur. Politik adalah tentang kekuasaan yang diperebutkan atas
kepentingan kelompok atau individu untuk merebutkan kekuasaan. Perebutan
kekuasaan sering kali bersifat brutal, dingin, dan mementingkan hasil di atas
segalanya.
Sejarah
Indonesia mencatat momen ini dengan sangat jelas pada tahun 1965, sebuah
periode krusial yang menentukan arah bangsa yakni tragedi pemberontakan enam
jenderal dan 1 perwira yang dibunuh secara brutal dan jasadnya dimasukkan
kedalam lubang yang sangat tidak manusiawi (Adriyanto, 2018). Tragedi tersebut bisa
dikenal dengan Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G30S PKI).
Peristiwa
ini adalah puncak dari intrik, polarisasi, dan pertumpahan darah yang
melibatkan kekuatan politik terbesar saat itu. Untuk memahami drama kekuasaan
yang sekejam itu, kita perlu meminjam lensa dari seorang filsuf yang jujur
secara brutal; Niccolo Machiavelli.
Dalam
karyanya yang terkenal, Principe
(Sang Pangeran), Machiavelli tidak menulis bagaimana seharusnya seorang
penguasa bertindak, melainkan bagaimana ia benar-benar bertindak demi
mempertahankan atau merebut kekuasaan (Muhammad Boim et al., 2023).
Inilah
tesis utama pada Gerakan 30 September 1965 Partai Komunis Indonesia (G30S PKI)
dan respons yang mengikutinya dapat dibaca sebagai praktik murni Machiavellian
– sebuah permainan kekuatan dimana upaya mendapatkan atau mempertahankan
kekuasaan adalah satu-satunya moralitas.
Bagi
Machiavelli, nasib seorang pemimpin ditentukan oleh dua hal ini. Virtu
bukanlah kebajikan moral, melainkan kecakapan, keberanian, dan ketegasan
seorang pemimpin untuk mengambil tindakan cepat dan efektif. Ini adalah
kemampuan untuk mengendalikan situasi.
Sementara
itu, Fortuna adalah nasib atau kesempatan, variabel tak terduga dalam
politik (seperti cuaca buruk atau krisis tak terduga) yang harus ditaklukkan
oleh Virtu. Pemimpin yang unggul adalah yang mampu melihat peluang (Fortuna)
dan bertindak dengan kecakapan (Virtu) untuk menguasainya.
Machiavelli
mengatakan bahwasannya seorang pangeran idealnya dicintai dan ditakuti, namun
jika harus memilih. Selanjutnya Machiavelli menyarankan lebih baik ditakuti (Alfian, 2018). Hal ini dikarenakan
cinta bersifat sementara dan mudah dipecah oleh kepentingan pribadi. Sementara
ketakutan adalah kontrak yang dipegang teguh oleh hukuman. Ketakutan adalah
fondasi yang lebih kokoh untuk stabilitas negara, asalkan pangeran tersebut
menghindari dibenci oleh rakyatnya.
Prinsip
ini berakar pada realisme politik ketika kedaulatan negara atau ambisi
kekuasaan tertinggi dipertaruhkan. Machiavelli berargumen bahwa tindakan yang
diperlukan ketika sangat kejam, keji, atau tidak etisnya akan dibenarkan oleh
keberhasilan tujuannya. Bagi seorang pangeran atau pemimpin, yang penting
adalah mengamankan hasil (kekuasaan), sementara cara akan dilupakan atau
diampuni oleh massa.
Gerakan
30 September Partai Komunis Indonesia
(G30S PKI) adalah manifestasi ekstrem dari upaya merebut kekuasaan. Partai
Komunis Indonesia sebagai kekuatan yang menantang status quo,
menunjukkan Virtu yang luar biasa dalam persiapan, namun gagal fatal
dalam eksekusi.
Sebelum
1965, PKI di bawah D.N. Aidit menunjukkan virtu politik yang tajam.
Mereka berhasil membangun dukungan massa hingga jutaan, menyusup ke
lembaga-lembaga negara, dan melakukan virtu yang paling penting;
bersekutu dengan pangeran yang berkuasa; Soekarno.
Aksi
G30S PKI sendiri adalah tindakan keberanian berisiko yang tinggi dengan
menantang status quo secara frontal dengan target yang sangat spesifik
(Jenderal Angkatan Darat). Hal tersebut meruapakan tindakan yang dipicu oleh
perhitungan dingin untuk menciptakan kekosongan kekuasaan.
Pembunuhan
para Jenderal memang kejam, tetapi dalam konteks Machiavellian, tindakan itu
adalah kekejaman yang digunakan dengan buruk. PKI gagal melumpuhkan seluruh
struktur militer, gagal mengamankan pusat komunikasi dan kendali, dan gagal
menjelaskan tindakan mereka secara meyakinkan kepada publik. Kekejaman yang
gagal hasilnya justru gagal mengamankan kekuasaan dan bangkitkan kebencian dan
kemarahan besar di kalangan musuh serta mempersiapkan panggung untuk
pembalasan.
PKI
tidak cukup siap untuk menghadapi serangan balik ketika fortuna berbalik
ketika angkatan darat bereaksi cepat. Jika PKI gagal sebagai penantang yang
Machiavellian, Angkatan Darat yang kemudian dipimpin oleh Soeharto berhasil
menjadi sang pangeran yang memulihkan dan mengamankan kekuasaan.
Respons
militer segera setelah G30S PKI adalah contoh Virtu yang sukses.
Soeharto bertindak cepat untuk mengkonsolidasikan pasukan dan menguasai kembali
vitalitas ibu kota serta memimpin penumpasan. Kecepatan dan ketegasan ini
adalah kunci. Penumpasan dan penangkapan massal yang terjadi berikutnya adalah
kekejaman yang digunakan dengan baik karena dilakukan secara tuntas dan cepat
untuk menghilangkan ancaman musuh secara total.
Langkah
berikutnya adalah menghilangkan semua tantangan ganda. Penyingkiran Soekarno
dari kursi kepresidenan melalui Supersemar dan sidang-sidang berikutnya dan
pelarangan total PKI adalah langkah politis yang dingin tanpa emosi.
Peristiwa
Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia
(G30S PKI) dengan segala tragedi
dan implikasinya adalah studi kasus yang sempurna mengenai dinamika kekuasaan
yang brutal dan abadi sesuai dengan cetak biru yang ditulis Machiavelli lima
abad sebelumnya. Ini adalah kontes antara Virtu yang gagal; Partai Komunis
Indonesia melawan Virtu yang berhasil; angkatan darat atau orde baru.
Tragedi
(G30S PKI) bukan sekadar konflik ideologi, tetapi perang antara dua kekuatan
yang sama-sama berpegang pada prinsip kebutuhan politik di atas moralitas.
Pemikiran Machiavelli mengajarkan kita untuk melihat politik bukan dari sudut
pandang moralitas yang kita inginkan; realitas kekuasaan yang keras dan abadi.
Dengan
melihatnya melalui lensa ini, kita mungkin tidak lagi merasa terkejut dengan
kekejaman sejarah. Akan tetapi justru memahami mengapa kekejaman itu dianggap
perlu oleh para aktornya. Betapa relevannya pemikiran kuno ini dalam memahami
tragedi modern.
Ro’iyal
A’la Miuzakki
Santri
Pusat Kajian Filsafat dan Teologi