Wajah politik dewasa ini diwarnai oleh hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Hilangnya kepercayaan ini disebabkan oleh pengalaman buruk yang berkaitan dengan pemerintah. Tidak jarang kita temui berbagai kasus dalam perpolitikan, seperti jual beli suara, kebijakan yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat higga korupsi yang dilakukan oleh pemerintahan.

Pengalaman tersebut memberikan dampak traumatik bagi masyarakat, sehingga mereka memunculkan purba prasangka terhadap pemerintah. Kemunculan purba prasangka terhadap pemerintah merupakan bentuk pertahanan masyarakat supaya terhindar dari kejadian serupa yang pernah mereka alami. Respon positif yang dapat dilakukan masyarakat dalam menangani purba prasangka ini adalah dengan cara melawan (misal melalui tulisan, vandal, tindakan golput dan lain sebagainya).

Melihat dampak yang ditimbulkan dari trauma yang dialami masyarakat tentu saja akan mengancam indeks demokrasi dalam sistem pemerintahan suatu negara. Terlebih Indonesia akan menyelenggarakan pesta demokrasi pada tahun 2024. Namun sebelum kita membahas PEMILU 2024, kita akan membahas pesta demokrasi pada skup yang lebih kecil, yakni pemerintahan diranah perguruan tinggi.

Soe Hok Gie (1969), mengungkapkan bahwa nilai idealisme tertinggi berada pada mahasiswa. Sayangnya, mahasiswa saat ini mulai menunjukkan kotornya politik melalui jual beli suara, penguasaan KPU, dan cara terkutuk lainnya. Hal ini menunjukkan betapa mirisnya mahasiswa saat ini yang mengalami degradasi nilai etis dan terjerumus pada politik praksis.

Fenomena ini mengingatkan penulis pada salah satu tokoh filsafat politik yang tersohor pada abad pencerahan, yakni Niccolo Machiavelli. Dalam bukunya ‘Il Principe’ Machiavelli membahas terkait bagaimana cara merebut, membentuk, hingga mempertahankan kekuasaan yang tidak mengindahkan kepentingan masyarakat.

Dalam ‘Il Principe’ Niccolo Machiavelli menjelaskan bahwa kualitas moral utama seperti agama dan kejujuran (tanda kutip dalam ranah narsisitik) adalah hal yang harus dilakukan oleh seorang pemerintahan. Machiavelli juga sadar bahwa cara terbaik untuk mencapai tujuan politik yaitu dengan cara melalui agama dan kejujuran.

Memperbincangkan terkait memperebutkan kekuasaan, Machiavelli memberikan sodoran dengan cara menjadikan musuh dari musuh calon pemimpin sebagai teman. Pendapat ini dia lontarkan karena kita bisa memanfaatkan kekuatannya dalam mengalahkan musuh bersama. Kekuatan ini dapat terbentuk ketika menjalin sebuah aliansi (penulis lebih nyaman menyebutnya dengan ‘persatuan rakyat terkutuk’) dalam menghadapi musuh yang sama.

Selanjutnya, dalam rangka membentuk kekuasaan sesorang pemimpin harus menghukum rezim yang telah dia gulingkan dengan hukuman yang seberat-beratnya. Ini dimaksudkan untuk membuat rezim tersebut tidak bisa bangkit kembali untuk meraih kekuasaannya.

Selain itu, dalam membentuk kekuasaan seorang pemimpin harus memutuskan aliansi yang sebelumnya telah dibentuk. Bahkan teman terdekat sekalipun, apabila dia dianggap memiliki kelebihan maka dia harus disingkirkan. Karena hal tersebut berpotensi mengganggu kekuasaan sang pemimpin.

Dalam mempertahankan kekuasaan, seorang pemimpin dapat menunjukkan kejujurannya atau kebijakannya di hadapan masyarakat. Hal ini bukan ditujukan suapaya seorang pemimpin dicintai oleh rakyatnya. Akan tetapi, bagi Machiavelli seorang pemimpin lebih baik ditakuti ketimbang dicintai oleh masyarakatnya.

Serangkaian sodoran strategi politik yang diberikan oleh Machiavelli dapat tercermin pada nuansa politik hari ini. Banyak pemimpin yang sedang menduduki pemerintahan tertinggi di wilayahnya tidak mementingkan kepentingan masyarakat. Mereka hanya mementingkan kepentingan mereka sendiri, namun dibalut dengan kata ‘kepentingan rakyat’.

Kembali pada pembahasan di awal perihal purba prasangka, situasi politik pada saat ini yang besar kemungkinan dipengaruhi oleh pemikiran Machiavelli memanglah memerlukan purba prasangka masyarakat sebagai counter-nya. Masyarakat bisa menempatkan dirinya sebagai oposisi yang berusaha mengganggu kemapanan pemerintah melalui kritik yang membawa wacana segara untuk kepentingan masyarakat.

Misalnya tahun 1998 yang menjadi tahun runtuhnya kemapanan rezim orde baru yang disebabkan oleh banyaknya mahasiswa yang melakukan demonstran untuk memberi wacana segar dalam ruang demokrasi. Hal ini menunjukkan bahwa keadilan masih bisa diperjuangkan, tetapi bukan untuk setiap orang, melainkan bagi mereka yang memperjuangkannya.

Demikan pemikiran dari Machiavelli yang mengesampingkan moral demi mencapai kekuasaan. Namun, apakah anda akan berdiam diri melihat hal ini? Coba saja anda tulisakan sebuah tulisan yang mengkritik pemerintahan di wilayah anda. Apabila pemerintahan mulai panik dan melakukan berbagai tekanan, maka itu adalah ciri bahwa mereka adalah pemerintahan yang otoritatif.

Akhmad Nur Khoiri

Santri Pusat Kajian Filsafat dan Teologi