Dewasa ini, kebutuhan manusia diwarnai dengan iklan pemasaran yang tersebar di media massa. Iklan tersebut tujuannya untuk menarik perhatian manusia untuk membelinya.

Berbagai fenomena seperti jual beli, takut akan ketinggalan trend, pengaruh media sosial menjadi simbol konsumerisme sebagai kompleksitas yang dipengaruhi oleh kemajuan teknologi dan globalisasi.

Meskipun ada sedikit dampak positifnya pada pembukaan lapangan kerja, dampak negatifnya jauh lebih dominan dan perlu diwaspadai, baik bagi individu, masyarakat, maupun lingkungan.

Apalagi manusia dengan gaya hidup yang modern yang didominasi oleh konsumerisme yang semakin banyak barang dimiliki dianggap selalu memiliki kebahagiaan. Dengan begitu, benarkah demikian?

Sejak zaman dahulu, para filsuf telah bergulat dengan pertanyaan fundamental tentang hakikat kebahagiaan. Pendapat Aristoteles mengenai kebahagiaan bukanlah sekadar perasaan senang sesaat, melainkan untuk pengembangan potensi diri secara penuh melalui kehidupan yang bijak dan bermakna (Nugroho, 2022).

Di sisi lain, Epicurus menyoroti pentingnya ketenangan jiwa dan kebebasan dari rasa sakit. Ia mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati ditemukan dalam kesederhanaan, persahabatan yang tulus, dan kepuasan akan kebutuhan dasar, bukan dalam kemewahan atau pengejaran kesenangan yang berlebihan (Sista Santika, 2022).

Konsumsi yang berlebihan justru dapat membawa kecemasan, ketergantungan, dan pada akhirnya, ketidakbahagiaan. Dampaknya juga akan menimbulkan problematika terhadap sesama manusia karena merasa dirinya tidak cukup dengan kebutuhannya.

Filsafat Buddha juga mengajarkan bahwa penderitaan berakar pada nafsu dan kemelekatan. Kebahagiaan sejati dicapai melalui pelepasan diri dari keinginan material dan pengembangan kebijaksanaan serta kasih sayang (Yadain, 2016).

Gaya hidup konsumtif di era modern ditandai dengan dorongan untuk selalu membeli barang terbaru, mengikuti trend, dan memenuhi standar sosial tertentu, sering kali demi citra diri atau status sosial.Gaya hidup konsumtif dibangun dengan alasan bahwa kebahagiaan terletak pada kepemilikan.

Kebanyakan manusia terjebak dalam perlombaan untuk "memiliki" daripada "menjadi". Waktu dan energi yang seharusnya digunakan untuk mengembangkan diri, mempererat hubungan sosial, atau berkontribusi pada masyarakat, justru dialihkan untuk bekerja keras demi membeli barang-barang yang mungkin tidak benar-benar kita butuhkan.

Konsumerisme, menurut Jean Baudrillard, adalah pola konsumsi berlebihan yang didorong oleh keinginan untuk memiliki komoditas sebanyak-banyaknya tanpa mempertimbangkan nilai esensialnya. Konsumerisme modern seringkali menjerat manusia dalam siklus belanja impulsif, di mana identitas dan kebahagiaan diukur dari kepemilikan barang, bukan dari kualitas hidup atau makna batin (Tsani Syafiq Nuruddin & Himmati, 2023)

Media massa dan iklan secara brutal mengkonstruksi citra ideal dimana kebahagiaan ditandai dengan produk-produk terbaru seperti trend fashion terkini, atau gadget tercanggih. Kita diajak untuk percaya bahwa status sosial, penerimaan, dan bahkan rasa aman dapat diperoleh melalui apa yang kita beli.

Namun, kebahagiaan yang ditawarkan oleh konsumsi seringkali bersifat fana. Bagaimana tidak, kesenangan yang muncul saat membeli barang baru cenderung berumur pendek, diikuti oleh perasaan hampa dan kebutuhan untuk mencari "sesuatu yang lain" lagi.

Hal tersebut merupakan siklus yang tak ada habisnya, karena disadari atau tidaknya manusia selalu butuh akan sesuatu, baik dalam segi makanan, pakaian ataupun aksesoris lainnya. Gaya hidup konsumtif seringkali juga mendorong kita untuk mengabaikan nilai-nilai yang lebih dalam.

Mengurangi ketergantungan pada konsumsi bukan berarti kita harus hidup dalam kemiskinan atau mengisolasi diri. Ini adalah undangan untuk menjadi lebih sadar dan bijaksana dalam setiap keputusan pembelian, untuk membedakan antara kebutuhan dan keinginan, serta untuk mencari kepuasan di luar ranah material.

Pandangan filsafat tentang kebahagiaan jelas bertabrakan dengan gaya hidup konsumtif modern. Filsafat menekankan kebahagiaan sebagai hasil dari pengendalian diri, kebajikan, dan pencarian makna, sementara gaya hidup konsumtif justru mendorong pemuasan hasrat tanpa batas, yang pada akhirnya menimbulkan ketidakpuasan dan kegelisahan.

Kebahagiaan dalam kacamata filsafat bersifat stabil, mendalam, dan tidak bergantung pada faktor eksternal. Sebaliknya, kebahagiaan dalam gaya hidup konsumtif bersifat dangkal, sementara, dan selalu menuntut lebih banyak. Hal ini menciptakan paradoks: semakin banyak seseorang mengejar kebahagiaan melalui konsumsi, semakin sulit ia meraihnya secara hakiki.

Kebahagiaan sejati bukanlah sesuatu yang bisa dibeli. Ia adalah hasil dari proses internal, dari pengembangan diri, dari koneksi yang bermakna dengan orang lain, dan dari kontribusi positif terhadap dunia.

Tentunya, kebahagiaan bisa dibentuk melalui penemuan makna dan tujuan hidup dari setiap tindakan yang dilakukan, memiliki hubungan yang membawa pada pengembangan diri, memiliki sifat yang sederhana dan merasa cukup.

Selanjutnya Untuk mengatasi dampak negatif konsumerisme dan meraih kebahagiaan sejati, diperlukan perubahan pola pikir dan tindakan yang signifikan. Dengan mengurangi ketergantungan pada konsumsi material dan beralih fokus pada nilai-nilai yang lebih mendalam.

Bukan berarti hidup dalam kemiskinan, melainkan menjadi lebih sadar dan bijaksana dalam setiap keputusan pembelian, mampu membedakan antara kebutuhan dan keinginan

Penting sekali bahwa kebahagiaan tidak dapat dibeli dan tidak bergantung pada kepemilikan barang. Kebahagiaan yang ditawarkan oleh konsumsi seringkali bersifat fana, hanya memberikan kesenangan sesaat yang kemudian diikuti oleh perasaan hampa. Alih-alih mengejar trend dan status sosial melalui barang, kita perlu mencari kepuasan di luar ranah material.

Ro’iyal A’la Muzakki

Santri Pusat Kajian Filsafat dan Teologi