buletinaufklarung.com - Hidup di tengah hiruk pikuk masyarakat yang memiliki ekspektasi sosial, banyak individu yang berusaha memenuhi standar yang ditentukan oleh kelompok sosial untuk diterima atau dihargai. Individu tersebut merasa bahwa eksistensinya bergantung pada bagaimana orang lain melihat mereka.

Ketergantungan sosial dapat dipahami sebagai kebutuhan manusia untuk diakui dan dihargai oleh orang lain dalam suatu komunitas. Pengakuan oleh orang lain adalah bagian integral dari perkembangan diri manusia.

Individu tidak dapat sepenuhnya mengenal dirinya tanpa adanya evaluasi dari orang lain. Dalam proses ini, manusia mencari pengakuan dari orang lain sebagai bentuk validasi diri mereka (Hary Susanto, 2019).

Di era digital ini, pengakuan oleh orang lain juga menjadi alat utama untuk membangun citra diri. Proses ini sering kali melibatkan penyajian diri yang ideal dan terkontrol, yang mungkin saja berbeda jauh dengan kenyataan yang asli. Hal ini menciptakan jarak antara "diri yang sebenarnya" dan "diri yang ditampilkan”.

Self Image di era digital semakin kuat terwujud melalui konten yang beberapa orang bagikan, kasus seperti ini sering muncul pada individu yang terjebak dalam siklus mencari pujian atau pengakuan di media sosial.

Misalnya, seseorang yang merasa perlu terus menerus mendapatan “likesatau komentar postif dari orang lain dan hal tersebut menjadi penentu sejauh mana mereka merasa dihargai atau diterima.

Pemenuhan citra diri ini sering kali lebih ditentukan oleh bagaimana kita ingin dilihat oleh orang lain, bukan oleh siapa kita sebenarnya. Media sosial memungkinkan individu untuk membangun versi ideal dari diri mereka yang sering kali jauh dari kenyataan.

Namun, dalam proses pemenuhan ini, sering kali kita menghadapi kenyataan pahit bahwa ketergantungan sosial dan pemenuhan citra diri dapat menyebabkan hilangnya jati diri yang sesungguhnya.

Kehilangan diri terjadi ketika individu tidak lagi dapat membedakan antara siapa dirinya yang sesungguhnya dan siapa dirinya yang dibentuk oleh harapan atau penilaian orang lain (Akilah Mahmud, 2024).

Pemenuhan pengakuan menjadi masalah ketika individu terlalu fokus pada eksistensi sosial, yang mana mereka mengorbankan kebebasan untuk memilih dan membentuk makna hidup mereka sendiri. Alih-alih hidup secara autentik, mereka terjebak dalam penciptaan citra diri yang bisa diterima oleh orang lain.

Jika seseorang terlalu fokus pada bagaimana dia dilihat orang lain, dia mungkin akan mengabaikan nilai-nilai dan keyakinan pribadinya, yang pada akhirnya bisa saja dia menimbulkan kekosongan eksistensialnya sendiri.

Kondisi seperti ini mengakibatkan seseorang berada dalam kondisi dimana mereka menipu dirinya sendiri bahkan bisa saja menipu orang lain dengan berpura-pura menjadi sesuatu yang bukan dirinya demi memenuhi ekspektasi orang lain.

Seseorang akan merasa cemas dan khawatir apabila kehilangan nilai atau makna dalam hidup mereka, dikarenakan mereka sering merasakan penolakan atau ketidakmampuan untuk memenuhi harapan sosial. Akibatnya seseorang tersebut merasa tidak diterima oleh orang lain.

Selain itu, seseorang yang selalu mencari validasi dengan memenuhi ekspektasi orang lain akan terkekang dengan kebebasan mereka sendiri. Kebebasan tersebut seringkali dibatasi orang lain, yang mempengaruhi cara kita melihat diri sendiri.

Kasus lain dapat mengarah pada tekanan sosial yang diberikan oleh norma-norma budaya atau kelompok sosial tertentu untuk menjaga citra diri yang sesuai dengan harapan mereka. Ini bisa menciptakan ketegangan antara keinginan untuk tetap menjadi diri sendiri dan kebutuhan untuk diterima dalam kelompok atau masyarakat tertentu.

Jean Paul Sartre (1905-1980), seorang filsuf eksistensial terkemuka, memberikan pandangan yang mendalam mengenai isu ini, terutama mengenai bagaimana ketergantungan pada pengakuan orang lain bisa membawa individu pada kehilangan identitas ke-autentikan mereka.

Sartre mengajarkan bahwa kebebasan sejati terletak pada kemampuan untuk menerima ketidaksempurnaan dan kesalahan sebagai bagian dari eksistensi manusia.

Kebebasan bukanlah hasil dari pemenuhan citra diri maupun pengakuan orang lain, tetapi sebuah proses internal yang memungkinkan seseorang untuk menjadi dirinya sendiri, tanpa terikat oleh pandangan orang lain.

Melalui pemahaman ini, Sartre menekankan pentingnya keberanian untuk hidup autentik, tanpa terjebak dalam kebutuhan akan validasi sosial. Seseorang yang bebas tidak lagi terikat oleh keinginan untuk menciptakan makna hidup berdasarkan pilihan dan tanggung jawab pribadi.

Cara untuk melakukannya dapat dengan melalui refleksi pribadi dan intropeksi diri yang mana dapat meningkatkan kesadaran diri. Proses seperti ini dapat membantu seseorang untuk kembali kepada esensi diri mereka yang autentik.

Salah satu cara untuk melakukannya adalah dengan menjaga jarak dengan tekanan sosial dan lebih fokus pada nilai-nilai yang penting bagi dirinya sendiri adalah kunci untuk membangun rasa percaya diri yang lebih kuat. Menghargai diri sendiri dan tidak perlu validasi dari orang lain membuat seseorang menemukan kebebasan tersebut.  

Wahyu Nur Sa'diyah

Santri Pusat Kajian Filsafat dan Teologi