Setiap manusia menyimpan persepsi yang berbeda-beda tentang Tuhannya, dan perbedaan itu lahir dari patokan hidup yang ia jadikan pijakan. Ada kalanya persepsi itu berasal dari pengalaman nyata yang ia lalui sehari-hari.

Bagi sebagian orang, Tuhan  dipandang sebagai sesuatu yang buruk. Hal tersebut dikarenakan segala perintah telah dilaksanakan, kebahagiaan yang diharapkan selalu saja gagal. Ada juga yang kecewa karena mendengar kata-kata pemuka agama yang membuat Tuhan dan agama itu sendiri dinilai buruk karena terlalu ketat dan mengatur.

Namun di sisi lain, ada yang justru memandang Tuhannya baik, sebab dalam hatinya ia yakin bahwa Tuhan selalu hadir dan menghadiahkan kebahagiaan yang sepadan dengan ibadah yang selama ini ia jalankan.

Tidak sedikit pula yang merasa dekat dengan Tuhan karena di tengah dosa-dosa yang ia lakukan, nikmat dunia masih mengalir kepadanya. Dari situ manusia mengucap syukur dengan sederhana seakan-akan nikmat itu sudah cukup baginya.

Merenungi tentang Tuhan terkadang menjadi kebiasaan bagi manusia dikala mereka sedang kebingungan ataupun di tengah ramainya pikiran di kepala. Dimulai dari agama yang diyakininya, manusia seringkali mencoba berbagai cara agar dapat memahami bagaimana Tuhan sesungguhnya.

Maka itu, buku Sujiwo Tedjo yang berjudul “Tuhan Maha Asyik” hadir untuk mengingatkan dan secara tidak langsung membuka mata manusia yang telah bingung akan bagaimana, mempertanyakan keberadaan, dan apa sebenarnya Tuhan itu.

Bahwa Tuhan sesungguhnya dapat menjadi sahabat, orang tua, maupun orang baik yang hadir dalam kehidupan setiap hamba-Nya, tanpa diatur oleh apapun ataupun siapapun, dan tanpa mengatur ketat hamba-Nya agar selalu berpikir bahwa manusia membutuhkan Tuhan bukan sebaliknya.

Melalui cerita yang disusun oleh Sujiwo Tedjo, pembaca akan diajak untuk menimbang ulang bagaimana persepsi mereka akan Tuhannya yang selama ini mungkin dipengaruhi oleh doktrin doktrin dan pengalaman pribadi mereka tentang ketidaknyamanan dan ketidakpuasan setelah menjalankan apa perintah-Nya (Sujiwo Tedjo 2017). Dengan ini manusia dapat dengan bebas berekspresi dan melahirkan gagasan baru tentang Tuhannya melalui dirinya sendiri.

Pria kelahiran Jember ini, menuliskan bukunya yang berjudul ‘Tuhan Maha Asyik’ yang mudah dipahami termasuk masyarakat awam. Untuk mereka tercinta novel, tentu saja alur yang dituliskan oleh Tedjo ini tidak begitu sulit untuk dicerna dan dipahami setiap kalimatnya.

Dengan memasukkan budaya-budaya Indonesia salah satunya wayang, memberikan perumpamaan yang di mana semua itu familiar. Gaya kepenulisan Tedjo yang tidak terlalu baku ini nampaknya bukan seperti membaca seorang penulis besar melainkan mendengarkan cerita dari seorang sahabat.

Melalui kosakatanya yang unik serta familiar, banyak nilai yang terkandung di dalamnya, tentang memaknai dan bagaimana cara kita sebagai manusia mengetahui keberadaan Tuhan dan mencintai Tuhan dengan semestinya, tak lupa dengan kritik manis sebagai hiasan untuk menusuk mereka yang membicarakan agama dan menyebabkan manusia lahir dengan ketidaksukaannya pada agama serta Tuhan.

Konsep yang diatur oleh Sujiwo Tejo memiliki makna tersendiri bahwa Tuhan mencintai manusianya, mencintai hambanya tanpa ada syarat dan tanpa ada tekanan yang membuat hamba-Nya merugi.

Kalimat-kalimat yang ditata oleh Sujiwo Tejo ini seakan-akan tidak menghakimi mereka yang sedang membenci Tuhannya dan belum mencintai Tuhannya, namun mengajak semua manusia yang sedang cinta benci atau pun yang sedang ragu akan Tuhannya dan menalar kembali merasakan kepekaan antar batin sebagai Tuhan dan umat.

Dimulai dengan pembuka dimana ‘Wayang’ yang menceritakan bagaimana Tuhan mau otak-atik segala yang ada di bumi termasuk kehidupan manusia, adanya kehadiran Tuhan justru dimulai dari rakyat jelata (Marhaen), walaupun mereka hina di mata manusia namun mereka tidak hina di mata Tuhan (Cacing).

Dari hal-hal kecil manusia belajar bahwa Tuhan sesungguhnya mutlak, tidak berubah, dan yang merubah hanyalah manusia (Zat), dan Tuhan juga mencintai semua yang telah Ia ciptakan tanpa ada syarat (Gincu).

Lakon Bima yang hadir dalam buku ini dengan segala perjuangannya (Antareja) juga mengingatkan bahwa sebagai manusia semua yang ada di diri kita dan kehidupan adalah titipan semata (Nyawa), karena hal itu sebagai manusia kita tidak boleh menyepelekan hal kecil karena Tuhan menciptakan hal-hal kecil bahkan ada yang dengan 1000 manfaatnya (Ketombe).

Berdoa kepada Tuhan tidak akan pernah membuat manusia merasa kecewa (Komat-kamit), dan ketersesatan dalam hidup bukanlah suatu kesalahan atau perbuatan zina (Tersesat), malah menunjukkan kita pelan-pelan menuju jalan yang tepat yang dikehendaki-Nya untuk mengenali diri sendiri dan mengenali Tuhan (Diri).

Keyakinan diri kita akan Tuhan bukan terletak dari mereka yang katanya menaati agama, karena mereka yang mengatakan bahwa mereka ialah taat agama hanyalah ingin memberi makan terhadap ego mereka (Sombong), iming-iming dan mengajak untuk masuk ke dalam sesuatu yang sebetulnya tidak manusia butuhkan hanya dapat merubah persepsi yang awalnya yakin akan Tuhan menjadi ragu (Logo), karena Tuhan sering mengingatkan manusia lewat hal-hal kecil yang terkadang manusia tidak peka akan hal itu (Pertanda).

 Kenakalan (Main-main) dan minimnya pengetahuan (Tidak tau) bukan menjadikan kita sebagai manusia rasa kurang dalam hubungan intim kepada Tuhan (Jalan Iman), lewat perjuangan, keyakinan, dan doa cukup menjadikan kita manusia yang beriman dan percaya Tuhan itu ada (Doa).

Cukup mengkritik dan mempertanyakan keberadaan Tuhan, karena Tuhan mempunyai hakikat yang istimewa tidak seperti manusia ataupun yang Ia ciptakan (Nama), mencintai Tuhan dengan sederhana seperti ketika kita mengingat akan orang yang kita cintai sudah menjadi cukup bagi-Nya (Mengingat).

Pada kenyataannya, Sujiwo Tejo memperindah keberadaan Tuhan lewat setiap aksara yang telah ia tata. Tidak selesai di buku, perumpamaan akan Tuhan ini juga ditembangkan lewat lagu yang berjudul “Nadian”. Melewati alunan musik yang aesthetic nan tidak membosankan itu dan lirik yang menyentuh, secara halus dapat merubah 180° manusia terhadap Tuhannya.

Pada akhirnya, Tuhan Maha Asyik menghadirkan perjalanan batin yang mengajarkan kita untuk tidak sekadar sibuk pada nama, logo, atau ketombe kehidupan yang remeh, melainkan berani menemukan diri sejati, merangkul tersesat, dan mensyukuri nyawa sebagai titipan.

Setiap bab seakan menuntun kita untuk menyadari bahwa doa tak harus komat-kamit, iman tak selalu lurus, dan utusan Tuhan bisa hadir dari arah mana pun, bahkan dari hal-hal yang paling sederhana.

Ketika semua itu dirangkai dengan nada serta lirik dalam lagu Nadian, terasa semakin jelas bahwa pesan Tejo tidak hanya berhenti di teks, tetapi juga hidup dalam musik: Tuhan begitu dekat, lembut, hadir di sela tawa dan air mata kita.

Karena itulah, membaca buku ini sama artinya dengan diajak menari dalam keasyikan hidup, menyadari bahwa memang benar, Tuhan itu Maha Asyik.

Nabila Al-Jannata Hilmi

Santri Pusat Kajian Filsafat dan Teologi