Buletin Aufklarung. com Pada hari Jum’at - Minggu 25-27 Juli 2025, Pusat Kajian Filsafat dan Teologi (PKFT) kembali menggelar Madrasah Filsafat, sebuah forum intelektual yang menawarkan ruang kontemplasi dan kritik melalui pendekatan lintasdisipliner sebagai upaya untuk mencari makna dengan spirit semangat belajar bersama.

Madrasah filsafat pada kali ini memiliki kemasan yang berbeda dari tahun sebelumnya yang beberapa tahun terakhir diadakan di Tulungagung, akan tetapi pada tahun ini diadakan di Ponorogo.

Dengan mengusung tema “Cogitare Ultra Tempora” yang bermaksud  tidak hanya ajakan untuk berpikir yang lebih dalam lagi, akan tetapi lebih jauh – melampaui batas sejarah, struktur bahasa, dan logika demi membebaskan pikiran manusia dari kungkungan zaman yang terlalu tergesa-gesa.

Direktur PKFT, Muzakki Alhabibi, dalam sambutan pembukaan menyampaikan bahwa Madrasah Filsafat bukan sekadar program pelatihan pemikiran kritis, melainkan juga ruang dialektika dan pembebasan. “Kita hidup dalam zaman penuh kebisingan informasi. Dibutuhkan keberanian berpikir yang tak hanya kritis, tetapi juga visioner”, ujarnya.

Sementara itu, Krisna Wahyu Yanuar, selaku Ketua Pelaksana, menambahkan bahwa acara ini dirancang untuk menyentuh aspek teoritik sekaligus praksis. “Kami tidak hanya ingin peserta memahami filsafat sebagai teori, tapi juga merasakan bagaimana filsafat menjadi alat untuk menginterogasi realitas hari ini baik di media, gender, politik, maupun agama”.

Sesi pertama dibuka dengan pemaparan yang memukau dari Prof. Dr. Aksin Wijaya, M.Ag, seorang akademisi dan pemikir Islam terkemuka di Indonesia. Dalam materinya yang bertajuk “Filsafat Islam Kontemporer”, Prof. Aksin mengajak peserta untuk menafsir ulang warisan pemikiran Islam dengan kemasan yang lebih kontemporer.

Sesi kedua dipandu oleh Dr. Murdianto An-Nawie, dosen dan peneliti bidang komunikasi dan filsafat kritis. Dengan tajuk “Analisis Wacana Media Berbasis Teori Kritis”, beliau membongkar bagaimana media bukan sekadar alat penyampai informasi, tetapi juga sebagai instrumen kekuasaan yang membentuk kesadaran kolektif masyarakat.

Sesi ketiga yang tak kalah menarik dibawakan oleh Reza Andik Setiawan, S.Ag, yang membahas pentingnya critical thinking sebagai pondasi berpikir ilmiah dan etika publik. Dalam pemaparannya, Reza mengkritik maraknya “budaya instan” dalam proses berpikir di kalangan generasi muda.

Selanjutnya pemaparan Anggun Nila Khoirunnisa, S.Pd., MM, seorang aktivis perempuan. Dengan topik “Feminisme sebagai Etika Pembebasan”, Anggun menekankan bahwa feminisme bukan hanya perjuangan perempuan, tetapi perjuangan kemanusiaan.

Sesi terakhir ditutup dengan Gus M. Mustafied, S.Fil, seorang intelektual muda dengan spesialisasi pemikiran modern dan postmodern, membuka cakrawala peserta tentang kompleksitas dunia hari ini. Dalam materinya yang bertajuk “Filsafat Modern dan Postmodern: Menyeberangi Batas-Batas Kebenaran”, ia mengajak peserta menelusuri jejak pemikiran dari Descartes, Kant, hingga Foucault dan Lyotard.

Acara ditutup dengan suasana keakraban yang penuh harapan. Para peserta membawa pulang bukan hanya catatan, tapi juga benih semangat baru untuk terus berpikir, seperti semangat yang diusung tema besar tahun ini; Cogitare Ultra Tempora.

Krisna Wahyu Yanuar

Santri Pusat Kajian Filsafat dan Teologi