Living together merupakan fenomena yang akhir-akhir ini sedang panas dan trend di kalangan remaja maupun beberapa orang. Living together atau yang berarti tinggal dengan pasangan dalam satu atap tanpa ada hubungan resmi kini menjadi sorotan publik (Yuliana, 2020).

Faktanya fenomena ini menentang norma-norma tradisional dan norma-norma sosial masyarakat. Sebagian masyarakat menilai living together merupakan suatu perbuatan yang menyimpang moral dan banyak masyarakat yang kontra terhadap fenomena tersebut  (Koentjaraningrat, 2009).

Fenomena living together ini sangat jarang diterima oleh masyarakat terutama masyarakat Indonesia, dikarenakan banyak kasus dimana living together ini merugikan kedua belah pihak atau bahkan hanya merugikan salah satu pihak dikarenakan ketimpangan gender.

Dalam perkembangan zaman yang semakin maju dan minimnya moralitas yang diajarkan terhadap beberapa remaja yang akhirnya menjadikan living together sebuah persetujuan yang tidak tertulis yang disepakati oleh beberapa remaja bahkan masyarakat.

Dalam hal ini, filsafat mencoba untuk memberikan pandangan atas fenomena living together dengan norma-norma moralitas dan pandangan sosial. Living together dapat dipandang melalui filsafat moral membahas terkait mengapa perilaku dianggap baik dan buruk secara sosial, apa yang seharusnya dilakukan manusia atau etika apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia.

Lahirnya filsafat moral dikarenakan kegelisahan manusia terhadap apa itu yang benar dan bermakna, selain itu filsafat moral lahir sebagai jawaban untuk manusia dapat memahami apa itu sebenarnya kehidupan yang baik.

Filsafat moral lahir untuk menengahi apa itu sejatinya tentang kebaikan dan kebenaran menurut pandangan masyarakat. Karena, seiring perkembangan zaman etika atau moral bukan hanya berbicara mengenai karakter, watak, adat atau norma masyarakat atau norma masyarakat, namun juga sebagai alat untuk menganalisis mengkritisi tindakan manusia berdasarkan alasan dan prinsipnya (Nasution 2023).

Dalam fenomena living together, filsafat moral tidak menentang mentah-mentah terkait adanya fenomena ini, namun membuktikan secara rasional mempertanyakan mengapa fenomena tersebut dapat diterima oleh masyarakat dan apakah fenomena tersebut dapat menjunjung tinggi keadilan serta kebenaran serta rasa hormat terhadap manusia.

Pertanyaan tersebut dikarenakan filsafat moral sangat menjunjung tinggi terhadap kebenaran sejati yang dapat diterima oleh masyarakat serta tidak merendahkan martabat sesama manusia.

Menilai fenomena living together dengan filsafat moral dapat diambil dari salah satu tokoh yang bernama Immanuel Kant. Menurut Kant, tindakan moral harus bersifat universal serta menghormati martabat manusia sebagai subjek bukan objek atau alat.

Dalam prinsip imperatif kategoris-nya, Kant menekankan bahwa manusia harus diperlakukan sebagai tujuan, bukan sebagai alat bagi kepentingan pribadi (Bertens, 2013). Ia menyatakan bahwa moralitas tidak tergantung pada hasil, melainkan berasal dari niat baik dan kewajiban (Sulistyawati, 2019).

Kant sangat menjunjung tinggi rasa hormat dan kewajiban moral terutama dalam hubungan percintaan yang melibatkan tubuh, emosional perasaan. Dalam pandangan Immanuel Kant, living together bukanlah suatu tindakan yang benar karena perbuatan tersebut tidak menghormati martabat manusia dan tidak disetujui oleh sebagian masyarakat besar atau secara universal.

Menurut pandangan Kant, living together hanyalah sebuah keinginan nafsu sesaat untuk mencari kenyamanan tanpa ada rasa tanggung jawab dan berakhir merugikan. Dengan pandangan Kant bahwa tindakan yang didasari oleh dorongan hasrat atau nafsu tanpa landasan kewajiban moral tidak memiliki nilai etis (Magnis-Suseno, 1991).

Karena sejatinya, cinta itu sendiri diikat dalam rasa tanggung jawab, rasa hormat, dan komitmen moral yang di mana dalam hubungan tersebut keduanya menjadi subjek otonom yang dihormati bukan hanya sebatas pemuas nafsu dan kenyamanan sesaat.

Pandangan masyarakat atau remaja yang menyetujui living together sangat ditolak mentah-mentah oleh Kant. Hal ini dikarenakan moralitas bukan berdasarkan opini publik ataupun trend sosial yang sedang berkembang.

Penolakan terhadap living together bukan berarti menjadi manusia kolot dan tidak mengikuti zaman, melainkan adanya pertimbangan moral dan rasa menghormati yang mendalam. Justru itu, Kant mengajarkan bahwa manusia bebas, namun kebebasan itu dibatasi oleh tanggung jawab moral terhadap sesama (Filosofi.id, 2022). 

Living together yang dijalani tanpa adanya ikatan yang sah sangat berdampak dalam hubungan kedua pihak, dikarenakan hanya akan menjadikan pasangannya sebagai alat pemuas nafsu serta alat sebagai memenuhi kebutuhan emosional bukan sebagai subjek yang dihormati dan dicintai secara utuh.

Dalam kehidupan modern yang semakin kompleks, perdebatan tentang living together tidak hanya mencerminkan benturan antara nilai tradisional dan kebebasan individu, tetapi juga memperlihatkan krisis makna yang dihadapi banyak orang dalam membangun relasi. Ketika moralitas tidak lagi menjadi pegangan utama dan kebebasan dianggap sebagai hak mutlak tanpa batas, maka relasi antar manusia pun rawan kehilangan arah.

Disinilah peran filsafat menjadi sangat penting untuk mengajak manusia kembali merefleksikan keputusan-keputusannya, bukan hanya dari sisi kenyamanan pribadi, tetapi juga dari dimensi tanggung jawab terhadap diri sendiri dan orang lain. Filsafat moral mengingatkan bahwa hidup bersama membutuhkan komitmen etis dan saling menghormati.

Nabila Al-Jannata Hilmi

Santri Pusat Kajian Filsafat dan Teologi