Pandangan dunia dalam konsep kekuasaan orang Jawa memiliki kaitan makna yang begitu filosofis. Hal ini menjadi dasar bagi orang Jawa untuk melihat bagaimana kekuasaan dalam budaya Jawa dijalankan.
Kekuasaan dalam konteks ini menyoal tentang raja sebagai pemimpin pemerintahan. Secara historis, orang Jawa mengenal sistem kerajaan sejak abad ke-4 M. Hal demikian ditandai dengan berdirinya kerajaan Tarumanegara yang bercorak Hindu-Buddha di Jawa Barat.
Seiring berjalannya waktu, corak kerajaan di Jawa juga dipengaruhi oleh datangnya Islam kemudian. Hal itu dapat di lihat dengan hadrinya Sultan Agung sebagai raja Mataram Islam pada paruh pertama abad ke-17 M (J. J. Rass, 1987).
Kerajaan itu menjadi kekuatan adidaya pada masanya setelah runtuhnya dua kerajaan besar pada masa Hindu-Buddha sebelumnya; kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Kejayaan Mataram Islam mencapai puncaknya di tangan Sultan Agung (1613-1645 M).
Namun setelah wafatnya Sultan Agung, stabilitas politik kerajaan semakin terganggu. Hilangnya pengaruh seorang raja juga berakibat pada muculnya konflik kepentingan dan berbagai pemberontakan di dalam tubuh Mataram Islam.
Tidak terkecuali intervensi Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) yang juga secara perlahan merebut Mataram Islam tepatnya pada masa Amangkurat 1 (1646–1677) (Fernanda & Fahruddin, 2024).
M. C. Ricklefs dalam Mengislamkan Jawa (2012) mengambarkan bahwa kerajaan Mataram Islam yang dulunya besar, kini terpecah menjadi dua kerajaan.
Perpecahan tersebut melahirkan Kesultanan Ngayogyakarta dan Kesunanan Surakarta, serta dua anak kerajaan yang lebih kecil namun substansial, yakni Pakualaman dan Mangkunegaran. Ia menyebut daerah itu dengan sebutan Vorstenlanden (daerah para raja Jawa).
Pecahnya Mataram Islam menggambarkan bahwa sejarah kerajaan di Jawa turut diwarnai dengan konflik internal dan ancaman pihak luar. Meskipun wilayah kerajaan Mataram Islam tidak seluas dahulu, tetapi sekarang masih dapat ditemukan jejaknya di Kesultanan Ngayogyakarta dan Kesunanan Surakarta.
Dua kerajaan itu yang masih berdiri hingga saat ini, bukanlah tanpa alasan. Tidaklah berlebihan untuk menyebut bahwa eksistensi kerajaan tersebut mendapat masih dukungan dari masyarakatnya. Struktur sosial yang di dominasi oleh orang Jawa masih memelihara tradisi Jawa kuno, termasuk pandangan dunia mereka terhadap kekuasaan raja.
Sebab secara de facto, wilayah tersebut dahulunya termasuk daerah kekuasaan kerajaan Mataram Islam. Sehingga arus kebudayaan Jawa di wilayah tersebut masih kuat (Laksono, 2024).
Dengan tetap berdirinya kerajaan-kerajaan tersebut, secara sosiologis cukup menjadi alasan bahwa orang Jawa tidak mudah tercerabut dari identitas kejawaannya.
Mereka tidak secara sederhana memahami konsep kerajaan hanya dari persoalan kekuasaan harta maupun luas wilayah. Bagi orang Jawa pandangan hidup tidak selalu berbicara hal-hal yang berbau teknis-materialistis.
Namun lebih dari itu, orang Jawa memandang bahwa pemerintahan raja merupakan cerminan kekuasaan Tuhan. Orang Jawa memandang keagungan raja bukan dengan banyaknya harta tetapi kesempurnaan batin raja itu sendiri.
Corak pandangan dunia mereka terhadap kekuasaan lebih
bersifat mistik dan meta-empirik. Pandangan hidup yang semacam itu oleh salah
satu tokoh Hermeneutika, yakni Dilthey disebut sebagai Lebensphilosophie.
Dengan demikian pandangan hidup orang Jawa terhadap kekuasaan sama sekali berbeda dengan pandangan dunia orang barat yang lebih bercorak positivistik (Hardiman, 2015).
Niels Mulder dalam Aliran Kebatinan as an Expression of the Javanese worldview (1970) menyebut bahwa weltanschauung (pandangan dunia) Jawa didasarkan pada keyakinan akan kesatuan esensi dari semua keberadaan. Pandangan dunia itu tidak hanya mencakup soal agama dan praktik religius.
Orang Jawa selalu berhati-hati dalam menempatkan diri di dalam konteks kosmologinya. Pendek kata, mereka menjadikan kehidupan itu sendiri sebagai pengalaman religius.
Secara bersamaan, mereka meyakini adanya kesinambungan antara realitas empirik dan religiusitas. Oleh karenanya kesinambungan dua unsur tersebut tidak dapat dipisahkan.
Secara lebih partikular, hal demikian juga berpengaruh kepada pandangan dunia orang Jawa terhadap kekuasaan. Bagi orang Jawa, kekuasaan bukanlah hasil dari relasi antar individu dengan individu lain atau kelompok.
Melainkan, kekuasaan bagi orang Jawa merupakan kekuatan energi Ilahi (adikodrati, meta-empirik) yang meresapi seluruh kosmos. Sehingga kekuasaan ini memiliki eksistensi dalam dirinya yang substansial.
Kekuasaan ini tidak tergantung pada kekayaan maupun kekuatan fisik atau militer. Sebab usaha-usaha yang dilakukan untuk memeroleh kekuasaan yang hanya melalui tindakan empiris tidak akan berguna.
Seringkali kekuasaan semacam ini ibarat seperti
kekuatan adikodrati yang datang kepada seorang raja. Jika seorang raja Jawa
mendaku dirinya sebagai raja, maka ia berarti mengajukan klaim bahwa ia
menerima kekuatan kosmos (wahyu ratu) (Kresna, 2013).
Benedict Anderson dalam Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia (1990) menjelaskan bahwa dalam tradisi ortodoks Jawa, pencarian kekuasaan dijalani melalui praktik yogaistik dan asketik ekstrem.
Upaya tersebut dapat berupa puasa, tidak tidur, meditasi, pantang seksual, pemurnian diri dan pengorbanan. Praktik-praktik tersebut tidak lain bertujuan untuk memusatkan esensi primordial. Jika seorang raja Semakin mengakumulasi energi kosmis, secara bersamaan juga akan meningkatkan legitimasi kekuasaan.
Seperti dalam pentas wayang misalnya, ketika dhalang menampilkan seorang pertapa yang sedang meditasi, seringkali ekspresi bahasa yang diungkapkan oleh dhalang menyebut-nyebut lautan mulai mendidih dan bergejolak. Ungkapan tersebut menandakan bahwa kekuatan kosmis yang terpusat pada pertapa sudah besar.
Praktik yogaistik dan asketik tersebut juga seringkali dilakukan oleh raja Jawa untuk meningkatkan kapasitas spiritual dan menjaga stabilitas kekuasaan. Seperti yang dilakkukan oleh Sultan Agung ketika bertapa di Pantai Selatan.
Dalam ritualnya, Sultan Agung menjalin hubungan mistis dengan penguasa rohani tertinggi yang diyakini oleh masyarakat Jawa yaitu Ratu Kidul (M. C. Ricklefs, 2012)
Relasi tersebut sebagai langkah Sultan Agung untuk melegitimasi kekuasaan Mataram Islam dan menjalin hubungan dengan alam supranatural. Selain itu, dalam pengembaraannya, Sultan Agung juga berziarah ke Sunan Bayat, yang dikenal sebagai penyebar Islam di wilayah kerajaan Mataram. Menurut sejarawan, Sultan Agung digambarkan berjumpa dengan roh suci tersebut, yang kemudian mengajarkan ilmu-ilmu mistik rahasia.
Dengan demikian kekuasaan Bayat terhubung dengan monarki Mataram
Islam (M. C. Ricklefs, 2012). Karakteristik raja Jawa yang senantiasa menjaga
keharmonisan alam merupakan ciri khas dari kesadaran orang Jawa. Berbeda dengan
pandangan kekuasaan orang Barat, yang seringkali dalam pencapaiannya memaksakan
kehendak orang lain.
Dalam pandangan orang Jawa, kekuasaan bukanlah suatu gejala sosial, melainkan ungkapan kekuatan kosmis, seperti fluidum yang memenuhi seluruh kosmos secara kreatif (Magnis-Suseno, 1984).
Seperti turunnya wahyu, terpusatnya kekuatan alam dalam tubuh seorang raja dan hubungan antar dimensi mistis dan empiris, tentu tidak dapat direkayasa oleh kekuatan manusia biasa.
Bahkan teknologi yang paling mutakhirpun tidak dapat menggantikan pola keselarasan yang hubungannya dengan kesatuan numinus. Orang Jawa mengandaikan tatanan masyarakat yang harmonis perlu didahului adanya keteraturan kosmis.
Hal ini dimanefestasikan dalam tubuh raja Jawa sebagai pusat pengendali kekuatan. Dengan demikian, hubungan antara kekuasaan raja dan pandangan dunia orang Jawa menjadi sangat fundamental.
Hubungan yang menyeluruh dan inklusif antara manusia, alam dan alam
adikodrati merupakan ciri khas pandangan dunia orang Jawa. Sebab, akar
kesejarahan yang panjang dan beragam selalu tidak dapat dilepaskan dengan
pandangan kosmologi Jawa. Dengan demikian paham kosmologi sebagai anasir penting
tidak dapat dilepaskan dalam kesadaran orang Jawa terhadap kekuasaan.
Hilmy Harits Putra Perdana
Santri Pusat Kajian Filsafat dan Teologi