www.buletinaufklarung.com - Di tengah kesibukan dan tuntutan hidup modern, perempuan sering dihadapkan pada dilema antara kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri dan tuntutan sosial yang membatasi ruang geraknya. Salah satu tema menarik untuk dieksplorasi adalah hubungan antara perempuan dan egotisme.

Isu perempuan dan egotisme merupakan tema yang kompleks dan kerap menimbulkan perdebatan dalam berbagai ranah, mulai dari psikologi, sastra, hingga kehidupan sosial sehari-hari.

Egotisme, yang sering diartikan sebagai sikap mementingkan diri sendiri atau menonjolkan kepentingan pribadi di atas kepentingan orang lain, tidak jarang dilekatkan pada perempuan, baik melalui stereotip sosial maupun representasi dalam karya sastra (www.wisdomlib.org, 2025).

Namun, penting untuk menelaah lebih dalam, apakah egotisme pada perempuan merupakan bentuk kelemahan, kekuatan, atau justru respons terhadap tekanan sosial dan budaya yang mereka hadapi

Dengan begitu, ego perempuan juga dikaitkan dengan konsep kebebasan dan identitas diri. Dalam dunia yang masih terikat oleh norma patriarkal, perempuan sering kali dipaksa untuk menekan ego mereka demi memenuhi peran sosial yang terbatas. Namun, dalam filosofi, ego dipandang sebagai kekuatan untuk mencapai kebebasan individu.

Egotisme pada perempuan juga dapat dilihat sebagai respons terhadap tekanan dan objektifikasi yang mereka alami dalam kehidupan sehari-hari. Objektifikasi tubuh perempuan di media sosial, misalnya, telah terbukti menimbulkan rasa tidak percaya diri, kecemasan, bahkan isolasi diri.

Banyak perempuan yang merasa tubuhnya dinilai dan dihakimi oleh standar eksternal, sehingga mereka terdorong untuk lebih fokus pada diri sendiri, baik sebagai bentuk perlindungan maupun upaya mempertahankan harga diri.

Sejalan dengan itu, egotisme melalui kacamata filsafat, merujuk pada sikap mementingkan diri sendiri secara berlebihan, yang sering kali dianggap sebagai penghalang dalam pertumbuhan spiritual dan moral. Dalam tradisi filsafat Barat, egotisme sering dikritik karena dapat menimbulkan ketidakadilan sosial dan menghambat hubungan harmonis antarindividu.

Friedrich Nietzsche, dalam Thus Spoke Zarathustra, menyatakan bahwa "Menjadi diri sendiri jadalah hal terbesar yang dapat dicapai oleh manusia." Ego, menurut Nietzsche, bukanlah sesuatu yang harus dihancurkan, tetapi dikembangkan untuk mencapai kekuatan hidup. Bjjagi perempuan, ini berarti menegaskan identitas mereka dan berjuang untuk kebebasan pribadi.

Simone de Beauvoir, dalam The Second Sex, mengemukakan bahwa perempuan sering kali diposisikan sebagai "Yang Lain" dalam masyarakat patriarkal, yang membatasi kebebasan mereka. Ego perempuan, dalam pandangannya, adalah kunci untuk melepaskan diri dari penindasan sosial dan meraih kebebasan sejati.

Jean-Paul Sartre juga berpendapat bahwa kebebasan adalah inti dari eksistensi manusia. Dalam Being and Nothingness, ia menyatakan, "Manusia dikutuk untuk bebas." Bagi perempuan, kebebasan ini berarti hak untuk mendefinisikan diri mereka sendiri, tanpa terbelenggu oleh peran yang ditentukan oleh masyarakat.

Namun, pengembangan ego tidak berarti mengabaikan orang lain. Immanuel Kant menegaskan bahwa "Tindakan moral adalah tindakan yang dilakukan oleh individu berdasarkan prinsip yang dapat diterima oleh setiap rasionalitas." Ego yang sehat adalah yang memungkinkan perempuan untuk berkembang sekaligus menghormati kebebasan orang lain.

Ego perempuan adalah bagian penting dari perjuangan menuju kesetaraan dan kebebasan. Seperti yang dikatakan Virginia Woolf, "Tidak ada yang dapat mencapai kebebasan tanpa memiliki ruang untuk berpikir dan berkembang." egotisme sering kali muncul sebagai respons terhadap dominasi patriarki dan marginalisasi sosial.

Kesadaran perempuan akan eksistensi dan potensinya sendiri menjadi penting untuk melawan opresi dan membangun identitas yang utuh. Melalui praktik menulis, misalnya, perempuan dapat mengekspresikan diri, mengaktualisasikan pemikiran, dan mengemukakan pendapat tanpa dibayangi oleh dikotomi seksis dan patriarki.

Kemudian dalam tradisi filsafat Islam, misalnya, perempuan dipandang setara dengan laki-laki selama memiliki kemampuan intelektual yang sama. Perspektif tasawuf bahkan menekankan bahwa kedekatan dengan Tuhan tidak dibatasi oleh jenis kelamin, melainkan oleh kebersihan hati dan spiritualitas (Anshori, 2015.)

Namun ada perbedaan mengenai hukum fiqih, terutama menyoal ibadah dalam kasus imam sholat bagi perempuan. Dengan demikian Ibnu Rusyd tidak memberi hukum karena aturannya dalam nash. Begitupula menyoal jabatan perempuan sebagai hakim.

Filsafat menekankan bahwa egotisme tidak selalu negatif. Dalam kadar tertentu, egotisme dapat menjadi pendorong bagi perempuan untuk mengenali nilai, tujuan, dan rencana hidupnya sendiri.

Namun, jika berlebihan, egotisme dapat menimbulkan isolasi dan menghambat solidaritas sosial. Oleh karena itu, filsafat mengajarkan pentingnya keseimbangan antara aktualisasi diri dan kepedulian terhadap orang lain.

Sejatinya, Perempuan yang mampu mengelola egotisme secara sehat akan lebih mudah memperjuangkan hak-haknya tanpa mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan dan solidaritas sosial. Kesadaran akan diri sendiri menjadi modal penting untuk membangun masyarakat yang lebih adil dan inklusif.

Melalui kacamata filsafat, perempuan dan egotisme bukanlah dua hal yang saling bertentangan, melainkan dapat saling melengkapi jika dikelola dengan bijak. Filsafat memberikan landasan untuk memahami pentingnya kesadaran diri, kebebasan, dan tanggung jawab sosial dalam kehidupan perempuan. Dengan demikian, perempuan dapat berkembang menjadi individu yang utuh, berdaya, dan mampu memberikan kontribusi nyata bagi perubahan sosial yang lebih baik.

Rike Diana Putri

Santri Pusat Kajian Filsafat dan Teologi