buletinaufklarung.com - Di tengah perdebatan politik yang semakin
panas, dimana berbagai kepentingan saling bersaing, terdapat isu lainnya yang juga membutuhkan perhatian lebih dan
penanganan serius. Kekerasan seksual yang terjadi belakangan ini menjadi tanggungjawab moralitas semakin tak bisa
diabaikan.
Kekerasan seksual, baik fisik maupun
psikologis, sering kali terjadi sebagai akibat langsung dari ketidaksetaraan
kekuasaan dalam hubungan seksual. Kekerasan seksual mencakup berbagai tindakan,
mulai dari pemerkosaan, pelecehan seksual, hingga bentuk-bentuk eksploitasi
lainnya.
Terlebih dengan itu,
kekerasan seksual juga akan mengubah kontruks sosial yang dipengaruhi oleh norma, budaya, dan nilai-nilai
yang berlaku di masyarakat pada korban kekerasan seksual. Hal ini sangat merugikan
sekali bagi korban kekerasan seksual.
Terdapat banyak kasus mengenai kekerasan
seksual yang terjadi di negara kita pada baru-baru ini, seperti kasus eks
kapolres ngada yang cabuli 3 anak di Kota Kupang, hakim yang memvonis bebas
polisi yang terdakwa kasus pencabulan anak di papua, pelajar SMP yang mencabuli
bocah umur 6 tahun, kekerasan seksual selama hampir 20 tahun pada anak-anak panti
asuhan di Tangerang, dan masih banyak lagi (Pati Herlin, 2025).
Sepanjang tahun 2023 (data terbaru), data
dari Sintaspuan dan Titian Perempuan menunjukkan bahwa kekerasan di ranah
personal masih mendominasi. Kekerasan seksual mencatat angka tertinggi dengan
15.621 kasus, diikuti oleh kekerasan psikis sebanyak 12.878 kasus, kekerasan
fisik sebanyak 11.099 kasus, dan kekerasan lainnya sebanyak 6.807 kasus.
Dari beberapa kasus kekerasan seksual, pelaku tidak hanya dari golongan orang yang
sudah berumur ataupun masih terbilang muda, bahkan beberapa diantaranya
berprofesi sebagai pengayom dan memberi keamanan masyarakat. Walaupun begitu,
seharusnya para pelaku dihukum dengan setimpal sampai pelaku jera.
Pelaku harus bertanggung jawab atas apa
yang telah diperbuatnya, baik terhadap korban maupun masyarakat secara
keseluruhan. Dalam buku “On Liberty” karya John Stuart Mill, seorang
filsuf Inggris berpendapat bahwa individu harus bebas untuk mengejar
kepentingan mereka sendiri selama mereka tidak merugikan orang lain.
Dalam konteks kekerasan seksual,
pandangan ini mengarah pada kesadaran bahwa pelaku kekerasan seksual melanggar kebebasan individu korban dengan
memaksa kehendak mereka. Kebebasan korban yang merupakan hak untuk mengontrol
tubuh dan kehidupan seksual mereka dilanggar ketika pelaku melakukan
kekerasan seksual.
Menurut Mill, hak seseorang untuk
kebebasan pribadi hanya dapat dibatasi jika tindakan mereka membahayakan orang
lain. Kekerasan seksual jelas merupakan contoh dari tindakan yang membahayakan
orang lain.
Mill juga menyatakan bahwa bukanlah kejahatan untuk menyakiti diri sendiri selama
orang yang melakukannya tidak merugikan orang lain. Dia juga mendukung prinsip kerugian yaitu satu-satunya tujuan dimana kekuasaan dapat dipaksakan secara
sah terhadap setiap anggota komunitas yang beradab, meskipun bertentangan
dengan kehendaknya, adalah untuk mencegah kerugian bagi orang lain.
Dalam hal ini, pelaku kekerasan seksual
bertanggung jawab karena telah menghilangkan kebebasan pribadi korban dan
menyebabkan kerugian baik fisik maupun
emosional kepada korban, yang melanggar prinsip kebebasan Mill (Musyadad,
Hambali: 2023)
Pelaku harus bertanggung jawab secara
moral karena perbuatan mereka mengakibatkan penderitaan dan kerusakan yang
signifikan.
Kekerasan seksual, sebagai bentuk
pelanggaran terhadap tubuh dan martabat seseorang, jelas termasuk dalam
kategori tindakan yang membahayakan orang lain, yang berarti pelaku harus
menanggung konsekuensi moral dan hukum atas tindakan mereka.
Dalam hal ini, pelaku dapat terjerat
dalam pasal Pasal 281 s.d. 296 KUHP atau Pasal 406 s.d. 423 UU 1/2023
dengan maksimal penjara 12 tahun. Selain itu, pelaku harus menyadari, mengakui
dan bertanggung jawab atas beban emosional, dan psikologis yang harus ditanggung oleh korban akibat tindakan
kekerasan seksual yang mereka alami.
Hal ini menekankan pentingnya kesadaran
sosial dan etika bahwa pelaku tidak hanya terikat pada hukuman,
tetapi juga pada pemahaman tentang dampak buruk yang ditimbulkan pada korban,
serta kebutuhan untuk mendukung proses pemulihan korban.
Pelaku kekerasan seksual tidak hanya
harus bertanggung jawab terhadap korban, tetapi juga terhadap dampak sosial
yang lebih luas. Kekerasan seksual mengganggu kestabilan dan kesejahteraan
sosial, karena merusak rasa aman dan kepercayaan dalam Masyarakat.
Oleh karena itu, pelaku memiliki tanggung
jawab moral untuk memperbaiki kerusakan yang mereka timbulkan, tidak hanya
dengan meminta maaf kepada korban, tetapi juga dengan berkontribusi pada upaya
kolektif untuk mencegah kekerasan seksual di masa depan.
Bentuk tanggung jawab seperti ini kepada
pelaku kekerasan seksual tidak hanya penting untuk memberikan keadilan bagi
korban, tetapi juga untuk menciptakan efek pencegahan yang lebih besar dalam masyarakat.
Kekerasan seksual adalah pelanggaran
serius terhadap otonomi korban, karena memaksakan kehendak pelaku atas tubuh
dan kehidupan korban tanpa persetujuan mereka.
Dalam hal ini, pelaku kekerasan seksual
harus bertanggung jawab atas pengabaian mereka terhadap otonomi dan martabat
korban. Penghormatan terhadap kebebasan dan martabat setiap individu adalah
nilai yang dijunjung tinggi setiap individu.
Wahyu
Nuur Sa’diyah
Santri Pusat Kajian Filsafat dan Teologi