buletinaufklarung.com - Ketika kita membicarakan sains modern, seringkali nama-nama seperti Galileo, Newton, atau Bacon langsung muncul di kepala. Tapi jauh sebelum mereka mencatat eksperimen di laboratorium, seorang ilmuwan Muslim bernama Ibnu Haitam — biasa dikenal Alhazen dalam literatur Barat— telah meletakkan dasar penting bagi metode ilmiah yang kita kenal sekarang.
Ia hidup di era keemasan Islam, sekitar
abad ke-10 M, dan meninggalkan warisan yang sangat besar, terutama dalam hal
pentingnya observasi dan eksperimen dalam memahami alam (Sabra, 1989).
Ibnu Haitam terkenal karena karyanya yang
monumental Kitab al-Manazir (Buku Optik). Dalam buku ini, ia tidak hanya
menjelaskan bagaimana mata manusia melihat, tetapi juga menunjukkan bahwa
penglihatan terjadi karena cahaya yang memantul dari objek dan masuk ke mata,
bukan karena mata memancarkan cahaya, seperti yang dipercaya sebelumnya oleh
Ptolemaeus (Lindberg, 1976).
Tapi yang lebih penting lagi, cara Ibnu
Haitam menguji gagasan-gagasan itu adalah dengan eksperimen langsung. Ini
menunjukkan bahwa ia tidak puas dengan spekulasi saja; ia ingin bukti yang bisa
diamati.
Tradisi ilmiah Islam, khususnya dalam
bidang astronomi, matematika, dan optik, sebenarnya sudah sejak awal
mengedepankan pengamatan. Tapi Ibnu Haitam mempertegas bahwa pengamatan dan
eksperimen adalah satu-satunya cara untuk benar-benar memahami fenomena alam.
Ibnu Haitam berpandangan bahwa pencari kebenaran
tidak boleh hanya mengandalkan pendapat orang lain, bahkan hanya mengandalkan
otoritas terdahulu tanpa verifikasi, tapi harus mencari sendiri lewat
pengamatan dan bukti." (Coper, 2009: 10).
Pandangan ini seolah-olah sudah mewakili
semangat empirisme modern jauh ratusan tahun sebelum munculnya Hume atau bahkan
Galileo sekalipun.
Gagasan-gagasan Ibnu Haitam ini kemudian
diterjemahkan ke dalam bahasa Latin sekitar abad ke-12 oleh Gerard of Cremona
dan kemudian oleh Vitello serta Roger Bacon di abad ke-13.
Melalui jalur ini, pemikiran Ibnu Haitam
mulai merembes masuk ke pemikiran filsafat dan sains Eropa. Roger Bacon, salah
satu tokoh awal empirisme di Barat, bahkan menyebut Ibnu Haitam secara eksplisit
dalam karyanya dan mengadopsi metode pengamatan yang sangat mirip (Crombie, 1961).
Metode ilmiah yang mengandalkan
hipotesis, eksperimen, dan verifikasi kemudian menjadi tulang punggung
perkembangan sains di Eropa. Francis Bacon, tokoh penting dalam kelahiran
filsafat empirisme, menyusun Novum Organum yang mendefinisikan cara kerja
ilmuwan melalui induksi dan pengamatan sistematis.
Meskipun ia tidak menyebut Ibnu Haitam
secara langsung, banyak sejarawan sains meyakini bahwa fondasi yang diletakkan
oleh ilmuwan Muslim itu punya pengaruh besar terhadap konstruksi pemikiran
Bacon (Saliba, 2007).
Ibnu Haitam juga memiliki pendekatan
skeptis yang sehat terhadap teori-teori yang belum diuji. Ia seringkali
meragukan argumen-argumen logika yang tak punya dasar pengamatan.
Hal ini kontras dengan dominasi filsafat
Yunani, khususnya Aristotelianisme, yang sangat mengandalkan deduksi logis.
Justru, pendekatan skeptis dan empiris ala Ibnu Haitam ini menjadi jembatan
penting antara rasionalisme klasik dan empirisme modern (Lindberg &
Numbers, 1986).
Dalam konteks ini,
bisa dikatakan bahwa Ibnu Haitam bukan sekadar ilmuwan, tapi juga seorang
filsuf empiris yang lahir lebih awal dari zamannya. Ia menunjukkan bahwa Islam dan sains
bukanlah dua hal yang bertentangan.
Bahkan, dalam pandangannya, mencari ilmu
lewat observasi adalah bentuk ibadah dan cara mengenal ciptaan Tuhan secara
lebih dalam (Nasr, 2006). Pandangan spiritual ini yang sering terlupakan dalam
narasi modern tentang sejarah sains.
Penting juga untuk dicatat bahwa Ibnu
Haitam bekerja dalam tradisi keilmuan Islam yang sangat terbuka terhadap kritik
dan pembaruan. Para ilmuwan di dunia Islam kala itu terbiasa berdiskusi dan
berdebat tentang gagasan, sambil tetap menjaga etika ilmiah dan adab.
Tradisi inilah yang memungkinkan Ibnu
Haitam mengoreksi teori-teori sebelumnya dan membangun metodologi ilmiah yang
kemudian menginspirasi dunia Barat (Ragep, 2001).
Jadi, ketika kita hari ini berbicara
tentang empirisme—yakni filsafat yang menekankan bahwa pengetahuan berasal dari
pengalaman dan pengamatan—nama Ibnu Haitam seharusnya berada di barisan
terdepan.
Ia adalah pionir yang tidak hanya
memikirkan teori, tapi juga membuktikannya dengan eksperimen. Melalui
tulisannya, pemikirannya menyeberangi batas geografis dan budaya, menjadi
bagian dari mozaik besar sejarah ilmu pengetahuan dunia.
Gerwin Satria
Nirbaya
Santri Pusat Kajian
Filsafat dan Teologi