Buletinaufklarung.com
– Gelar "Gus" dan
"Ning" sering kali dikaitkan dengan citra positif, yaitu individu
yang memiliki wibawa tinggi dan dihormati oleh masyarakat. Sebutan ini umumnya
diberikan kepada anak seorang Kyai yang mengelola pondok pesantren.
Secara filosofis, "Gus" berasal
dari istilah “bagusi pekerti", yang berarti memiliki budi pekerti
luhur, sedangkan "Ning" memiliki makna “beningno ati”, yang berarti menjernihkan hati
Akhir-akhir ini, banyak yang mendaku sebagai "Gus" dan "Ning" dan menjadi viral melalui platform media sosial. Salah satu figur yang mengalami fenomena
ini adalah Muhammad Ikhsan Mawardi.
Konten yang disajikan dalam akun miliknya
justru mendekonstruksi citra tradisional "Gus" dan "Ning" yang telah mengakar dalam masyarakat. Konten yang ia buat dengan tujuan hiburan
berhasil menarik perhatian dan mendapat respons positif dari publik.
Dalam konten yang sedang viral, sebagian besar berisi tentang seputar
pertanyaan. Dengan pertanyaan yang diajukan, Ikhsan Mawardi berhasil
mendekonstruksi nilai-nilai "Gus" dan "Ning". Dekonstruksi yang ia bangun dalam
kontennya terlihat dari cara ia merespons pertanyaan-pertanyaan tersebut
Alih-alih memberikan jawaban yang sesuai
dengan syariat Islam atau kaidah hukum yang benar. Ia justru merespons dengan jawaban yang
unik, jenaka, dan mengundang tawa, sehingga menarik perhatian serta menghibur
para penontonnya.
Hal ini dapat dilihat
menggunakan kacamata seorang filsuf bernama Jacques Derrida yang menawarkan
metode dekonstruksi sebagai alternatif untuk mengatasi permasalahan modernitas
yang dianggapnya telah gagal
Proyek
dekonstruksinya bertujuan untuk membongkar sifat totaliter dalam suatu sistem,
terutama yang tercermin dalam bahasa.
Melalui pendekatan
ini, Derrida berupaya membebaskan filsafat dari dua konsep dominan yang
bersifat tirani yakni totalitas dan esensi yang pada akhirnya menghasilkan
kebenaran yang lebih partikular, unik, dan relatif.
Esensi yang
dihadirkan pada wacana dekonstruksi Derrida adalah mencairkan Ideologi dan Citra
yang sudah membeku di dalam bahasa yang dibangun oleh realitas sosial.
Citra baik yang
lahir di masyarakat atas sebutan "Gus" dan "Ning" dipatahkan oleh dekonstruksi ini. Karena
bahasa memiliki makna yang terus merujuk pada tanda lain tanpa mencapai
penjelasan final.
Konsep ini mencakup
dua aspek utama, yaitu to differ (membedakan) dan to defer
(menangguhkan).
Berdasarkan
pemahaman yang diperoleh, makna "Gus" dan "Ning" tidak
hanya merujuk pada sosok yang dihormati karena keilmuan agamanya dan
keturunannya dari seorang Kyai atau ulama.
Tidak hanya itu
seorang "Gus" dan "Ning" yang menjadi panutan dalam
beragama memiliki keturunan biologis
dari tokoh masyarakat tidak serta-merta menjadikannya figur yang kebal terhadap
kritik.
Sumber utama seperti
Al-Qur'an, hadis, serta kitab-kitab yang menjadi referensi kedua pedoman tersebut
tetap memiliki sifat absolut dan tetap relevan sebagai rujukan utama dalam
memahami ajaran agama.
Namun, melalui gaya humorisnya,
Ikhsan Mawardi menghadirkan citra Gus yang berbeda dari konsep tradisional yang
umum dikenal. Ia menghadirkan konsep komedi dengan tokoh utama seorang figur
terhormat yang justru dikenal karena kepiawaiannya dalam bercanda.
Sosok yang biasanya
identik dengan ketegasan ia tampilkan dengan humor segar dan menarik. Melalui pendekatan ini, ia membangun makna
baru yang mendekonstruksi realitas sosial mengenai "Gus" dan "Ning".
Sehingga tidak lagi
terikat pada pemahaman yang kaku. Dekonstruksi ini memungkinkan pemaknaan dan
citra suatu istilah terus berkembang sesuai dengan realitas sosial yang
membentuknya.
Selanjutnya Derrida juga
mendefinisikan teks sebagai entitas yang selalu memiliki pasangan antonim yang
berlawanan namun saling melengkapi, seperti siang dan malam atau kaya dan
miskin.
Konsep ini
menunjukkan hubungan paradoks dalam setiap kata. Namun, Derrida berupaya
membongkar ketegasan oposisi biner tersebut.
Sebagaimana yang telah
dibahas, terdapat dikotomi antara "Gus" dan "Ning". Dalam konteks ini,
ia menghadirkan sosok Gus dalam bentuk yang tidak konvensional.
Jika umumnya “Gus”
diasosiasikan dengan ketokohan yang berorientasi pada kebenaran hukum Islam, ia
justru membangun “oposisi biner” dengan menampilkan figur “Gus” yang
penuh dengan humor, jawaban nyeleneh, candaan, dan tidak berfokus pada ajaran
Islam secara normatif.
Sebutan “Gus”
umumnya memiliki konotasi positif dalam ideologi masyarakat. Namun, dalam
beberapa kasus yang ada seorang “Gus” juga terlibat dalam tindakan kriminal Sementara
itu, Ikhsan Mawardi membangun jejak baru melalui platform media sosial dengan
menghadirkan citra Gus yang humoris dan menghibur.
Hal tersebut secara tidak
langsung menggambarkan bahwa seorang “Gus” selain berwibawa terdapat ekspresi
yang humoris dan menghibur.
Ikhsan Mawardi
melalui kontenya berhasil mendekonstruksi setiap makna yang muncul, menolak
kepastian makna tunggal, dan tidak pernah puas dengan definisi yang sudah
ditetapkan.
Ia menampilkan sosok "Gus" yang berbeda dari konvensi, dengan karakter humoris dan menghibur dalam kontennya. Kehadirannya menciptakan makna baru yang memperkaya dan mendefinisikan ulang konsep "Gus" dalam persepsi masyarakat.
Ahmad Muzaki
Alhabibi
Santri Pusat Kajian
Filsafat dan Teologi