Buletinaufklarung.com –  Gelar "Gus" dan "Ning" sering kali dikaitkan dengan citra positif, yaitu individu yang memiliki wibawa tinggi dan dihormati oleh masyarakat. Sebutan ini umumnya diberikan kepada anak seorang Kyai yang mengelola pondok pesantren.

Secara filosofis, "Gus" berasal dari istilah bagusi pekerti", yang berarti memiliki budi pekerti luhur, sedangkan "Ning" memiliki makna beningno ati, yang berarti menjernihkan hati (Nurhayati, 2023).

Akhir-akhir ini, banyak yang mendaku sebagai "Gus" dan "Ning" dan menjadi viral melalui platform media sosial. Salah satu figur yang mengalami fenomena ini adalah Muhammad Ikhsan Mawardi.

Konten yang disajikan dalam akun miliknya justru mendekonstruksi citra tradisional "Gus" dan "Ning"  yang telah mengakar dalam masyarakat. Konten yang ia buat dengan tujuan hiburan berhasil menarik perhatian dan mendapat respons positif dari publik.

Dalam konten yang sedang viral, sebagian besar berisi tentang seputar pertanyaan. Dengan pertanyaan yang diajukan, Ikhsan Mawardi berhasil mendekonstruksi nilai-nilai "Gus" dan "Ning". Dekonstruksi yang ia bangun dalam kontennya terlihat dari cara ia merespons pertanyaan-pertanyaan tersebut (Reza, 2024).

Alih-alih memberikan jawaban yang sesuai dengan syariat Islam atau kaidah hukum yang benar. Ia justru merespons dengan jawaban yang unik, jenaka, dan mengundang tawa, sehingga menarik perhatian serta menghibur para penontonnya.

Hal ini dapat dilihat menggunakan kacamata seorang filsuf bernama Jacques Derrida yang menawarkan metode dekonstruksi sebagai alternatif untuk mengatasi permasalahan modernitas yang dianggapnya telah gagal (Yuana, 2010).

Proyek dekonstruksinya bertujuan untuk membongkar sifat totaliter dalam suatu sistem, terutama yang tercermin dalam bahasa.

Melalui pendekatan ini, Derrida berupaya membebaskan filsafat dari dua konsep dominan yang bersifat tirani yakni totalitas dan esensi yang pada akhirnya menghasilkan kebenaran yang lebih partikular, unik, dan relatif.

Esensi yang dihadirkan pada wacana dekonstruksi Derrida adalah mencairkan Ideologi dan Citra yang sudah membeku di dalam bahasa yang dibangun oleh realitas sosial.

Citra baik yang lahir di masyarakat atas sebutan "Gus" dan "Ning"  dipatahkan oleh dekonstruksi ini. Karena bahasa memiliki makna yang terus merujuk pada tanda lain tanpa mencapai penjelasan final.

Konsep ini mencakup dua aspek utama, yaitu to differ (membedakan) dan to defer (menangguhkan).

Berdasarkan pemahaman yang diperoleh, makna "Gus" dan "Ning" tidak hanya merujuk pada sosok yang dihormati karena keilmuan agamanya dan keturunannya dari seorang Kyai atau ulama.

Tidak hanya itu seorang "Gus" dan "Ning" yang menjadi panutan dalam beragama  memiliki keturunan biologis dari tokoh masyarakat tidak serta-merta menjadikannya figur yang kebal terhadap kritik.

Sumber utama seperti Al-Qur'an, hadis, serta kitab-kitab yang menjadi referensi kedua pedoman tersebut tetap memiliki sifat absolut dan tetap relevan sebagai rujukan utama dalam memahami ajaran agama.

Namun, melalui gaya humorisnya, Ikhsan Mawardi menghadirkan citra Gus yang berbeda dari konsep tradisional yang umum dikenal. Ia menghadirkan konsep komedi dengan tokoh utama seorang figur terhormat yang justru dikenal karena kepiawaiannya dalam bercanda.

Sosok yang biasanya identik dengan ketegasan ia tampilkan dengan humor segar dan menarik.  Melalui pendekatan ini, ia membangun makna baru yang mendekonstruksi realitas sosial mengenai "Gus" dan "Ning".

Sehingga tidak lagi terikat pada pemahaman yang kaku. Dekonstruksi ini memungkinkan pemaknaan dan citra suatu istilah terus berkembang sesuai dengan realitas sosial yang membentuknya.

Selanjutnya Derrida juga mendefinisikan teks sebagai entitas yang selalu memiliki pasangan antonim yang berlawanan namun saling melengkapi, seperti siang dan malam atau kaya dan miskin.

Konsep ini menunjukkan hubungan paradoks dalam setiap kata. Namun, Derrida berupaya membongkar ketegasan oposisi biner tersebut.

Sebagaimana yang telah dibahas, terdapat dikotomi antara "Gus" dan "Ning". Dalam konteks ini, ia menghadirkan sosok Gus dalam bentuk yang tidak konvensional.

Jika umumnya “Gus” diasosiasikan dengan ketokohan yang berorientasi pada kebenaran hukum Islam, ia justru membangun “oposisi biner” dengan menampilkan figur “Gus” yang penuh dengan humor, jawaban nyeleneh, candaan, dan tidak berfokus pada ajaran Islam secara normatif.

Sebutan “Gus” umumnya memiliki konotasi positif dalam ideologi masyarakat. Namun, dalam beberapa kasus yang ada seorang “Gus” juga terlibat dalam tindakan kriminal Sementara itu, Ikhsan Mawardi membangun jejak baru melalui platform media sosial dengan menghadirkan citra Gus yang humoris dan menghibur.

Hal tersebut secara tidak langsung menggambarkan bahwa seorang “Gus” selain berwibawa terdapat ekspresi yang humoris dan menghibur.

Ikhsan Mawardi melalui kontenya berhasil mendekonstruksi setiap makna yang muncul, menolak kepastian makna tunggal, dan tidak pernah puas dengan definisi yang sudah ditetapkan.

Ia menampilkan sosok "Gus" yang berbeda dari konvensi, dengan karakter humoris dan menghibur dalam kontennya. Kehadirannya menciptakan makna baru yang memperkaya dan mendefinisikan ulang konsep "Gus" dalam persepsi masyarakat.

Ahmad Muzaki Alhabibi

Santri Pusat Kajian Filsafat dan Teologi