Pembagian secara fungsional antara Perempuan dan laki-laki dapat dilihat dari fisik dan psikisnya telah lama mengakar pada masyarakat. Perempuan dapat melahirkan anak; merawatnya serta dapat mengurus rumah tangga. Sementara fungsi laki-laki sebagai pencari nafkah dikarenakan mempunyai kondisi fisik yang kuat – bisa bekerja lebih berat dibandingkan Perempuan.

Pembagian fungsi ini akan menumbuhkan pembagian kerja secara generalisasi. Hal ini dapat membuat posisi perempuan terkadang tidak menguntungkan. Sehingga menimbulkan persepsi bahwasanya perempuan hanya bisa bekerja didalam rumah dan laki-laki bekerja diluar rumah.

Sistem ini terlihat seperti pembagian yang alami dalam masyarakat. Namun sebenarnya dapat menahan potensi perempuan untuk berkembang dalam hidupnya. Pembagian kerja yang terstandarisasi, sering kali perempuan terjebak dalam peran domestik yang tidak diberi penghargaan yang setimpal – segi upah maupun pengakuan sosial.

Pemahaman tentang perempuan dalam masyarakat sering kali dipengaruhi oleh berbagai konstruk sosial yang ada dalam budaya dan sejarah. Banyak kasus terjadi pada masyarakat yang seringkali perempuan di letakkan di bawah Laki-Laki pada hirarki di tingkatan kekuasaan – peran dan identitas yang terbatas oleh standar sosial.

Melekatnya kebudayaan yang terbangun pada masyarakat dalam kehidupan masyarakat pada laki-laki dan perempuan memiliki makna yang berbeda. Dengan demikian, masyarakat memiliki pandangan bahwa laki-laki lebih bercitra sebagai sosok yang kuat dan dapat menyelesaikan permasalahanya sendiri. Sementara perempuan diberi citra sebagai sosok yang lemah lembut dan dianggap ketergantungan dengan orang lain.

Hal tersebut dapat merugikan perempuan, karena menghambat perkembangan potensi pada perempuan itu sendiri. Karena seolah-olah citra tersebut sudah menjadi tradisi yang pada akhirnya dapat menciptakan sifat yang tidak mandiri bagi perempuan (Puji Lestari, 2011).

Maka dari itu, Perempuan  harus memiliki kesempatan yang sama. Pada akhirnya, potensi perempuan dapat diwujudkan dan dikembangkan yang tentunya akan menciptakan kebahagiaan yang lebih besar bagi lebih banyak orang. Sehingga dapat menciptakan ruang kesetaraan dalam masyarakat.

Dalam hal konstruksi sosial pada masyarakat, cukup lekat dengan teori utilitarianisme yang lebih menekankan kesejahteraan kolektif. Namun, kebahagiaan kolektif ini tidak dapat tercapai jika perempuan tidak dapat mengakses kesempatan yang setara untuk mencapai kemaslahatan dan kesejahteraan mereka.

Teori utilitarianisme pertama kali dikenalkan oleh Jeremy Bentham; seorang filsuf dan ahli hukum Inggris pada akhir abad ke-18. Kemudian teori ini dikembangkan oleh John Stuart mill yang memperhalus konsep utilitarianisme dengan menekankan pentingnya kualitas kebahagiaan; bukan hanya kuantitasnya (Alifah, 2024).

Selanjutnya istri dari John Stuart Mill; Harriet Taylor Mill juga memainkan peran penting dalam pengembangan dan penyebaran teori utilitarianisme. Sebagai seorang pemikir dan aktivis, Harriet mendukung ide-ide John Stuart Mill, terutama mengenai hak-hak perempuan serta isu-isu sosial yang terkait dengan prinsip utilitarian.

Harriet Taylor Mill dikenal karena pengaruh intelektualnya terhadap suaminya dalam penulisan karya besar John Stuart Mill; On Liberty dan The Subjection of Women. Dalam karyanya, fokus utama Mill adalah tentang kebebasan individu dan kesetaraan gender. pandangannya didasarkan pada prinsip utilitarianisme – bahwa tindakan yang benar adalah yang menghasilkan kebahagiaan terbesar bagi jumlah terbesar orang.

Konstruksi sosial dalam teori Utilitarianisme dilihat sebagai alat untuk mencapai kebahagiaan kolektif. Meski teori ini mendorong evaluasi pragmatis atas norma, tentunya tetap memiliki tantangan yaitu memastikan keseimbangan antara kesejahteraan mayoritas dan hak minoritas. Utilitarianisme dalam konteks ini mengajarkan bahwa konstruksi sosial harus terus berkembang sesuai dengan dampak aktualnya terhadap kebahagiaan masyarakat.

Utilitarianisme dalam kerangkanya memiliki prinsip dasar yang diusung yaitu tindakan yang menghasilkan kebahagiaan bagi orang banyak. Kebahagiaan dan kesejahteraan dalam masyarakat diukur dengan kontribusi setiap individu terhadap kemajuan sosial.

Harriet banyak berkontribusi dalam diskusi tentang kesetaraan gender, yang kemudian mengarah pada argumentasi utilitarian – pentingnya memberikan hak setara kepada perempuan. Dia berargumen bahwa ketidaksetaraan gender tidak hanya merugikan perempuan, tetapi juga merugikan masyarakat secara keseluruhan. Karena membatasi potensi individu dan menghalangi kebahagiaan dan kemajuan sosial.

Peningkatan akses perempuan terhadap segala bidang merupakan salah satu pengaplikasian dari teori utilitarianisme. Dengan memberikan kesempatan yang setara kepada perempuan dapat mengembangkan potensi intelektual dan keterampilan yang bermanfaat; bagi diri sendiri dan masyarakat.

Perempuan yang diberi akses untuk berpartisipasi dalam segala hal bisa mengembangkan potensinya dan memberikan dampak positif bagi keluarga, komunitas, dan Negara. Lebih jauh lagi, ketika perempuan diberi kesempatan yang setara, hal ini juga mendorong terciptanya masyarakat yang lebih adil dan merata.

Meskipun demikian, dalam melihat Perempuan pada konstruksi sosial melalui  kacamata utilitarianisme dapat dipahami bahwa pembatasan peran perempuan yang selama ini ada dalam masyarakat sangat merugikan. Bukan hanya perempuan itu sendiri, tetapi juga masyarakat secara keseluruhan.

Hal ini penting untuk merombak konstruksi sosial melalui berbagai langkah yang memastikan perempuan memiliki akses setara untuk mengembangkan potensi mereka. Melalui perubahan norma sosial dan mendukung peran perempuan di ruang publik. Sehingga masyarakat akan memperoleh manfaat dari kontribusi penuh dari mereka; meningkatkan kesejahteraan kolektif.

 

Wahyu Nuur Sadiyah

Santri Pusat Kajian Filsafat dan Teologi