Orientasi feminis dapat diibaratkan sebagai kompas yang memandu kita dalam memahami dan mengatasi ketidaksetaraan gender. Ini adalah sebuah perspektif yang menempatkan pengalaman perempuan sebagai tolak ukur untuk menganalisis berbagai aspek kehidupan; politik, ekonomi, hingga budaya.

Hadirnya feminisme tidak hanya sekadar mengakui perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Akan tetapi berupaya untuk menyikapi dan menantang struktur sosial yang telah banyak menguntungkan laki-laki dan merugikan perempuan.

Selama berabad-abad, perempuan telah menghadapi dan mengalami diskriminasi, penindasan, bahkan pelecehan. Feminisme memberikan kerangka kerja untuk memahami akar permasalahan ini. Dengan memahami sejarah dan struktur sosial yang patriarkal, kita dapat mengidentifikasi berbagai bentuk ketidakadilan yang dialami perempuan; kesenjangan upah, kesenjangan sosial, kekerasan berbasis gender.

Feminisme merupakan sebuah gerakan sosial dan intelektual yang berorientasi untuk mencapai kesetaraan gender (Amin, 2013). Gerakan ini telah ada selama berabad-abad dan terus berkembang seiring dengan perubahan zaman. Ia bukan hanya sebuah gerakan sosial, tetapi juga sebuah lensa analisis yang memungkinkan kita untuk melihat dunia melalui perspektif gender.

Dengan kata lain, feminisme mengajak kita untuk mempertanyakan mengapa peran dan posisi perempuan dan laki-laki dalam masyarakat seringkali tidak setara, dan bagaimana ketidaksetaraan ini terkonstruksi secara sosial dan historis. Kondisi seperti itu akan menjadi problematika yang cukup serius jika tidak adanya upaya untuk menyelesaikannya.

Terbitnya buku "Feminism Is for Everybody" oleh bell hooks (1952- 2021) adalah buku yang wajib dibaca untuk memahami lebih dalam tentang feminisme dan perannya dalam menciptakan dunia yang lebih adil. Buku ini mengajak kita untuk merefleksikan diri dan mengambil tindakan untuk melawan ketidakadilan gender dan segala bentuknya.

Selanjutnya feminisme tidak bersifat monolitik, melainkan terdiri dari berbagai aliran dengan penekanan yang berbeda-beda. Ada yang lebih fokus pada isu-isu ekonomi, ada yang lebih fokus pada isu-isu budaya, ada pula yang menggabungkan keduanya dan beberapa faktornya.

Feminisme juga bukan gerakan yang homogen. Ada berbagai aliran dengan penekanan yang berbeda-beda; Feminisme Liberal, Feminisme Radikal, Feminisme Marxis, Feminisme Hitam, Feminisme Postkolonial, Feminisme Interseksional.

Perempuan selama ini seringkali dipandang sebagai objek, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam kajian ilmiah. Meskipun seringkali peran mereka diabaikan atau diremehkan. Dengan mengangkat kembali kisah-kisah perempuan, kita dapat melihat kontribusi mereka yang signifikan dalam berbagai bidang, dari seni dan budaya hingga politik dan ilmu pengetahuan.

Feminisme berupaya membalikkan pandangan ini dengan menempatkan perempuan sebagai subjek yang aktif dan agen perubahan. Perempuan tidak hanya sekadar penerima dampak dari struktur sosial, tetapi juga memiliki kemampuan untuk membentuk dan mengubah struktur tersebut.

Banyak hal yang bisa dijadikan contoh dalam mewujudkan perempuan sebagai agen of change seperti Gerakan suffragette merupakan contoh nyata bagaimana perempuan dapat menjadi agen  perubahan yang kuat. Mereka berjuang keras untuk mendapatkan hak suara dan mengubah lanskap politik di banyak negara.

Gerakan feminisme di era modern telah mencapai kemajuan pesat dalam beberapa dekade terakhir. Perempuan kini memiliki lebih banyak akses ke pendidikan, pekerjaan, dan kehidupan publik dibandingkan sebelumnya. Namun, perjuangan untuk mencapai kesetaraan gender masih jauh dari kata selesai.

Kesetaraan gender hadir untuk membawakan konsep dimana laki-laki dan perempuan memiliki hak, tanggung jawab, dan kesempatan yang sama dalam semua aspek kehidupan;  politik, ekonomi, sosial, budaya, dan sipil. Ini berarti bahwa tidak ada jenis kelamin yang dianggap lebih superior atau inferior dari yang lain.

Kesetaraan gender tidak berarti bahwa laki-laki dan perempuan harus menjadi sama persis. Terlepas dari jenis kelaminnya, laki-Laki dan Perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai suatu potensi. Di era modern ini, kesetaraan gender dan feminisme menghadapi berbagai tantangan baru yang kompleks.

Salah satu tantangan utama adalah persistensi budaya patriarki. Meskipun banyak kemajuan telah dicapai, nilai-nilai patriarki yang mendalam masih mengakar kuat dalam banyak masyarakat. Stereotip gender, diskriminasi, dan kekerasan terhadap perempuan masih menjadi masalah yang serius. Budaya patriarki seringkali membatasi peluang perempuan dan memperkuat ketidaksetaraan.

Munculnya gerakan anti-feminisme juga menjadi tantangan yang signifikan. Aliran-aliran yang mengkritik feminisme seringkali menggunakan argumen yang menyesatkan dan bahkan berbahaya. Mereka seringkali mengklaim bahwa feminisme mengancam keluarga tradisional atau memicu permusuhan antara laki-laki dan perempuan. Hal ini membuat perjuangan feminisme semakin sulit dan menimbulkan polarisasi dalam masyarakat.

Interseksi identitas juga menjadi tantangan baru dalam gerakan feminisme. Perempuan tidak hanya menghadapi diskriminasi gender, tetapi juga diskriminasi berdasarkan ras, etnis, kelas sosial, orientasi seksual, dan disabilitas. Feminisme interseksional berusaha untuk mengatasi kompleksitas penindasan ini, tetapi masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk memastikan bahwa semua perempuan merasa terwakili dan didengar.

Simone de Beauvoir (1908-1986), filsuf perempuan dan tokoh feminisme Prancis dalam bukunya Le Deuxième Sexe dan The Second Sex (1949) yang pernah melontarkan protes kerasnya perihal perlakuan terhadap perempuan di tengah masyarakat Eropa dengan kalimat: “One who is not born is the Other, but woman.” Ya, perempuan tidak terlahir, melainkan dicetak, dibentuk. Itu artinya, perempuan tertindas dan terpenjara sekaligus terdepak dari kesetaraan (Abagnano, 2024).

Feminisme, kesetaraan gender, dan perempuan adalah konsep-konsep yang saling terkait dan memiliki implikasi yang luas bagi kehidupan kita. Dengan memahami konsep-konsep ini, kita dapat lebih baik dalam mengatasi ketidaksetaraan gender dan membangun masyarakat yang lebih adil dan setara.

Feminisme bukan tentang membenci laki-laki, tetapi tentang menciptakan dunia yang lebih baik bagi semua orang. Feminisme mengajak kita untuk merefleksikan peran gender dalam masyarakat dan bekerja sama untuk membangun masa depan yang lebih setara.

Rike Diana Putri

Santri Pusat Kajian Filsafat dan Teologi