Kehidupan
sosial merupakan kehidupan yang tidak bisa dihindari oleh manusia. Dalam
hidupnya baik secara langsung maupun tidak, manusia sudah bersosial dengan eraka
manusia. Maka dari itu, tidak menutup kemungkinan akan timbul permasalahan.
Permasalahan
yang seringkali terjadi adalah pelecehan atau erakan dapat merugikan orang
lain. Pelecehan sering muncul atas keinginan seseorang untuk menyentuh, merasakan,
bahkan sampai melukai demi kepuasan nafsu semata.
Pada era modern
ini, pelecehan tidak hanya dilakukan pada dunia nyata saja, melainkan bisa dilakukan pada dunia digital; metaverse.
Pelecehan yang dilakukan dalam konteks ini merupakan pelecehan verbal yang
berbentuk komentar, rayuan, atau erakan avatar yang mengganggu dan berpotensi
merusak martabat korban
Pelecehan verbal dalam dunia metaverse bisa merusak kesehatan mental korban, yang sering kali
merasa tidak aman atau terganggu. Mengingat bahwa dunia digital seperti metaverse memfasilitasi interaksi secara
anonim dan masif, sehingga pelecehan verbal dapat terjadi tanpa adanya kontrol
langsung. Dunia metaverse sendiri
tidak jauh berbeda dengan dunia nyata dalam hal sosial dan psikologis yang
ditimbulkan.
Pada Januari 2024, muncul laporan tentang seorang gadis
berusia 16 tahun di Inggris yang diperkosa secara virtual di metaverse, yang kini
sedang diselidiki oleh polisi. Kasus ini terjadi dalam sebuah permainan daring,
dan avatar gadis tersebut menjadi sasaran serangan seksual yang kejam oleh sekelompok
pria (Laijawala, 2024).
Meskipun kejadian di atas terjadi di metaverse,
tetapi hal ini juga termasuk pelecehan seksual. Kasus tersebut perlu dipandang
dalam kacamata hukum. Dalam hal ini, maqashid syariah menjadi kacamata
dalam sudut pandang hukum untuk menganalisis kasus tersebut.
Berdasarkan maqashid syariah, hukum Islam terfokus
pada tujuan utama menjaga kebaikan dan mencegah keburukan; agama, jiwa, akal,
keturunan, dan harta. Perlindungan jiwa tidak hanya berarti pada perlindungan
fisik semata, akan tetapi juga mencakup perlindungan mental dan emosional
seseorang
Pertama, perlindungan jiwa (Hifz an-Nafs) yang
memiliki sifat bukan hanya fisik, tetapi juga mencakup kesehatan mental dan
emosional. Pelecehan verbal di metaverse berpotensi merusak mental
korban atau semacam gangguan yang dapat menyebabkan trauma psikologis. Oleh
karena itu, urgensi perlindungan terhadap jiwa menjadi upaya untuk menciptakan
lingkungan yang aman dan sehat, baik di dunia nyata maupun di metaverse.
Kedua, perlindungan akal (Hifz al-Aql). Dalam
Islam, akal yang sehat adalah aset penting yang harus dijaga karena menjadi
dasar untuk membedakan yang baik dan buruk. Bilamana akal sehat ini terganggu,
maka dapat mengganggu kemampuan berpikir jernih.
Oleh karena itu, maqashid syariah mendorong
perlindungan fungsi akal. Dengan demikian, dalam konteks metaverse,
pelecehan verbal harus dianggap sebagai tindakan yang merusak kesehatan mental
dan berlawanan dengan prinsip hukum Islam.
Ketiga, perlindungan kehormatan (Hifz al-Ird).
Martabat manusia sangat dijaga dalam Islam. Pelecehan verbal yang terjadi di metaverse
dapat merusak martabat dan reputasi korban. Prinsip ini menuntut perlindungan
dari penghinaan atau cercaan. Bersamaan
dengan itu, prinsip ini juga menegaskan bahwa penghinaan atau
merendahkan orang lain termasuk bentuk pelanggaran nilai-nilai Islam.
Dalam hal ini, upaya pencegahan dapat dilakukan dengan
penerapan kebijakan pengawasan, sehingga mampu mendeteksi ujaran kebencian atau
kata-kata kasar. Oleh karena itu, Pengguna metaverse sebagai perpanjangan dari
individu yang memiliki tanggung jawab moral, seharusnya berhati-hati dalam
setiap interaksi; menjaga komunikasi yang konstruktif dan positif, serta
menghindari ujaran kebencian yang dapat mencederai kehormatan orang lain.
Dalam interaksi sehari-hari di metaverse, nilai-nilai seperti kejujuran, saling menghormati, dan
menjaga kehormatan orang lain harus tetap dipegang. Sebagai contoh tidak
menggunakan bahasa kasar dan tidak menyebarkan informasi bohong, serta
menghormati privasi orang lain merupakan implementasi langsung dari prinsip maqashid syariah.
Dengan demikian, pengguna metaverse dapat
menciptakan lingkungan interaksi yang aman dan bermartabat. Disamping itu
pengguna dunia digital tidak hanya penting untuk menjaga keharmonisan sosial,
tetapi juga menjadi bagian dari tanggung jawab moral seseorang dalam menjaga
adab dan nilai-nilai kemanusiaan.
Untuk mengatasi pelecehan verbal di dunia digital, platform metaverse dapat merancang
kebijakan dan sistem pengawasan yang didasarkan pada prinsip-prinsip syariah.
Misalnya pengelola platform dapat
memperkenalkan sistem auto monitoring yang mampu mendeteksi ujaran kebencian,
kata-kata kasar, atau tindakan yang merendahkan martabat orang lain.
Misalnya adanya fitur pelaporan pelecehan
verbal oleh pengguna yang dapat menjadi bagian dari pengawasan berbasis syariah.
Jika pengguna menemukan tindakan pelecehan, mereka dapat melaporkannya untuk
ditindaklanjuti.
Dengan demikian, penerapan maqashid syariah dalam
dunia metaverse tidak hanya menekankan perlindungan terhadap individu
dari pelecehan verbal, tetapi juga mengarah pada pembentukan lingkungan digital
yang etis dan menghormati setiap manusia.
Fahmi Romadhon
Santri Pusat Kajian Filsafat dan Teologi