Kehidupan sosial merupakan kehidupan yang tidak bisa dihindari oleh manusia. Dalam hidupnya baik secara langsung maupun tidak, manusia sudah bersosial dengan eraka manusia. Maka dari itu, tidak menutup kemungkinan akan timbul permasalahan.

Permasalahan yang seringkali terjadi adalah pelecehan atau erakan dapat merugikan orang lain. Pelecehan sering muncul atas keinginan seseorang untuk menyentuh, merasakan, bahkan sampai melukai demi kepuasan nafsu semata.

Pada era modern ini, pelecehan tidak hanya dilakukan pada dunia nyata saja,  melainkan bisa dilakukan pada dunia digital; metaverse. Pelecehan yang dilakukan dalam konteks ini merupakan pelecehan verbal yang berbentuk komentar, rayuan, atau erakan avatar yang mengganggu dan berpotensi merusak martabat korban (Fadhlullah, 2023). Pelecehan verbal dapat terjadi melalui chat, voice chat, atau bahkan avatar yang melakukan erakan-gerakan tidak senonoh.

Pelecehan verbal dalam dunia metaverse bisa merusak kesehatan mental korban, yang sering kali merasa tidak aman atau terganggu. Mengingat bahwa dunia digital seperti metaverse memfasilitasi interaksi secara anonim dan masif, sehingga pelecehan verbal dapat terjadi tanpa adanya kontrol langsung. Dunia metaverse sendiri tidak jauh berbeda dengan dunia nyata dalam hal sosial dan psikologis yang ditimbulkan.

Pada Januari 2024, muncul laporan tentang seorang gadis berusia 16 tahun di Inggris yang diperkosa secara virtual di metaverse, yang kini sedang diselidiki oleh polisi. Kasus ini terjadi dalam sebuah permainan daring, dan avatar gadis tersebut menjadi sasaran serangan seksual yang kejam oleh sekelompok pria (Laijawala, 2024).

Meskipun kejadian di atas terjadi di metaverse, tetapi hal ini juga termasuk pelecehan seksual. Kasus tersebut perlu dipandang dalam kacamata hukum. Dalam hal ini, maqashid syariah menjadi kacamata dalam sudut pandang hukum untuk menganalisis kasus tersebut.

Berdasarkan maqashid syariah, hukum Islam terfokus pada tujuan utama menjaga kebaikan dan mencegah keburukan; agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Perlindungan jiwa tidak hanya berarti pada perlindungan fisik semata, akan tetapi juga mencakup perlindungan mental dan emosional seseorang (Yakin, 2018). Pelecehan verbal ini dikategorikan berdasarkan maqashid syariah menjadi tiga bagian.

Pertama, perlindungan jiwa (Hifz an-Nafs) yang memiliki sifat bukan hanya fisik, tetapi juga mencakup kesehatan mental dan emosional. Pelecehan verbal di metaverse berpotensi merusak mental korban atau semacam gangguan yang dapat menyebabkan trauma psikologis. Oleh karena itu, urgensi perlindungan terhadap jiwa menjadi upaya untuk menciptakan lingkungan yang aman dan sehat, baik di dunia nyata maupun di metaverse.

Kedua, perlindungan akal (Hifz al-Aql). Dalam Islam, akal yang sehat adalah aset penting yang harus dijaga karena menjadi dasar untuk membedakan yang baik dan buruk. Bilamana akal sehat ini terganggu, maka dapat mengganggu kemampuan berpikir jernih.

Oleh karena itu, maqashid syariah mendorong perlindungan fungsi akal. Dengan demikian, dalam konteks metaverse, pelecehan verbal harus dianggap sebagai tindakan yang merusak kesehatan mental dan berlawanan dengan prinsip hukum Islam.

Ketiga, perlindungan kehormatan (Hifz al-Ird). Martabat manusia sangat dijaga dalam Islam. Pelecehan verbal yang terjadi di metaverse dapat merusak martabat dan reputasi korban. Prinsip ini menuntut perlindungan dari penghinaan atau cercaan. Bersamaan dengan itu, prinsip ini juga menegaskan bahwa penghinaan atau merendahkan orang lain termasuk bentuk pelanggaran nilai-nilai Islam.

Dalam hal ini, upaya pencegahan dapat dilakukan dengan penerapan kebijakan pengawasan, sehingga mampu mendeteksi ujaran kebencian atau kata-kata kasar. Oleh karena itu, Pengguna metaverse sebagai perpanjangan dari individu yang memiliki tanggung jawab moral, seharusnya berhati-hati dalam setiap interaksi; menjaga komunikasi yang konstruktif dan positif, serta menghindari ujaran kebencian yang dapat mencederai kehormatan orang lain.

Dalam interaksi sehari-hari di metaverse, nilai-nilai seperti kejujuran, saling menghormati, dan menjaga kehormatan orang lain harus tetap dipegang. Sebagai contoh tidak menggunakan bahasa kasar dan tidak menyebarkan informasi bohong, serta menghormati privasi orang lain merupakan implementasi langsung dari prinsip maqashid syariah.

Dengan demikian, pengguna metaverse dapat menciptakan lingkungan interaksi yang aman dan bermartabat. Disamping itu pengguna dunia digital tidak hanya penting untuk menjaga keharmonisan sosial, tetapi juga menjadi bagian dari tanggung jawab moral seseorang dalam menjaga adab dan nilai-nilai kemanusiaan.

Untuk mengatasi pelecehan verbal di dunia digital, platform metaverse dapat merancang kebijakan dan sistem pengawasan yang didasarkan pada prinsip-prinsip syariah. Misalnya pengelola platform dapat memperkenalkan sistem auto monitoring yang mampu mendeteksi ujaran kebencian, kata-kata kasar, atau tindakan yang merendahkan martabat orang lain.

Misalnya adanya fitur pelaporan pelecehan verbal oleh pengguna yang dapat menjadi bagian dari pengawasan berbasis syariah. Jika pengguna menemukan tindakan pelecehan, mereka dapat melaporkannya untuk ditindaklanjuti.

Dengan demikian, penerapan maqashid syariah dalam dunia metaverse tidak hanya menekankan perlindungan terhadap individu dari pelecehan verbal, tetapi juga mengarah pada pembentukan lingkungan digital yang etis dan menghormati setiap manusia.

Fahmi Romadhon

Santri Pusat Kajian Filsafat dan Teologi