Di dunia
yang teratur, tempat semua hal berjalan sesuai rencana, serta harmoni menjadi
hal yang dicita-citakan oleh sebagian besar orang merupakan ekspektasi umum
tentang kedamaian. Namun di balik ekspektasi itu, ada sisi lain dari manusia
yang mendambakan kekacauan, perpecahan, dan kehancuran dari sistem yang ada.
Manusia tersebut ialah Mikhail Bakunin, seorang filsuf Rusia abad ke-19; simbol
dari kerinduan terhadap kekacauan dan sebuah kerinduan yang berakar pada
romantisme revolusi.
Dalam
sejarah panjang umat manusia, mengapa kita sering kali lebih tertarik pada chaos
ketimbang ketertiban? Jawabannya mungkin tersembunyi di balik lapisan filosofi,
psikologi, dan sejarah.
Mikhail
Bakunin dikenal sebagai tokoh anarkisme yang paling berpengaruh pada abad
ke-19. Dalam karya-karyanya, seperti God and the State (1871), Bakunin
memandang negara sebagai musuh utama yang membunuh kebebasan manusia.
Dalam
hal ini, kekuasaan negara merupakan alat yang digunakan oleh sekelompok kecil
elit untuk menindas mayoritas. Berdasarkan hal tersebut, Bakunin memandang
bahwa kebebasan sejati hanya dapat dicapai melalui penghancuran total negara
dan semua institusi yang menopangnya.
Di
sinilah letak romantisme revolusi dalam pemikiran Bakunin. Ia memandang
revolusi bukan hanya sebagai sarana perubahan politik, tetapi juga sebagai aksi
heroik yang membebaskan manusia yang membelenggu. Dalam imajinasinya, kekacauan
yang dihasilkan oleh revolusi adalah bentuk tertinggi dari kebebasan manusia,
karena melalui kekacauan inilah semua bentuk penindasan dapat dihancurkan.
Bakunin
sering dikaitkan dengan keinginannya untuk melihat dunia terbakar. Bukan karena
dia mencintai kehancuran, tetapi karena dia percaya bahwa dari abu yang
terbakar, masyarakat baru yang bebas dan egaliter dapat lahir. Ini adalah
sebuah gagasan yang sangat romantis, dimana kehancuran dipandang sebagai
prasyarat untuk penciptaan; sebuah siklus alam yang tak terelakkan.
Namun,
romantisme terhadap revolusi dan kekacauan tidak hanya milik Bakunin. Friedrich
Nietzsche, dalam karyanya seperti Thus Spoke Zarathustra (1883), juga
menekankan pentingnya destruksi sebagai bagian dari proses kreatif. Nietzsche
berbicara tentang konsep “Wille zur Macht” (kehendak untuk berkuasa),
yang mana ia menggambarkan kekuatan kehancuran sebagai bagian integral dari
kehidupan yang autentik dan penuh gairah. Nietzsche melihat kekacauan sebagai
kondisi alamiah manusia, dimana kebebasan individu dapat direalisasikan melalui
penolakan terhadap norma dan aturan yang mengikat.
Di sisi
lain, Thomas Hobbes dalam tulisannya Leviathan (1651) melihat kekacauan
dengan sudut pandang yang sangat berbeda. Baginya, kekacauan adalah kondisi
alami manusia—status naturalis—di mana tanpa adanya otoritas yang kuat, manusia
akan selalu berperang satu sama lain. Hobbes memandang ketertiban sebagai suatu
kebutuhan mutlak untuk menghindari anarki dan kekerasan. Ia berargumen bahwa
masyarakat lebih baik menyerahkan kebebasan individu mereka kepada negara untuk
menjamin ketertiban dan keselamatan.
Jika
kita melihat sejarah dengan seksama, jelas terlihat bahwa masyarakat sering
kali menolak ketertiban yang dipaksakan oleh negara atau institusi lainnya.
Contohnya adalah Revolusi Prancis (1789) dan Revolusi Rusia (1917), terdapat
kekacauan yang muncul dari penindasan yang berkepanjangan. Kedua revolusi ini
menunjukkan bahwa ketika ketertiban dianggap tidak adil dan menindas,
masyarakat akan memilih kekacauan sebagai bentuk perlawanan.
Mengapa
masyarakat lebih suka chaos ketimbang ketertiban? Mungkin jawabannya ada
pada sifat dasar manusia itu sendiri. Dalam setiap manusia, terdapat dorongan
untuk memberontak terhadap otoritas. Dorongan ini adalah bagian dari keinginan
untuk merasakan kebebasan sejati, kebebasan yang tidak dibatasi oleh aturan dan
norma yang ditetapkan oleh orang lain. Bakunin menangkap esensi dari dorongan
ini dengan sangat jelas dalam pemikirannya.
Kekacauan
juga menawarkan kesempatan untuk perubahan. Dalam ketertiban yang mapan,
perubahan sering kali terjadi secara lambat dan penuh kompromi. Namun dalam
kekacauan, perubahan dapat terjadi dengan cepat dan radikal. Bagi mereka yang
merasa terpinggirkan atau tidak puas dengan status quo, kekacauan adalah
harapan untuk sebuah dunia yang lebih baik.
Hal ini tidak
bisa disangkal bahwa kekacauan juga menakutkan. Itu adalah kondisi yang tidak
ada jaminan keamanan, kehidupan sehari-hari menjadi tidak dapat diprediksi.
Tetapi bagi mereka yang tertarik dengan gagasan kebebasan mutlak, kekacauan
adalah harga yang layak dibayar. Itulah sebabnya, bagi Bakunin dan para
pengikutnya, kekacauan tidak pernah menjadi sesuatu yang harus dihindari,
melainkan sesuatu yang harus dirayakan.
Mikhail
Bakunin dan romantisme revolusi yang ia wakili adalah cerminan dari keinginan
manusia untuk melampaui batasan yang ada dan mencapai kebebasan sejati.
Meskipun dunia modern sering kali menekankan pentingnya ketertiban dan
stabilitas, sejarah menunjukkan bahwa masyarakat selalu memiliki ketertarikan
yang mendalam terhadap kekacauan. Hal ini terjadi karena kekacauan menawarkan
peluang untuk perubahan radikal dan pembebasan dari penindasan.
Bakunin
dengan segala kontroversi dan radikalisme pemikirannya, mengingatkan kita bahwa
di balik setiap tatanan yang tampaknya kokoh, terdapat potensi untuk kehancuran
dan penciptaan ulang. Bersamaan dengan itu, romantisme kekacauan bukan hanya
tentang penghancuran, tetapi juga tentang harapan akan dunia yang lebih bebas
dan adil.
Sehingga
chaos sendiri menjadi keniscayaan; untuk mengguncang status quo
dan membuka jalan bagi kemungkinan baru. Ini adalah impian yang layak untuk
diperjuangkan, meskipun harus membayar dengan harga yang sangat mahal.
Sejalan
dengan itu, Friedrich Nietzsche dalam The Birth of Tragedy, melihat
potensi kreatif dalam ketegangan antara chaos dan ketertiban. Baginya, chaos
bukan sekadar kehancuran, tetapi sumber inovasi dan kebangkitan.
Dalam
argumentasi yang lain, Thomas Hobbes memandang chaos sebagai ancaman
besar bagi manusia, yang menggambarkan hidup dalam keadaan alami sebagai “brutish,
nasty, and short”. Bagi Hobbes, hanya kekuasaan mutlak yang dapat menjaga
ketertiban dan memastikan perdamaian serta kemajuan.
Sementara
itu, Michel Foucault fokus pada bagaimana kekuasaan membentuk kehidupan
sehari-hari, melihat anarkisme Bakunin sebagai respons terhadap disiplin
modern, tetapi skeptis terhadap kebebasan total. Noam Chomsky juga menekankan
pentingnya menantang otoritas, tetapi memperingatkan bahwa chaos tanpa
arah bisa berujung pada tirani baru.
Ketertiban
mungkin memberikan rasa aman, tetapi kekacauan menjanjikan sesuatu yang lebih
dalam—sebuah kebebasan tanpa batas. Seperti Bakunin, mungkin ada bagian dari
kita semua yang lebih memilih chaos daripada ketertiban, setidaknya
dalam impian kita tentang dunia yang lebih baik.
Wallahu
a’lam bishawab.
Gilang Tahes Pratama
Santri Pusat Kajian Filsafat dan
Teologi