Telaah kritis kontekstual merupakan suatu hal yang penting dalam memperkuat pemahaman teologi yang transenden di masa modern. Karena memahami suatu konteks sosial tentang apa yang sebenarnya terjadi di masyarakat dalam usaha menangkap pemahaman keagamaan dapat membantu keberlanjutan akan kemurnian praktik keagamaan itu sendiri.

Hal ini telah dijelaskan di dalam buku antologi esai “Everyday Religion: Observing Modern Religious Lives” pada bagian sub-tema yang di tulis oleh Kelly Besecke dengan judul “Beyond Literalism: Reflexive Spirituality and Religious Meaning”. Pada Tulisan ini, Kelly berusaha menerangkan tentang bagaimana pergolakan dan perdebatan antara agama dengan nalar sains atau masyarakat sekularisme skriptif dengan masyarakat ortodoksi gereja.

Dimana pergolakan dan perdebatan ini mewarnai ruang publik sehari hari di Negara Amerika Serikat. Selain itu, dalam antologi buku tersebut juga berisi opini tokoh publik dalam melihat fenomena perbincangan agama vs sains di media dan diskusi terbuka di gereja Amerika Serikat.

Melihat dari hal tersebut, kiranya penting untuk menilik lebih dalam tentang perdebatan mengenai bagaimana orang biasa menggunakan nalar dan agama secara bersamaan untuk menemukan persimpangan antara 'sesuatu yang menginspirasi' dan 'sesuatu yang masuk akal'.

Dalam hal ini, Kelly berargumen bahwa perlunya sebuah gerakan intelektual yang bersifat spiritual reflektif. Gerakan ini nantinya akan memiliki daya kritis dalam menjawab budaya beragama masyarakat modern Amerika Serikat yang cenderung ‘plek-ketiplek’ terhadap teks.

Kelly juga berpandangan bahwa, banyak dari masyarakat saat ini yang menentang anggapan teoretis dengan merangkul sains dan agama, akal, dan spiritualitas dengan bermaksud untuk mempromosikan masyarakat modern yang lebih bermakna. Mereka lebih melihat pluralisme sebagai alat untuk memperdalam makna kehidupan dibandingkan melihatnya sebagai ancaman terhadap agama.

Lebih lanjut ia menganggap bahwa mistisisme yang terjadi dalam masyarakat gereja di Amerika Serikat bukan di maksudkan untuk reaksi penghindaran atau pelarian dari logika modern. Akan tetapi hal ini di maksudkan sebagai pelengkap kritisisme terhadap sesuatu yang mistis. Masyarakat gereja melihat ketidakpastian teologi tidak sebagai tanda kelemahan, melainkan sebuah kekuatan untuk mempromosikan pencarian pemahaman yang terbuka dan reflektif tentang agama mereka.

Akan tetapi di dalam hal ini, Kelly juga menyayangkan karena tidak adanya ruang elaborasi secara masif di dalam gereja yang dapat di gunakan untuk mewadahi gerakan intelektual agama guna mencapai spiritualitas refleksif secara masif di dalam masyarakat umum. Hal ini terlihat dari fenomena aktivitas spiritualisme reflektif transendental di Amerika yang berjalan dengan proses deprivatisasi.

Menurut Kelly, hal ini juga di perparah karena tak ada satu organisasi masyarakat gereja di amerika serikat yang secara eksplisit di organisasikan dan didedikasikan untuk gerakan spiritualitas refleksif secara terbuka dan masif dalam masyarakat umum. Terkait hal tersebut, ia melihat gerakan intelektual (pembaharu) gereja di Negara Amerika Serikat hanya bersifat pasif sebagai jalan kedua dan hanya bersifat reaktif "sesaat" dalam penggalian kembali teologi transendental akibat dari dorongan masyarakat Amerika secara luas.

Berdasarkan pengamatan Kelly tersebut, sekiranya memang benar bahwa diperlukan sebuah gerakan pembaharuan intelektual (lebih tepatnya neo-modernisme) transendetal yang memadukan unsur ortodoksi klasik dengan masa sekarang agar kajian kajian teologi tetap mampu bertahan di tegah masyarakat modern (dalam hal ini adalah amerika).

Terkait hal tersebut, Wade Clark Roff di dalam bukunya yang berjudul "Spiritual Market Place" mengungkapkan bahwa di dalam realitas masyarakat amerika sendiri memang terdapat perbedaan antara generasi tua dan generasi muda. Perbedaan ini lebih spesifik pada fitur keagamaan.

Menurutnya, orang yang lebih tua memiliki kecenderungan untuk mengabdi pada lembaga keagamaan yang mapan, dan bentuk ibadah mereka bersifat formal dan konvensional. Sedangkan generasi muda dikenal lebih memilih untuk mencari jalan baru (generasi pencari) dan memandang agama sebagai sarana untuk mencapai kedamaian, kegembiraan, dan ketenangan dalam hidup.

Dalam hal ini ‘sikap skeptis’ bagi generasi muda merupakan langkah penting dalam mempelajari apa yang mereka yakini. Hal ini dimaksudkan sebagai prasyarat terhadap pandangan keagamaan generasi muda. Hal ini tentu mengarah pada pencarian akan suatu kemurnian dan kesadaran spiritual dari agama yang mereka anut dan untuk menentukan apakah itu bermanfaat bagi mereka atau tidak

Maka tak dapat dipungkiri suatu bentuk tradisi, sejarah, simbolisme, serta makna dan lembaga keagamaan saat ini merupakan instrumen yang dianggap penting oleh generasi muda. Mereka para generasi muda menuntut terhadap agama untuk memberikan kebahagiaan serta keamanan dalam hidup.

Cara mereka menuntut terhadap agama adalah dengan meragukan keagamaan itu sendiri yang pada tahap akhirnya dapat memberikan mereka suatu kebahagiaan dan keamanan dalam beragama. Akibatnya, mereka mencari makna dan nilai spiritual dalam semua aspek kehidupan agar dimensi spiritualitas berkembang dalam segala upaya, termasuk gaya hidup. 

Gerwin Satria Nirbaya

Santri Pusat Kajian Filsafat dan Teologi