Negeri ibu pertiwi diisi oleh para politisi yang sering menebar ribuan janji

Alih-alih mencoba memecahkan masalah pasokan makanan yang terjangkau untuk kelas bawah, politisi melihatnya sebagai kesempatan untuk membuat orang memilih mereka. Politisi berasumsi bahwa ketika perut kenyang, orang siap melakukan apa saja yang diinginkan politisi.

Dalam berbagai kesempatan, mereka –baik yang menduduki jabatan publik maupun yang tidaksuka berbagi kebutuhan dasarnya. Sembako diberikan kepada masyarakat dalam tas berlogo partai dan foto wajah politisi. Tentunya masyarakat senang dengan adanya paket tersebut.

Namun apa benar itu murni kehendak nurani dengan kepedulian terhadap kehidupan kebanyakan orang, atau juga ditutupi oleh kepentingan politik? Tampaknya secara arbiter mereka memang menfaatkan kesulitan rakyat dengan mengenyangkan perutnya dan mengarahkan untuk tetap tunduk pada kehendak para politisi.

Adegan pemberian minyak goreng yang beredar di berbagai media jelas menunjukkan motif di baliknya. Seorang pemimpin partai, politisi berpangkat tinggi, maupun seorang pegawai negeri senior membagikan paket minyak goreng kepada warga. Uniknya lagi, mereka berjanji untuk mendistribusikan minyak secara teratur di masa depan dengan syarat memilih anak-anak mereka pada hari pemilihan.

Tidak ada yang disembunyikan! Jelas motif politik menjadi dasar dan alasan pendistribusian minyak goreng. Motif serupa mendasari kedermawanan politisi pada umumnya. Niat mereka tak lebih dari menyasar pada perut rakyat saat mereka meminta untuk memilih di hari pemilihan.

Di lain sisi, ketika masyarakat mendapat masalah karena mahalnya harga sembako, para politisi melihatnya sebagai peluang politik untuk meyakinkan masyarakat. Oleh karenanya, tidak ada makan siang yang benar-benar gratis untuk politisi maupun untuk rakyat.

Para calon ini secara terbuka mengatakan kepada warga bahwa dia akan secara teratur memutuskan pilihan warga dalam pemilihan berikutnya. Imbalannya, para politisi murahan memberi harga suara rakyat minyak goreng atau sejenis sembako. Orang biasanya tidak peduli karena dalam situasi ekonomi kurang baik, orang membutuhkan minyak atau kebutuhan sehari-hari lainnya. Sehingga rakyat akan menjadi objek politik.

Konsekuensinya pendidikan politik tidak pernah berjalan dengan baik. Jika distribusi sembako dipandang oleh politisi sebagai pendidikan kewarganegaraan, maka hal itu bisa dikatakan bukan cara yang tepat untuk meningkatkan kesadaran berdemokrasi masyarakat.

Di sisi lain, kegemaran politisi—elit dan non-elit—untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat sebenarnya merupakan pengakuan bahwa masyarakat membutuhkan pangan. Dalam benaknya mereka berpikir jika harga terus naik, maka masyarakat akan mencari alternatif untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Sehingga masyarakat tadi terus menambahkan lebih banyak ikat pinggang tahu.

Alih-alih mencoba memecahkan masalah pasokan makanan dengan cara yang membuat harga terjangkau bagi kelas pekerja, mereka justru melihatnya sebagai peluang untuk membujuk orang agar memilih mereka. Dari sini para politisi arbiter memang memanfaatkan kesulitan rakyat. Singkatnya ketika rakyat sudah kenyang, rakyat akan tunduk pada kehendak para politisi.

Jika niat politisi murni baik hati, seharusnya tidak perlu meminta orang untuk memilih. Pergi untuk perut adalah suap, bukan pendidikan politik. Padahal, seharusnya politisi mengajak masyarakat untuk berinisiatif dan mendukung upaya membuat lumbung pangan tahan terhadap segala macam gangguan sehingga harga bisa terjangkau oleh masyarakat.

Tapi mungkin saja para msayarakat belum merasakan hal yang paling nyaman bagi kebanyakan orang.  Yakni peningkatan kesadaran akan kemungkinan hubungan kekuasaan di antara mereka dalam rangka membangun peradaban yang lebih baik kedepannya.

Gus Moch. Fahmi Romadhoni

Santri Pusat Kajian Filsafat dan Teologi