Komedi atau yang dikenal dengan nama lain lawak-an sangatlah dekat dengan kehidupan saat ini. Saking dekatnya hingga tak kenal musim, bahkan butiran-butiran komedi ini juga tetap eksis meskipun beberapa belum mencapai titik kritis. Hal itu setidaknya cukup mampu untuk menepis kejenuhan dan mengundang tawaan.

Kejenuhan dan tawaan bak teman setia kehidupan manusia, namun dua diantaranya lebih sering yang pertama. Sedangkan yang kedua hanya menyapa kala manusia hampir hilang arah. Namun yang sering adalah merubah arah.

Tampaknya kejenuhan dalam kehidupan memiliki konsekuensi yang tidak main-main. Oleh karena itu, adanya komedi yang meskipun hanya mengundang tawa semata mempunyai fungsi yang tidak main-main juga.

Fungsi tersebut juga diutarakan oleh Gus Dur dalam buku “Mati Ketawa Cara Rusia”. Pada bagian pengantar ia mengutarakan bahwa “rasa humor dari sebuah masyarakat mencerminkan pernyataaan daya tahannya yang tinggi di hadapan semua kepahitan dan kesengsaraan”.

Membincang tentang kepahitan dan kesengsaraan lagi-lagi merujuk pada “kejenuhan”, hal tersebut tentunya memiliki banyak faktor yang harus ditafsirkan lagi. Namun yang seringkali terjadi disebabkan adanya ketidaksesuaian antara ekspektasi dan realita di kehidupan baik secara publik maupun personal (Harari, 2018).

Penulis menduga bahwa kejenuhan personal memang suatu gejala kejiwaan yang unik dan tidak berpola. Namun pada kejenuhan publik justru berbeda dan memiliki pola musiman –sebut saja pesta demokrasi.

Semakin dekat dengan pesta demokrasi 2024 mendatang, dunia politik dan hiburan belakangan ini dibanjiri dengan pelbagai kelucuan. Hal tersebut sepertinya untuk mengobati kejenuhan publik terkait janji-janji atau gimik yang dilontarkan politisi.

Tetapi hal itu bukan fenomena baru dalam dunia perpolitikan. Dahulu juga pernah ada saat suasana pra-Pemilu 2019 munculnya jargon capres-cawapres fiktif, seperti Nurhadi-Aldo yang disingkat “Dildo” yang dibuat untuk mengawal proses demokrasi antara kubu cebong dan kampret. Sepertinya jargon konyol itu diusung untuk memberikan suasana baru sebagai penyegaran di dunia politik yang panas dan rawan perpecahan.

Fenomena semacam itu merupakan reaksi masyarakat atas proses politik yang terkadang melelahkan. Konsekuensinya yakni munculnya seperti gerakan yang mengimbangi pertikaian politik yang terkadang membawa sentimen-sentimen politik, turbulensi (gejolak), maupun polarisasi di dalam masyarakat itu sendiri. Bentuk semacam itu yang kemudian disebut anonimitas.

Anonimitas sendiri berasal dari kata Yunani yang bermakna “tanpa nama” yang dipakai dalam rumpun ilmu filsafat dalam mengidentifikasi objek, baik berupa manusia atau benda (Nurul Hasfi, 2017). Dalam perkampungan global, istilah itu seringkali dijadikan tunggangan untuk menyampaikan kebebasan berekpresi dengan satu prinsip dari privasi bermedia sosial.

Kemudian hal tersebut mewadahi kritik dan saran atas keresahan yang timbul akibat perubahan sosial yang terjadi. Efek sampingnya yakni banyak bermunculan fake account yang menggiring suatu narasi untuk saling memojokan bakal calon.

Tetapi anonimitas sendiri bukan diartikan sebagai suatu gerakan yang negatif. Namun sesuai atau tidaknya, kembali pada subjek produsen itu dalam memproduksi konten. Anonimitas tidak perlu ditakuti secara mendalam karena sifatnya responsif, tergantung kita mau bermedia sosial secara bijak dan kritis.

Dalam konsep seperti itu, lawak-an dipandang sebagai bentuk kekecewaan terhadap harapan yang berlebihan, dan upaya penerimaan diri dan kesadaran objek dari luar kita yang terkadang tidak memenuhi tuntutan kebutuhan.

Misalnya dalam situasi tertentu, banyak pejabat flexing yang memamerkan kekayaan, sedangkan beberapa masyarakat kelas menegah dan kalangan bawah justru tertekan akan tuntutan hidup yang semakin mahal dan sulit. Sehingga berefek pada atau menurunya indeks kepercayaan sipil kepada pejabat negara.

Tentunya semua itu dalam ranah kontestasi politik bukan merujuk pada ranah personal seseorang, serta tidak mengemas kebencian dan isu sara. Selain itu, humor sendiri dibuat dan dikonsumsi seperti “demokrasi” dari rakyat menuju rakyat. Maka juga harus dalam ranah toleransi, evaluasi, dan resolusi, agar budaya komedi ini tetap dipertahankan karena banyak aspek untuk membangun demokrasi di Indonesia. Sekian.

Krisna Wahyu Yanuar

Santri Pusat Kajian Filsafat dan Teologi