“Pengembangan al-Qur’an dengan muatan normatifnya menjadi ilmu pengetahuan yang memiliki sisi rasional dan empiris merupakan representasi dari jihad intelektual kaum Muslim”

Islam merupakan agama Allah Swt yang disampaikan oleh Nabi Muhammad Saw kepada masyarakat Arab pada zaman jahiliyah. Zaman tersebut merujuk pada suatu masa lalu masyarakat Arab pra-Islam yang terkenal dengan banyaknya praktik-praktik yang mengarah kepada dehumanisasi. Penyebab terjadinya praktik tersebut tidak lebih dari pengaruh kondisi pra-industrial yang identik dengan masyarakat kesukuan (tribal society), sehingga melahirkan bentuk masyarakat homogen. (Arifin, 2014)

Di samping itu, masyarakat Arab pra-Islam juga memiliki struktur yang menindas dan mereka telah lama menikmati struktur yang seperti itu. (Arifin, 2014) Struktur masyarakat seberat itu merupakan tantangan tersendiri bagi seorang utusan Allah Swt dalam menyebarluaskan agama-Nya. Namun dalam realitanya Nabi Muhammad Saw bukan hanya berhasil memberikan kritik sosial, tapi juga berhasil membawa kepada ranah transformatif yang tertebas dari bentuk ketertindasan manusia.

Jika dianalisis lebih jauh, keberhasilan profetisme dijalankan oleh Nabi Muhammad Saw tidak bersumber dari apapun selain al-Qur’an. Hal ini setidaknya menandakan bahwa al-Qur’an bukan hanya sebagai petunjuk atau kalamullah, tetapi juga berfungsi sebagai titik utama dan pijakan awal kehidupan yang mengarah kepada dimensi yang lebih baik. Singkatnya aspek tersebut manifestasi keberhasilan misi kenabian yang diemban oleh Nabi Muhammad Saw.

Narasi tersebut dapat ditemukan di beberapa ayat al-Qur’an seperti dalam Q.S al-Baqarah: 257. Permulaan ayat ini menjelaskan bahwa Allah Swt merupakan pelindung orang-orang yang beriman yang mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya. Ayat ini setidaknya memiliki muatan pesan transormasi sosial yang mengarah kepada dimensi yang lebih baik.

Buya Hamka memberikan penafsiran ayat tersebut dalam kitab Tafsir al-Azhar bahwa sebab iman yang dimiliki seseorang kepada Allah itu membawa terbukanya akal. (Amrullah, 1965) Hal ini menunjukkan bahwa iman yang dimiliki oleh seorang manusia tidak hanya memberikan efek ketenangan secara subjektif, melainkan berpotensi untuk keterbukaan akal yang berfungsi untuk memahami fenomena sosial di sekitarnya.

Penafsiran yang dikemukakan oleh Buya Hamka tersebut senada dengan gagasan Kuntowijoyo yang diberi nama Ilmu Sosiologi Profetik (ISP). Ilmu ini merupakan tawaran Kuntowijoyo terhadap problematika keilmuan Islam yang pernah menempati masa keemasan di zaman dahulu, namun menuju masa kecemasan di zaman sekarang. Kecemasan menurut Kuntowijoyo ini bukan hanya menganggap Ilmu Agama (Islam) sebagai bagian ilmu yang terpisah (sekuler) dengan ilmu pengetahuan yang lainnya, namun juga dipertentangkan (dikotomik). (Arifin, 2014)

Oleh karena itu, Kuntowijoyo memberikan penekanan pada al-Qur’an yang harus ditempatkan pada posisi utama karena kitab ini memiliki otoritas paling tinggi dalam kehidupan umat Muslim. Dengan alasan tersebut, ia juga secara otomatis kurang setuju dengan gaya berpikir intelektual yang memposisikan al-Qur’an sebagai pembenaran terhadap teori-teori ilmu yang berasal dari barat. Konsep terakhir itulah yang menyebabkan terbelakangnya keilmuan Islam hingga saat ini.

Mengingat kejayaan Islam masa lalu dan menanggapi kondisi yang seperti itu saat ini, Kuntowijoyo memberikan penjelasan bahwa umat Muslim harus mampu melahirkan keilmuan baru serta mengembangkan keilmuan yang sudah ada seperti intelektual Muslim pada zaman dahulu. Tentunya dalam membuahkan maupun mengembangkan suatu ilmu pengetahuan diperlukan adanya ruang sosial yang dialektis didalamnya. Dalam hal ini Kuntowijoyo tidak serta merta memukul kepada setiap intelektual Muslim, namun mengupayakan kepada terbentuknya intersubjektivitas yang tentu dimulai dari setiap individu.

Upaya awal yang ia lakukan terfokus pada dimensi ilmu sosial yang mengerucut pada sosiologi. Pengambilan fokus tersebut dilakukan oleh Kuntowijoyo karena ia mengingat bahwa sebagaimana cabang ilmu sosial lainnya tidak pernah lahir di ruang hampa. (Turner, 2013) Dengan adanya ketidakhampaan tersebut menandakan adanya pintu masuk bagi sosiologi profetik milik Kuntowijoyo seperti ilmu sosiologi lainnya yang berasal dari barat.

Perlu diketahui bahwa sosiologi profetik milik Kuntowijoyo juga memuat unsur image of the subject manner (gambaran tentang masalah pokok) sebagaimana yang disebut oleh Ritzer. (Arifin, 2014) Unsur tersebut tergolong sebagai unsur yang penting dalam pengembangan paradigma sosiologi. Konsep unsur yang signifikan ini dapat dibentuk dalam suatu pertanyaan yang berbunyi: fenomena apa yang ingin dipertanyakan dan dijelaskan oleh sosiologi?

Pertanyaan tersebut tentunya harus dikenakan pada sosiologi profetik dalam rangka positivisme. Tahapan positivisme itu sendiri bukan hanya sebagai suatu epistemologi saja, namun August Comte yang melahirkan epistemologi ini juga layak menyandang sebagai peretas jalan pengembangan ilmu fisika sosial yang dikenal sebagai sosiologi saat ini. Pertanyaan tersebut tidak lebih dari pemenuhan konsep dasar yang mensintesiskan serta melihat keselarasan pemikiran August Comte dan Kuntowijoyo, karena mereka berdua merupakan tokoh sosiolog.

Jawaban Comte dari pertanyaan yang diajukan guna pengembangan paradigma sosiologi dapat ditemukan dalam istilah hukum tiga tahap (the law of three stages) yang menjelaskan tentang perkembangan kehidupan sosial yang dimulai dari tahap teologis, tahap metafisik, dan tahap positivistik. (Arifin, 2014) Tahap terakhir inilah yang menyebabkan transormasi sosial kehidupan manusia dari peradaban yang primitif menuju kepada peradaban yang lebih modern karena tahap ini merupakan dimensi yang ditandai dengan tingginya kepercayaan masayarakat terhadap suatu ilmu.

Namun Kuntowijoyo mengkritik jawaban Comte yang seperti itu karena saat ini tahap positivistik cenderung mengarah kepada dekadensi terhadap dua tahap yang awal. Dampak yang ditimbulkan pada akhirnya meruntuhkan imajinasi peradaban modern yang dinilai yang terbaik, tetapi justru mengarahkan pada kehidupan sosial yang mengancam individu dalam bentuk seperti agresivitas dan kecemasan yang termanifestasikan dalam cepat dan canggihnya produksi senjata militer dengan bahaya letusan perang yang dapat terjadi kapan saja. Mengingat kehidupan sosial juga berpotensi kapanpun menimbulkan sentimen yang tidak diinginkan sehingga merusak harmonisnya hubungan yan telah terawatt sebelumnya.

Oleh sebab itu, Kuntowijoyo juga memberikan solusi atas problematika yang seperti itu dan sekaligus dapat menjawab pertanyaan yang sama seperti Comte. Menurutnya, pengembangan paradigma sosiologi harus mengarah pada transformasi sosial yang bermuara pada humanisasi, liberasi, dan transendensi. (Arifin, 2014)

Kuntowijoyo memberikan finish pada tiga kategori yang seperti itu tidak menempuh jalan dialektis yang realitas kepada realitas, namun ia terinspirasi dengan kisah Nabi Muhammad Saw dalam keberhasilannya dalam mengemban misi kenabian. Inspirasi ini ia temukan dalam memahami Q.S ali-Imran: 110 dengan menandai tiga kata kunci yang ada dalam ayat ini yaitu; 1)amr ma’ruf, 2)tanhawn ‘an al-Munkar, dan 3)tu’minun bi Allah. (Arifin, 2014)

Kunci pertama yaitu amr ma’ruf yang kemudian ia memaknainya sebagai pesan humanisme guna memanusiakan manusia yang saat ini dilanda berabgai macam ancaman fundamental seperti objektivitasi teknologis, kriminalitas, privitasi, maupun individualisasi.

Kemudian yang kedua yakni tanhawn ‘an al-Munkar sebagai pesan liberasi (pembebasan) terhadap hal-hal yang menindas. Namun maksud liberasi Kuntowijoyo berbeda dengan liberasi Karl Marx yang mengemukaan bahwa basis material (structure) yang menetukan kesadaran (superstructure). Dalam hal ini ia memiliki pandangan yang terbalik dari Marx yaitu kesadaran (superstructure) yang menentukan basis material (structure), hal ini disebabkan karena ia kembali memposisikan Q.S al-Anfal: 63 dalam titik utama dan pijakan awal. (Arifin, 2014)

Pesan terakhir dari tu’minun bi Allah ia pahami sebagai transendensi. Pemahaman ini ia gali dari Webster’s International Dictionary dengan menggunakan analisis semantik dengan mengembalikan kata ‘transendensi’ kepada bahasa aslinya yaitu Latin ‘transcendere’ yang berarti ‘memanjat di/ke atas’. Maksud transendensi dalam hal ini tidak lebih dari upaya memahami pesan utama atau signifikansi kalamullah yang seharusnya dipraktikkan dalam kehidupan sosial.

Akhmad Rosyi Izzulhaq

Santri Pusat Kajian Filsafat dan Teologi