"Kaum miskin, terutama
mereka yang bukan bagian dari kelas pekerja, adalah isu yang masih ambigu
dalam tradisi Marxis. Ini terutama karena bahasa politik mereka sering digambarkan
secara negatif dan meremehkan kaum lumpen-proletariat dalam tulisan-tulisan
Karl Marx dan Friedrich Engels,"
Melalui pemikiran sosialis Karl Marx, konsep kaum
lumpen-proletariat adalah salah satu konsep yang asing dalam pembahasan. Kaum lumpen-proletariat merujuk pada
kelompok masyarakat yang terpinggirkan dan tidak tergabung dalam struktur kelas
yang kurang jelas. Dalam esai ini, penulis akan menyajikan ulasan tentang pemikiran Karl
Marx terkait kaum lumpen-proletariat, menganalisis pandangannya, serta
mengevaluasi relevansinya dalam konteks sosial modern.
Guna memahami pandangan Marx tentang kaum
lumpen-proletariat, kita perlu menggali konsep tersebut secara lebih mendalam.
Marx menggambarkan kaum lumpen-proletariat sebagai kelompok sosial yang terdiri
dari individu-individu yang terpinggirkan dari struktur kelas, termasuk
pengemis, penjahat jalanan, pelacur, dan pengangguran kronis. Mereka seringkali
terisolasi dari aktivitas ekonomi utama dan memiliki sedikit atau tanpa
kesempatan untuk berpartisipasi dalam produksi.
Kapitalisme terus
memberikan peluang bagi lumpen-proletariat untuk menjadi elit kecil. Tapi pada intinya
masih menjadi gelandangan (kacung kaum borjuis). Proletar tipe ini menempati posisi yang ambigu karena sering
mengacau, merusak, tidak mengenal batas dan gaya khasnya menghina. Lumpen-proletariat identik
dengan keterasingan karana memiliki teman yang disebabkan oleh minimnya
kemampuan berorganisasi atau tidak dapat berorganisasi karena kurang disiplin.
Secara linguistik, lumpen-proletariat dapat diartikan sebagai “orang yang berpakaian compang-camping, rakyat jelata dan bawahan”. Lumpen sendiri berasal dari bahasa Jerman dan berarti “pakaian usang” atau bisa juga secara kasar diartikan sebagai orang miskin (di kota dan desa), gerombolan perusuh dan orang buangan dari masyarakat industri. Mereka adalah orang-orang yang tidak termasuk dalam kategori proletariat dan borjuasi.
Marx melihat kaum lumpen-proletariat sebagai
elemen yang merugikan dalam masyarakat. Baginya, mereka merupakan
"pengangguran kelas rendah" yang tidak memiliki kesadaran kelas dan
mudah dimanipulasi oleh kekuatan borjuis. Marx menganggap kaum
lumpen-proletariat sebagai "barang" dalam permainan kapitalis, yang
digunakan untuk menjaga status quo dan menghalangi perjuangan kelas yang
sebenarnya. Dalam pandangan Marx, kaum lumpen-proletariat tidak memiliki potensi
revolusioner karena mereka tidak memiliki ikatan dengan produksi dan tidak
mampu melihat secara jelas bagaimana sistem kapitalis menindas mereka.
Keberadaan kaum lumpen-proletariat
dapat dimanfaatkan baik oleh politisi reaksioner maupun gerakan revolusioner,
sehingga posisinya di masyarakat tidak kuat. Lumpen-proletariat adalah tingkat
terendah dari proletariat, yang umumnya menganggur, miskin, kriminal dan yang ciri paling umum adalah tidak adanya kesadaran kelas sebagai
kelompok yang tidak akan mampu menciptakan revolusi.
Marx menempatkan kaum lumpen-proletariat dalam
kontras dengan kelas buruh industri. Bagi Marx, kelas buruh industri merupakan
kekuatan revolusioner yang sejati, yang memiliki kesadaran kelas dan potensi
untuk menggulingkan kapitalisme. Di sisi lain, kaum lumpen-proletariat tidak
memiliki kepentingan bersama dengan kelas buruh industri dan cenderung menjadi
alat penghancuran terhadap gerakan revolusioner yang lebih luas. Dalam
pemikirannya, Marx berpendapat bahwa perjuangan kaum buruh industrial harus
terfokus pada transformasi struktural dan penghapusan kaum lumpen-proletariat
sebagai bagian dari proses revolusi sosial.
Sosialisme dan kapitalisme telah mengalami
perkembangan dan perubahan signifikan sejak Marx mengeksplorasi konsep kaum
lumpen-proletariat. Dalam masyarakat modern, peran kaum lumpen-proletariat
mungkin tidak lagi dapat dilihat secara tegas seperti dalam era Marx.
Pengangguran kronis dan kelompok-kelelompok sosial terpinggirkan masih ada,
tetapi mungkin memiliki karakteristik yang berbeda. Misalnya, dengan munculnya
pekerjaan sementara, pekerjaan berbasis platform, dan ketidakpastian ekonomi,
ada kelompok individu yang dapat dianggap sebagai
"lumpen-proletariat" dalam konteks modern. Mereka mungkin terisolasi
secara ekonomi dan sosial, tetapi tidak selalu termasuk dalam kelompok
tradisional yang digambarkan oleh Marx.
Namun, lumpen
proletariat dengan impotensinya tetap menjadi modal politik atau milik
borjuasi. Meskipun beberapa dari mereka telah menjadikan ketua kelas mereka
sebagai pemimpin kelas itu. Situasi semacam ini yang menajdikan kaum
lumpen-proletariat sebagai pisau bermata dua.
Penting untuk mencatat bahwa peran kaum
lumpen-proletariat dalam gerakan sosial dan politik modern tidak dapat
dipandang secara merata. Beberapa kelompok terpinggirkan mungkin terlibat dalam
gerakan sosial dan memperjuangkan perubahan sosial dan ekonomi yang adil.
Misalnya, gerakan pekerja imigran,
kelompok pribumi, atau kelompok rentan seperti pekerja
seks atau pengemis dapat mengorganisir diri mereka sendiri dan berjuang melawan
penindasan struktural.
Meskipun pemikiran Marx tentang kaum
lumpen-proletariat dibahas dalam konteks klasik, ada beberapa aspek yang masih
relevan dalam konteks sosial modern. Pandangan Marx tentang pengaruh negatif
kaum lumpen-proletariat dalam gerakan revolusioner masih dapat diangkat sebagai
peringatan terhadap potensi manipulasi dan penghancuran gerakan sosial yang
lebih luas oleh kekuatan borjuis yang kuat.
Akan tetapi, dalam konteks sosial modern, penting
untuk melihat kaum lumpen-proletariat sebagai kelompok yang kompleks dengan
kepentingan yang beragam. Terlepas dari ketiadaan ikatan langsung dengan
produksi, mereka mungkin masih mengalami penindasan dan ketidakadilan. Oleh
karena itu, penting bagi gerakan sosial dan politik untuk tidak mengabaikan
atau memarjinalkan kaum lumpen-proletariat, tetapi melibatkan mereka dalam
perjuangan untuk mencapai perubahan sosial yang adil.
Pemikiran Karl Marx terkait kaum
lumpen-proletariat memberikan wawasan yang penting tentang dinamika struktur
kelas dalam masyarakat. Meskipun mungkin ada perubahan dalam karakteristik kaum
lumpen-proletariat dalam konteks sosial modern, konsep tersebut tetap relevan
dalam analisis mengenai ketidaksetaraan ekonomi dan sosial. Namun, penting juga
untuk melihat kaum terpinggirkan sebagai kelompok yang beragam, yang mungkin
terlibat dalam gerakan sosial dan memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Dalam
upaya mencapai perubahan sosial yang adil, penting bagi gerakan sosial dan
politik untuk memperhatikan kebutuhan dan aspirasi kaum terpinggirkan.
Santri Pusat Kajian
Filsafat dan Teknologi
Akhmad Nur Khoiri