Cinta adalah elemen penting dalam kehidupan. Gambaran cinta secara umum mengandaikan keberadaan manusia sebagai makhluk sosial. Manusia sebagai makhluk sosial saling berinteraksi. Hubungan ini kemudian menyatukan orang-orang untuk membentuk kelompok, komunitas, dan yang terbesar adalah masyarakat yang mendukung keberadaan suatu negara.

Gabriel Marcel menggambarkan cinta sebagai kehadiran. Kehadiran penuh kasih bagi Marcel tidak hanya hadir secara fisik, tetapi hadir sepenuhnya sebagai individu baru dalam lingkaran interaksi. Tetapi interaksi ini tidak hanya tentang fungsi, tetapi juga tentang status. Jika interaksi manusia sebagai manusia digambarkan dalam istilah 'aku' dan 'dia', maka keberadaan perasaan 'kita' hanya sebatas kewajiban manusia dalam membina hubungan sosial. Dalam cinta, bagaimanapun, interaksi adalah antara "aku" dan "kamu". Kemunculan “kita” bukan hanya sebagai pelengkap interaksi, melainkan sebagai sepasang manusia yang keduanya memiliki hubungan khusus, dalam arti ada komunikasi yang berbeda dengan kelompok sebelumnya.

Deskripsi cinta Marcel dirinci dengan tiga keadaan individu, yaitu "aku", "kamu" dan "dia". Munculnya cinta tidak terutama terkait dengan pertemuan di antara keduanya, tetapi pada komunikasi interaktif yang berkelanjutan di antara mereka. Jika 'aku' dan 'kamu' hanya sebatas bertemu atau sering bertemu, maka cinta tidak bisa hadir sebagai 'kita' dalam arti penuh, melainkan hanya menjelma menjadi identitas lain seperti sahabat. Namun, ketika komunikasi berlangsung, apa yang mengikat kedua individu tersebut berkembang tidak hanya dalam ruang dan waktu, tetapi juga dalam kata, metafora, dan intonasi.

Proses perjumpaan dalam konsep cinta Marcel menjadi semakin kompleks, karena perjumpaan yang terjadi antara "aku" dan "kamu" bukan lagi pertemuan kosong, bukan pula komunikasi interaktif sederhana, tetapi juga karena dalam komunikasi interaktif ini masing-masing memberikan makna kepada yang lain, baik dalam bentuk pemahaman maupun dalam bentuk pemahaman yang diberikan oleh keduanya secara terus-menerus, sehingga masing-masing selalu dapat memberikan makna yang tidak hanya menjadikan komunikasi interaktif aktif dan berkesinambungan, tetapi juga bertujuan untuk dapat menghubungkan Rangkaian. Kehadiran kemudian ditetapkan tidak hanya dengan komunikasi belaka, tetapi juga oleh permainan perasaan yang secara sadar dan tidak sadar hadir langsung dari mereka.

Keunikan konsep kehadiran cinta Marcel adalah konsep "kita" yang dihadirkan sebagai sesuatu yang baru. Ketika "aku" dan "kamu" adalah satu entitas, setiap entitas mewujudkan identitasnya sendiri, bukan untuk konsep "kita". Konsep “kita” membebaskan dua entitas yang menyusunnya, sehingga ketika “aku” dan “kamu” menyatu menjadi “kita”, makna “kita” merupakan makna baru yang selalu ada. "Kami" tetap satu, sekarang dan selamanya.

Pertanyaan kemudian muncul di sini: jika "kita" ada sebagai unit baru berdasarkan "aku" dan "kamu", lalu apa yang terjadi ketika salah satu bagian penyusun unit ini mati?

Marcel menekankan bahwa "kita" dalam cinta itu abadi. Jadi itu juga berlaku untuk "kita" ketika kita mati. Ketika komponen unit "kita" mati, salah satunya akan ada dan yang lainnya tidak. “Kita” sebagai satu kesatuan tidak lagi menjadi satu karena komunikasi interaktif yang seharusnya terjadi sudah tidak ada lagi. Jembatan kedua telah menghilang. Marcel yang selalu konsisten dengan pemikirannya, bagaimanapun, tetap merepresentasikan "kita" sebagai satu kesatuan yang abadi, meskipun komponen-komponennya tidak lagi satu, tetapi hanya satu.

Perasaan kita yang telah terjalin, masih ada, memakan ruang dan waktu, membutuhkan banyak kata dan tanda baca. Pengertian "kita" akan tetap abadi karena dulu ada "kita" yang mengisi ruang dan kondisi yang membuat momen itu bermakna. “Kita” kemudian menjadi kenangan melalui “Aku” atau “Kamu”. Kematian hanyalah penghalang interaksi antara "aku" dan "kamu" dalam ruang, waktu, dan kata-kata. Kematian hanyalah sebuah perpisahan simbolis sebelum kedua entitas itu akhirnya bersatu dalam komunikasi abadi, selamanya dan tanpa memandang batas dunia.

Meilia Wulandari

Simpatisan Pusat Kajian Filsafat dan Teologi