Praktik ikatan di luar pernikahan antara laki-laki dan perempuan(gundik) dengan alasan perbedaan ras, status sosial dan agama menjadi hal lazim di zaman kolonial. Dari sepucuk surat De waarheid, 30 Oktober 1986 tertulis bahwa praktik pergundikan menjadi hal yang membudaya dan diwarisi turun temurun sejak VOC berkuasa dan terus berlanjut.

Pergundikan ini menjadi kisah kelam nasib perempuan di Indonesia. Masa itu dimulai saat VOC mempekerjakan laki-laki Eropa menjadi militer hingga sukarelawan dan menjalin hubungan cinta dengan perempuan Asia. Namun, kompeni memberikan aturan bahwa “pernikahan harus seagama” yang akhirnya membuat para laki-laki Eropa memilih menjadikan perempuan Asia menjadi gundik.

Seorang gundik biasanya berasal dari para perempuan paling miskin, yang mana mereka tidak bisa mengajukan tuntutan apapun. Adapula yang berasal dari keluarga terhormat yang diserahkan ayahnya untuk mempertahankan kedudukannya. ‘Nyai’ menjadi sebutan bagi perempuan gundik yang dipelihara pejabat kolonial yang kaya, sedangkan budak perempuan yang tinggal di rumah tangga Eropa hanya disebut sebagai gundik biasa.

Nyai maupun gundik biasa, memiliki fungsi yang sama mengurusi rumah hingga mengurusi kebutuhan biologis tuannya. Sangat mengenaskan, jika seorang gundik jatuh di tangan seorang serdadu yang bukan dari kalangan Eropa terdidik. Sebab, para gundik akan diperlakukan dengan semena-mena oleh mereka.

Penyiksaan dan kekerasan terhadap gundik kala itu, pernah dikisahkan oleh Van den Brand yang mana ia bersaksi menyaksikan hal mengerikan saat mengunjungi perkebunan di Deli, Sumatra Utara. Miris sekali, Van den Brand melihat seorang gundik yang sedang disiksa dimana perempuan gundik itu kelaminnya diolesi cabai spanyol oleh mereka.

Laki-laki Eropa menganggap bahwa pergundikan merupakan jalan terbaik dalam menahan diri dari pelacur dan minuman keras. Sebaliknya, nasib para gundik sungguh malang jika memiliki anak dari hubungannya. Nantinya anak dari hubungan mereka akan diambil dan perempuan berstatus gundik akan disingkirkan, layaknya ‘habis manis, sepah dibuang'.

Seorang gundik tidak dapat mengasuh anak yang ja kandung dan lahirkan sendiri sudah lazim di zaman koloni. Bahkan, gundik dimata koloni sendiri merupakan orang yang hina sebab mereka dianggap bodoh dan tidak sederajat. Apalagi, gundik ini hanya dijadikan selingan atas pelampiasan nafsunya belaka karena kala di Indonesia laki-laki koloni itu jauh dari istri-istri mereka.

Kisah-kisah atas praktik pergundikan banyak diceritakan. Termasuk kisah seorang gundik atau lebih dikenal ‘Nyai Ontosoroh' dalam bukunya Pram yang menerima ketidakadilan hukum atas dirinya, hal yang cukup menjadi perhatian ialah kala seorang gundik yang disebut Nyai Ontosoroh itu berani melawan koloni dan berani menentang pengadilan kala itu. Bahkan, masih banyak kisah lain yang dilakukan seorang gundik dalam menentang koloni seperti Nyai Dasimah.

Menarik kejadian tentang sejarah pergundikan yang membudaya  di zaman kolonial, nyatanya praktik pergundikan ini masih dapat ditemui hingga saat ini. Pembahasan pergundikan akhir-akhir ini pun cukup menjadi perbincangan sebab adanya kasus-kasus perselingkuhan. Sebutan ‘gundik' dilontarkan masyarakat umum pada perempuan simpanan.

Perempuan simpanan menjadi pasangan jangka panjang yang tidak terikat dalam ikatan pernikahan, mereka hidup bersama dengan seorang laki-laki dan hubungan mereka pun tidak secara terang-terangan.  Perempuan simpanan atau gundik di zaman ini terlihat sangat berbeda dengan seorang gundik di masa kolonial, umumnya perempuan simpanan hidup dengan mewah seakan segala kebutuhannya sudah dipenuhi oleh tuannya.

Faktor pemicu yang mendorong perempuan menyandang status perempuan simpanan biasanya ialah faktor material dan tuntutan gaya hidup. Keinginan untuk mendapat penghasilan secara mudah, mendorong beberapa perempuan yang tergiur dengan kehidupan yang penuh dengan kekayaan menyandang status perempuan simpanan.

Umumnya perempuan simpanan berasal dari perempuan kelas menengah baik perempuan karir, mahasiswa, hingga pelajar. Mereka mendapatkan penghasilan dari statusnya sebagai wanita simpanan. Namun, sebenarnya sebagian mereka menyadari bahwa apa yang ia lakukan sangat beresiko, apalagi dengan pandangan masyarakat yang pasti sangat memilukan.

Dari sebagian besar sudut pandang masyarakat tentang perempuan simpanan umumnya sangat buruk, sebab mereka diposisikan sebagai perebut suami orang dan menerima segala kemewahan dengan cara mudah. Ciri khas perempuan simpanan pun begitu melekat di fikiran masyarakat, dengan dandanannya yang menor hingga warna pakaiannya yang mencolok seperti warna merah dan sebagainnya.

Dibalik semua hal dari sudut pandang masyarakat, tanpa disadari banyak yang melupakan bagaimana yang sudut pandang perempuan simpanan. Faktanya tidak semua sudut pandang masyarakat benar adanya, dibalik itu ada beberapa yang merasakan penderitaan- penderitaan seperti pertentangan batin sebab memperoleh hujatan di masyarakat.

Perihal lain yang diterima oleh perempuan simpanan seperti tidak dijadikan prioritas dan kapan saja bisa ditinggalkan sudah menjadi resiko mereka. Menyandang sebutan perempuan simpanan menjadikan mereka terpojok, tersingkirkan di lapisan masyarakat, bahkan bisa dikata termarjinalkan. Bagaimana tidak, mereka faktanya mendapatkan diskriminasi dan juga pembatasan hak atas kebebasan mencintai dan dicintai.

Para perempuan itu kehilangan hak-hak atas kemanusiannya, sebab sebutan sebagai ‘perempuan simpanan’ yang ia sandang merenggut hal yang seharusnya ia miliki. Sisi lain atau sudut pandang yang tidak terlihat di kalangan masyarakat ini perlu dijadikan perhatian khusus. Perempuan simpanan hanya dianggap boneka, perhiasan, dan hanya menjadi selingan saja.

Miris sekali melihat hal-hal buruk atas perempuan masih terus berlangsung, ketertindasan atas perempuan yang membudaya tiada usainya. Lebih miris lagi, kala melihat ‘perempuan simpanan' yang sebenarnya mengalami ketertindasan itu menikmati ketertindasannya. Mereka seolah terbius akan kekayaan dan tenggelam dalam kemewahan.

Dengan adanya perihal tersebut, gerakan perempuan diharapkan terus mampu berupaya membangun semangat dan kesadaran kepada kaum wanita. Menanamkan pola berpikir yang lebih sehat, dan memupuk perempuan dalam menggapai cita-citanya dan kasus-kasus atas perempuan yang menyandang status “perempuan simpanan” atau pergundikan versi baru di era kini ini tidak akan menjadi pilihan perempuan serta menjatuhkan perempuan kembali kemasa kegelapan.

‘Gadis yang pikirannya sudah dicerdaskan, pemandangannya sudah diperluas, tidak akan sanggup lagi hidup di dalam dunia nenek moyangnya.’ R.A Kartini

 

Silvia Ahmidah

Santri Pusat Kajian Filsafat dan Teologi