Populisme, sudah menjadi hal yang tak asing
lagi terdengar di telinga masyarakat. Seringkali, populisme menjadi topik
perbincangan yang hangat saat momen-momen politik bergulir. Gelombang
kebangkitan populisme menjadi salah satu fenomena politik yang terjadi hampir
diseluruh belahan dunia saat ini.
Hampir seluruh negara mengalami gelombang populisme
dengan coraknya sendiri. Populisme sendiri kerap kali didefinisikan sebagai
ideologi prosedural yang lentur, sebuah gagasan yang menegaskan pemisahan
antara “rakyat bermoral” dan “elit korup” yang mana diklaim sebagai kelompok
penindas, tamak, dan sering kali mengabaikan kehendak rakyat secara umum.
Populisme lahir sebagai kritik atas krisis sistem
demokrasi representatif yang gagal menciptakan keadilan sosial dan gagal
menjadi penyambung lidah rakyat yang diwakilinya (Madung: 2018). Selain perih
krisis politik dan ekonomi, pemerintahan otoriter, pembaharuan institusi
politik dapat menjadi akar kemunculan populisme. Populisme disini lebih dari
sekedar bentuk respon terhadap kehancuran politik. Populisme juga turut
memperjuangkan nilai-nilai kesetaraan dan bukan hirarki.
Menarik waktu kebelakang perihal kemunculan
sekaligus kebangkitan populisme pada tahun 1960-an di Eropa Barat yang
seringkali muncul dalam perdebatan. Yang mana populisme merupakan respon
terhadap liberalisme yang tidak demokratis bisa saja menjadi ancaman, namun
bisa juga menjadi peluang untuk memperbaiki politik yang jauh dari kepentingan rakyat.
Kebangkitan populisme kembali menjadi perbincangan,
pada saat kemenangan Donald Trump di pemilihan Presiden Amerika Serikat tahun
2016 yang diraih lewat pembengkakan konservatisme ras kulit putih dan sentimen
kebencian terhadap minoritas. Pemandangan yang disebut-sebut sebagai gejala
kebangkitan populisme bisa dilihat melalui permainan isu-isu etnis dan agama di
Indonesia dalam Pemilihan Presiden 2014 dan 2019, serta Pemilihan Gubernur DKI
2017.
Kebangkitan populisme seringkali disandingkan
dengan seorang tokoh post-marxis dengan pemikirannya yang linguistik penganut
Saussure, yaitu Ernesto Laclau. Hal itu bermula saat gagasan Marx yang
menyatakan bahwa infrastruktur mempengaruhi suprastruktur dalam masyarakat
dikritik oleh salah satu tokoh post-marxis, seperti Gramsci yang menyatakan
bahwa dalam suprastruktur ada permainan wacana yang dibuat oleh kalangan sosial
yang lebih tinggi untuk menindas orang dibawahnya.
Gagasan Gramsci yang kemudian dikenal sebagai
konsep Hegemoni dikritisi oleh Ernesto Laclau. Berangkat dari gagasan hegemoni
tersebut, maka Ernesto Laclau memberikan pandangan bahwa yang namanya kelas
sosial itu tidak bisa jika direpresentasikan dari basis struktur. Sebab
menurutnya realitas material yang objektik itu tidak ada, bisa saja ada kasus
ketika seorang tidak memiliki harta tidak merasa ia berada di kelas bawah
justru ia melakukan banyak sedekah.
Ernesto Laclau yang memiliki gagasan tersebut
sering juga disebut sebagai studi kritis yang memandang populisme secara
positif sebagai bentuk emansipatoris dan sebaliknya memandang demokrasi liberal
bermasalah. Laclau mendefinisikan people (rakyat) sebagai empty
signifier (penanda kosong). Hal ini berseberangan, ada “kaum elit” yang
dikonstruksi oleh aktor populis sebagai musuh yang harus ditumbangkan.
Pemahaman tentang kaum elit menurut populis ialah
bahwa kekuatan sebenarnya tidak terletak pada pemimpin yang dipilih secara
demokratis tetapi pada beberapa kekuatan bayangan yang terus memegang kekuasaan
dan mengancam kedaulatan rakyat. Namun konstruksi tentang elit dalam populisme
sering dimaksudkan untuk melancarkan perdebatan bahwa para aktor populis yang
dipilih secara demokratis mampu membereskan problem itu (Mudde dan Kaltwasser:
2017).
Pendekatan antagonistik antara rakyat dengan kaum
elit memposisikan populisme sebagai diskursus anti-status quo yang merupakan
sebuah diskursus yang menyederhanakan medan politik secara simbolik terbagi ke
dalam dua kelas yang berhadap-hadapan: the people (masyarakat marjinal)
dan the other (kelas elite demokrasi). Keduanya jelas merupakan
konstruksi politik, bukan hanya sekedar kategori sosial, yang secara simbolik
terbangun dalam relasi antagonisme.
Menyoroti berbagai pengalaman pilkada di Indonesia,
populisme yang kita temui ialah populisme kanan yang anti pluralis, anti-minoritas
dan gemar menabrak prosedur demokrasi. Populisme kanan mengeksploitasi
sentimen-sentimen ras dan agama, nasionalisme sempit, ultranasionalis,
anti-asing atau anti-minoritas, telah menjadi kendaraan utama untuk merebut
dukungan publik. Hal tersebut menjadi ancaman yang berat bagi demokrasi.
Sebagaimana Laclau mengungkapkan bahwa menurutnya
sangatlah mustahil menghapus jejak-jejak yang partikular dari yang universal,
setiap proses identifikasi (termasuk dalam populisme) selalu gagal memproduksi
sebuah identitas utuh dan padat. Proses identifikasi sejatinya hanya
membangkitkan dialektika aspirasi, ketidakpuasan dan ruang kosong.
Menarik kembali perihal gelombang populisme yang
masuk hampir ke seluruh negara, populisme seringkali merambah ke ranah akademik
sebagai bentuk populisme lokal. Apalagi, kiranya akhir-akhir ini suasana panas
di dunia akademik sebab adanya Pemilihan umum raya mulai terasa.
Gejolak-gejolak di berbagai kalangan tak menutup kemungkinan mungundang
gelombang populisme.
Gagasan Ernesto Laclau kiranya mampu memahamkan
semua kalangan tentang populisme dari sudut pandang positif. Agar kejadian
miris tentang retorika populis yang justru sering menjadi bagian dari usaha
memperebutkan kekuasaan oligarkis itu sendiri tidak terjadi. Yang mana gagasan
populis menjadi kendaraan bagi lahirnya pemain baru di dalam oligarki.
Populisme yang menjadi didukung Ernesto Laclau
memang merupakan populisme kiri yang mana sangat memberi sumbangan penting bagi
demokrasi. Sebagaimana Mouffe mengungkapkan bahwasanya tugas politik ialah
merancang populisme kiri yang tidak terakomodasi (Madung: 2018). Perlawanan terhadap
oligarki dan perjuangan mewujudkan keadilan sosial harus menjadi perjuangan
yang lahir dari kesadaran warga sendiri, bukan atas inisiatif dan kemauan seorang
aktor populis.
Penempatan populisme kiri sesuai dengan gagasan
Laclau diposisikan dalam konteks demokrasi antagonistik. Sebab bertujuan agar
tidak gampang berbelok menjadi oportunisme politik yang mengkhianati rakyat,
tetapi tetap konsisten dalam mengarahkan perjuangan demi keadilan sosial, oleh
karenanya harus ditempatkan dalam kerangka demokrasi antagonistik.
Begitupula harapan tentang penempatan populisme
yang mungkin gelombang populisme akan kembali menghampiri. Utamanya tentang
populisme dari gagasan Ernesto Laclau sebagai bagian dari demokrasi
antagonistik, yang mensyaratkan satu hal yaitu perjuangan melawan kekuasaan
oligarkis dan usaha mewujudkan keadilan sosial harus menjadi perjuangan
masyarakat sendiri.
Silvia Ahmidah
Santri Pusat Kajian Filsafat dan Teologi