Ada cerita menarik yang perlu anda cermati, yakni ada hantu-hantu bergentayangan disekitar tempat singgah yang sedang kalian tempati. Tulisan tak beraturan ini berawal dari ketidaktahuan menjadi pengetahuan.

Sebut saja, ada suatu rezim sok penguasa yang mendaku dirinya (baca: kelompoknya) sebagai suatu kelompok yang katanya sangat kuat bak seperti raksasa yang ingin melanggengkan kekuasaannya. Perlu digaris bawahi tulisan ini menganjurkan anda mencermati tulisan ini sambil minum kopi yang sudah kalian pesan dikedai konsolidasi. 

Rezim tersebut sedang berlangsung sampai hari ini, namun masih banyak kelompok yang kritis dan skeptis terhadap masa depan demokrasi miniatur negara ini. Coba kita kembali kebelakang sedikit saja melihat sejarah yang ada pada bangsa ini, yang mana runtuhnya rezim orde baru (ORBA) tahun 1998 tidak secara mutasis mutandis membawa perubahan indonesia menuju demokrasi yang terkonsolidir.

Salah satu media nasional menyebut demokrasi indonesia kini berada dititik terendah dalam dua dekade terakhir. Bahkan salah satu tokoh ilmuwan politik pernah menyimpulkan, indonesia tidak lagi berdemokrasi secara penuh (full democracy) tetapi telah berevolusi menjadi semacam bentuk tak liberal pemerintahan demokrasi (illiberal democracy). Walaupun sering kali sebagian masyarakat awam tidak merasakan gejala yang kurang dari praktik demokrasi di indonesia saat ini. 

Akan tetapi, pembahasan di atas tadi bukan perihal bangsa ini. Lalu perihal apa? Saya yakin kalian menanyakan itu.

Di sini penulis mencoba menarasikan dengan akal sehat penulis terkait apa yang sedang terjadi dan kemungkinan yang akan terjadi di sekitar hiruk pikuk akademiknya. Ada suatu agenda yang disebut sebagai sarana demokrasi prosedural, tentu dalam lingkungan kampus kalian biasa menyebutnya dengan kata PEMIRA (Pemilihan Umum Raya) dan ini salah satu nya bukan satu-satunya.

Selanjutnya, mari kita coba mengkomparasikannya dengan konteks nasional bangsa ini. Pasca pemilu tahun 1999 telah kehilangan elan vital untuk melahirkan rezim politik yang dapat membawa republik ini keluar dari transisi demokrasi menuju konsolidasi demokrasi. Walaupun demikian dalam konteks ini, bangsa kita indonesia masih memenuhi persyaratan sebagai negara demokrasi elektoral.

Indonesia memang masih mampu melaksanakan pemilu dan pemilihan daerah secara regular. Bahkan dalam kondisi COVID-19 indonesia masih mampu melaksanakan agenda besarnya. Namun lagi dan lagi ini bukan perihal makna tersirat, jika kita melihat aspek tertentu, misal dari perkembangan politik nasional ke ranah politik dalam konteks minatur negara dan konfigurasi peraturan perundang-undangan, sudah seharusnya kita mencari diskursus atau wacana model alternatif lain sebagai solusi dari permasalahan (problem solving) demokrasi kekinian. 

Sedikit pengetahuan anda, secara etimologis kata ‘deliberasi’ berasal dari kata bahasa latin ‘deliberatio’ yang berarti konsultasi, menimbang-nimbang atau musyawarah (Hardiman: 2004). Menurut hansen, gagasan deliberasi dapat ditarik dari pemikiran filsuf dan pemikir politik sejak abad 18 seperti, Rouessau, de Tocqueville, J.S. Mill, Dewey, dan Koch (Kusuma:2012).

Namun para ahli umumnya bersepakat bahwa istilah demokrasi deliberatif (deliberative democracy) diperkenalkan oleh J.M. Bessette di tahun 1980. Meskipun demikian, pemikir yang dipandang paling berjasa mengembangkan dan mempopulerkan model demokrasi deliberatif adalah Jurgen Habermas, seorang filsuf kritis generasi kedua dari mazhab Frankfurt, Jerman. Model demokrasi deliberatif juga dikembangkan oleh Ulrich Beck dan Anthony Giddens dalam teori-teori sosialnya tentang masyarakat modern. Singkatnya jika Habermas memberi landasan filosofis bagi gagasan model demokrasi deliberatif, sedangkan ulrich Beck dan Anthonty Giddens memberi dukungan teori sosial terhadap model tersebut. 

Penggunaan istilah deliberatif ini menegaskan sebuah pendekatan politik yang berbeda dalam memahami demokrasi. Bagi para pendukung model ini, demokrasi kontemporer sedang mengalami degradasi serius, semakin terperangkap dalam konflik kepentingan (conflict of interest) yang bersifat pribadi, perilaku politik yang lebih mengutamakan pencitraan dari pada substansi, debat kusir di ruang publik dan pertarungan kekuasaan demi ambisi dan keuntungan pribadi atau kelompok. Model ini memandang bahwa setiap kebijakan publik harus diuji terlebih dahulu melalui konsultasi publik atau lewat diskursus publik dengan keberadaan “publik sphere” (ruang publik).

Habermas ingin membuka ruang yang lebih lebar bagi masyarakat dalam proses pembentukan kebijakan publik. Konsep “ruang publik” yang dimaksud Habermas bukan sekedar ketersediaan forum untuk mendiskusikan setiap kebijakan publik.

Habermas memandang keberadaan ruang publik dengan menyatakan bahwa ruang publik bukan hanya tempat melainkan sebuah kondisi yang memungkinkan konstituen untuk selalu berperan sebagai pengeras suara (sounding board) dalam menyuarakan kepentingan publik untuk pembuatan kebijakan publik. Ruang publik yang dapat menunjukkan diskursus antara konstituen dan wakilnya yang berujung pada kebijakan publik yang benar-benar berpihak pada kepentingan publik. Pemikiran kritis Habermas mengenai model demokrasi deliberatif bersandar pada dialog yang setidaknya bertumpu pada dua narasi besar. 

Pertama, sebagai bagian utama dari kritiknya terhadap Marxisme (termasuk terhadap generasi awal Mazhab Frankfurt) yang menurutnya terlalu bergantung pada apa yang ia sebut dengan ‘philosophy of consciousness’. Filsafat ini hanya melihat subjek sebagai entitas yang monologis, terbentuk tidak berdasarkan hubungannya dengan dengan subjek lainnya melainkan berdasarkan perjuangannya mengendalikan alam bagi kepentingan materialnya yang tercermin dalam perkembangan kekuatan produksi sebagai basis penjelas paling penting dalam tradisi pemikiran Marxisme.

Kedua, cara berpikir yang mengutamakan aksi komunikatif (communicative action) sebagai bentuk aktivitas manusia paling penting, dan menganggapnya sebagai satu-satunya jalan keluar untuk mempersatukan masyarakat modern yang bertumpu pada rasionalisme, atau disebut rasio instrumental. Menurut Habermas manusia itu kompleks, sehingga dia menawarkan sebuah konsepsi “rasio komunikatif,” sebuah konsepsi berpikir dengan saling berkomunikasi antara subjek dengan subjek lainnya.

Secara lebih detail Habermas menjelaskan, kapasitas mengatur dan mengintegrasikan yang tersirat dalam aksi komunikatif berkaitan dengan dua hal. Pertama, setiap orang yang terlibat dalam pembicaraan mau tidak mau harus menyesuaikan perilakunya berdasarkan kondisi yang memungkinkan dialog yang logis berlangsung (misalnya tidak memaksakan kehendak). Kedua, di saat bersamaan aturan yang mempengaruhi perilaku ini diterima sebagai sesuatu yang memiliki legitimasi dan wajib dipatuhi.

Model demokrasi deliberatif memberikan arti penting pada proses atau prosedur pengambilan keputusan yang menekankan musyawarah dan penggalian masalah melalui dialog ataupun sharing ide di antara para pihak dan warga negara. Keterlibatan warga merupakan inti dari demokrasi deliberatif, berbeda dengan ide dasar paham demokrasi perwakilan yang lebih menekankan keterwakilan.

Jika model demokrasi deliberatif mengutamakan kerjasama antar ide dan antar pihak, maka demokrasi perwakilan adalah kompetisi antar ide dan antar pihak. Namun demikian, bukan tidak mungkin narasi besar deliberasi diterapkan dalam sistem demokrasi perwakilan, dimana proses pembentukan atau pengambilan kebijakan oleh wakil rakyat diwarnai oleh keterlibatan rakyat atau konstituen melalui proses yang deliberatif.

Singkatnya, elemen penting dari model demokrasi deliberatif terdiri dari adanya partisipasi warga negara, ketersediaan ruang untuk terlibat dalam proses (ruang publik), dan adanya komunikasi diantara warga negara maupun antar warga dan pembentuk kebijakan (negara).

Penulis yakin jika elemen penting dari model demokrasi deliberatif bisa diterapkan, khususnya pada proses pengambilan kebijakan atau pembentukan produk hukum di Indonesia (peraturan perundang-undangan) maka kebijakan atau produk hukum yang dihasilkan tersebut pasti berkarakter hukum responsif. Dan inilah solusi yang sangat relevan untuk praktik demokrasi di Indonesia dimasa depan. Hal ini senada dengan pendapat Joseph Kristiadi (1999) menyebutkan demokrasi merujuk kepada kekuasaan rakyat paling tinggi.

Populisme, sudah menjadi hal yang tak asing lagi terdengar di telinga masyarakat. Seringkali, populisme menjadi topik perbincangan yang hangat saat momen-momen politik bergulir. Gelombang kebangkitan populisme menjadi salah satu fenomena politik yang terjadi hampir diseluruh belahan dunia saat ini.

Hampir seluruh negara mengalami gelombang populisme dengan coraknya sendiri. Populisme sendiri kerap kali didefinisikan sebagai ideologi prosedural yang lentur, sebuah gagasan yang menegaskan pemisahan antara “rakyat bermoral” dan “elit korup” yang mana diklaim sebagai kelompok penindas, tamak, dan sering kali mengabaikan kehendak rakyat secara umum.

Populisme lahir sebagai kritik atas krisis sistem demokrasi representatif yang gagal menciptakan keadilan sosial dan gagal menjadi penyambung lidah rakyat yang diwakilinya (Madung: 2018). Selain perih krisis politik dan ekonomi, pemerintahan otoriter, pembaharuan institusi politik dapat menjadi akar kemunculan populisme. Populisme disini lebih dari sekedar bentuk respon terhadap kehancuran politik. Populisme juga turut memperjuangkan nilai-nilai kesetaraan dan bukan hirarki.

Menarik waktu kebelakang perihal kemunculan sekaligus kebangkitan populisme pada tahun 1960-an di Eropa Barat yang seringkali muncul dalam perdebatan. Yang mana populisme merupakan respon terhadap liberalisme yang tidak demokratis bisa saja menjadi ancaman, namun bisa juga menjadi peluang untuk memperbaiki politik yang jauh dari kepentingan rakyat.

Kebangkitan populisme kembali menjadi perbincangan, pada saat kemenangan Donald Trump di pemilihan Presiden Amerika Serikat tahun 2016 yang diraih lewat pembengkakan konservatisme ras kulit putih dan sentimen kebencian terhadap minoritas. Pemandangan yang disebut-sebut sebagai gejala kebangkitan populisme bisa dilihat melalui permainan isu-isu etnis dan agama di Indonesia dalam Pemilihan Presiden 2014 dan 2019, serta Pemilihan Gubernur DKI 2017.

Kebangkitan populisme seringkali disandingkan dengan seorang tokoh post-marxis dengan pemikirannya yang linguistik penganut Saussure, yaitu Ernesto Laclau. Hal itu bermula saat gagasan Marx yang menyatakan bahwa infrastruktur mempengaruhi suprastruktur dalam masyarakat dikritik oleh salah satu tokoh post-marxis, seperti Gramsci yang menyatakan bahwa dalam suprastruktur ada permainan wacana yang dibuat oleh kalangan sosial yang lebih tinggi untuk menindas orang dibawahnya.

Gagasan Gramsci yang kemudian dikenal sebagai konsep Hegemoni dikritisi oleh Ernesto Laclau. Berangkat dari gagasan hegemoni tersebut, maka Ernesto Laclau memberikan pandangan bahwa yang namanya kelas sosial itu tidak bisa jika direpresentasikan dari basis struktur. Sebab menurutnya realitas material yang objektik itu tidak ada, bisa saja ada kasus ketika seorang tidak memiliki harta tidak merasa ia berada di kelas bawah justru ia melakukan banyak sedekah.

Ernesto Laclau yang memiliki gagasan tersebut sering juga disebut sebagai studi kritis yang memandang populisme secara positif sebagai bentuk emansipatoris dan sebaliknya memandang demokrasi liberal bermasalah. Laclau mendefinisikan people (rakyat) sebagai empty signifier (penanda kosong). Hal ini berseberangan, ada “kaum elit” yang dikonstruksi oleh aktor populis sebagai musuh yang harus ditumbangkan. 

Pemahaman tentang kaum elit menurut populis ialah bahwa kekuatan sebenarnya tidak terletak pada pemimpin yang dipilih secara demokratis tetapi pada beberapa kekuatan bayangan yang terus memegang kekuasaan dan mengancam kedaulatan rakyat. Namun konstruksi tentang elit dalam populisme sering dimaksudkan untuk melancarkan perdebatan bahwa para aktor populis yang dipilih secara demokratis mampu membereskan problem itu (Mudde dan Kaltwasser: 2017).

Pendekatan antagonistik antara rakyat dengan kaum elit memposisikan populisme sebagai diskursus anti-status quo yang merupakan sebuah diskursus yang menyederhanakan medan politik secara simbolik terbagi ke dalam dua kelas yang berhadap-hadapan: the people (masyarakat marjinal) dan the other (kelas elite demokrasi). Keduanya jelas merupakan konstruksi politik, bukan hanya sekedar kategori sosial, yang secara simbolik terbangun dalam relasi antagonisme.

Menyoroti berbagai pengalaman pilkada di Indonesia, populisme yang kita temui ialah populisme kanan yang anti pluralis, anti-minoritas dan gemar menabrak prosedur demokrasi. Populisme kanan mengeksploitasi sentimen-sentimen ras dan agama, nasionalisme sempit, ultranasionalis, anti-asing atau anti-minoritas, telah menjadi kendaraan utama untuk merebut dukungan publik. Hal tersebut menjadi ancaman yang berat bagi demokrasi.

Sebagaimana Laclau mengungkapkan bahwa menurutnya sangatlah mustahil menghapus jejak-jejak yang partikular dari yang universal, setiap proses identifikasi (termasuk dalam populisme) selalu gagal memproduksi sebuah identitas utuh dan padat. Proses identifikasi sejatinya hanya membangkitkan dialektika aspirasi, ketidakpuasan dan ruang kosong.

Menarik kembali perihal gelombang populisme yang masuk hampir ke seluruh negara, populisme seringkali merambah ke ranah akademik sebagai bentuk populisme lokal. Apalagi, kiranya akhir-akhir ini suasana panas di dunia akademik sebab adanya Pemilihan umum raya mulai terasa. Gejolak-gejolak di berbagai kalangan tak menutup kemungkinan mungundang gelombang populisme.

Gagasan Ernesto Laclau kiranya mampu memahamkan semua kalangan tentang populisme dari sudut pandang positif. Agar kejadian miris tentang retorika populis yang justru sering menjadi bagian dari usaha memperebutkan kekuasaan oligarkis itu sendiri tidak terjadi. Yang mana gagasan populis menjadi kendaraan bagi lahirnya pemain baru di dalam oligarki. 

Populisme yang menjadi didukung Ernesto Laclau memang merupakan populisme kiri yang mana sangat memberi sumbangan penting bagi demokrasi. Sebagaimana Mouffe mengungkapkan bahwasanya tugas politik ialah merancang populisme kiri yang tidak terakomodasi (Madung: 2018). Perlawanan terhadap oligarki dan perjuangan mewujudkan keadilan sosial harus menjadi perjuangan yang lahir dari kesadaran warga sendiri, bukan atas inisiatif dan kemauan seorang aktor populis.

Penempatan populisme kiri sesuai dengan gagasan Laclau diposisikan dalam konteks demokrasi antagonistik. Sebab bertujuan agar tidak gampang berbelok menjadi oportunisme politik yang mengkhianati rakyat, tetapi tetap konsisten dalam mengarahkan perjuangan demi keadilan sosial, oleh karenanya harus ditempatkan dalam kerangka demokrasi antagonistik.

Begitupula harapan tentang penempatan populisme yang mungkin gelombang populisme akan kembali menghampiri. Utamanya tentang populisme dari gagasan Ernesto Laclau sebagai bagian dari demokrasi antagonistik, yang mensyaratkan satu hal yaitu perjuangan melawan kekuasaan oligarkis dan usaha mewujudkan keadilan sosial harus menjadi perjuangan masyarakat sendiri.

Rijal Abidin

Santri Pusat Kajian Filsafat dan Teologi