Meskipun istilah “Black Friday” mungkin
terdengar sedikit menyeramkan, tapi black Friday tidak ada hubungannya dengan
hal-hal mistis. “Black Friday is a big discount” merupakan stilah yang
sering digunakan oleh para penjajah dan pembelanja AS (Amerika Serikat).
Berlangsungnya Black Friday ada di waktu
mendekati akhir tahun dan hanya berlangsung sekali dalam setahun tepatnya pada
pekan keempat bulan November (tepatnya Jumat terakhir pada bulan November).
Perayaan ini dilakukan setelah hari Thanksgiving (hari libur resmi di
Amerika Serikat yang jatuh pada Kamis keempat di bulan November).
Black Friday juga
disebut sebagai sebuah fenomena tentang hari dimana sebagian besar orang
berbondong-bondong pergi ke pusat perbelanjaan untuk berbelanja. Pasalnya
hampir semua departement store memberikan diskon gila-gilaan pada hari itu.
Tujuanya sederhana, para toko di AS ingin
menjual barang sebanyak mungkin pada hari Black Friday. Ada semacam motif untuk
cuci gudang pada hari itu.
Tak mengherankan jika pada hari itu, para
pembelanja di AS sampai rela mendirikan tenda dekat toko yang menjual barang
impian mereka. Mereka ingin menjadi orang pertama yang masuk ke toko dan
mendapatkan barang impian dengan harga paling murah.
Namun dibalik fenomena ini ada sejumlah mitos
tentang asal usul nama tersebut. Yang paling umum adalah para penjaja ingin para
konsumennya percaya bahwa itu adalah hari ketika toko-toko menghasilkan
keuntungan, sehingga "menjadi hitam".
Dalam neraca pembukuan, catatan yang diberi
warna merah adalah catatan yang menunjukkan kerugian, tapi setelah
diadakanya Black Friday, catatan tinta merah itu berganti menjadi tinta hitam
yang berarti keuntungan. Karena pada Black Friday banyak toko
mampu menjual banyak produk, maka mereka mendapatkan banyak keuntungan dan
mengubah warna catatannya menjadi hitam sehingga dinamakan Black Friday. Tapi
apakah benar hanya itu?
Istilah Black Friday dimulai dengan
tradisi pemilik budak atau pedagang budak yang menggunakan Black Friday
sebagai kesempatan untuk menjual dagangan mereka. Namun galian sumber-sumber
yang ditemukan penggunaan "Black Friday" sebagai deskripsi
untuk hari setelah Thanksgiving tidak ada hubungannya dengan penjualan
budak, dan istilah tersebut baru muncul hampir satu abad setelah praktik
perbudakan dihapuskan di AS.
Rasa penasaran akan fenomena ini membawa penulis
pada tulisan Ben Zimmer seorang penulis lepas AS, dalam tulisannya ia
mengatakan bahwa “Jangan percaya, asal-usul sebenarnya berasal dari petugas
polisi yang lelah dalam mengatur lalu lintas di Philadelphia pada awal
1960-an”. Berkat tulisan ini penulis mengalami dorongan keingintahuan, dan
alhasil setelah mengobrak-abrik internet mencari tahu lebih dalam tentang Black
Friday penulis menemukan artikel tahun 1994 yang memperkuat polemik petugas
polisi Philadelphia. The Philadelphia Inquirer oleh Joseph P.
Dilansir dari Philadelphia Inquirer dalam “This
Friday Was Black with Traffic” Barrett yang menceritakan perannya dalam
mempopulerkan ungkapan Black Friday saat dia bekerja sebagai reporter The
Philadelphia Buletin. Dia memuji polisi lalu lintas yang harus bekerja
shift dua belas jam sehari setelah hari Thanksgiving (25/11/1994).
Dalam tulisannya pada tahun 1959, Buletin Sore
tua menugaskan Joseph ke administrasi kepolisian, dan bekerja di Balai Kota
bersama temannya. Nathan Kleger adalah reporter polisi yang meliput Center City
untuk Buletin.
Pada awal 1960-an, Kleger dan Joseph menyusun
cerita halaman depan buletinnya untuk Thanksgiving dan mereka
menggunakan istilah polisi "Black Friday" untuk menggambarkan
kondisi lalu lintas yang buruk. Pedagang Center City mengeluh dengan lantang
kepada Komisaris Polisi Albert N.
Brown bahwa menarik perhatian lalu lintas
menghalangi pelanggan untuk datang ke pusat kota. Joseph dan Kleger sedikit
kawatir jika mereka telah melakukan kesalahan dalam menggunakan istilah seperti
itu, jadi Joseph menemui Inspektur Kepala Albert Trimmer untuk memintanya memverifikasi
hal tersebut.
Seabad dengan maraknya, banyak yang berasumsi
dan hanya akan mengatakan bahwa Black Friday digunakan untuk
menggambarkan pembantaian mafia Hari Valentine di Chicago. Tahun berikutnya,
Brown mengeluarkan siaran pers yang menggambarkan hari itu sebagai "Big
Friday".
Tapi Kleger dan Joseph bertahan, dan sekali lagi mengatakan itu adalah "Black Friday". Dan tentu saja mereka menggunakannya dari tahun ke tahun.
Perlu dicatat bahwa banyak penjajah
Philadelphia tidak menyukai label "Black Friday" karena
terlalu berkonotasi negatif dan mencoba membuat orang menggunakan istilah yang
lebih positif seperti "Big Friday".
Upaya itu ternyata gagal, dan istilah "Black
Friday" menyebar pesat ke kota-kota lain pada tahun 1970-an dan 1980-an.
Dan alih-alih mencoba mengganti "Black Friday" dengan "Big
Friday", penjajah dan pengiklan justru memutar otak untuk memperbaiki
nama hari itu, mereka menyebarkan cerita bahwa "Black Friday"
disebut demikian bukan karena kondisi lalu lintas yang buruk tetapi karena
keuntungan dilihat oleh neraca pembukuan toko.
Perlu dicatat lagi bahwa semua pendahulu
sejarah Black Friday modern adalah peristiwa negatif. Ambilah contoh
"Black Friday" awal terjadi pada 6 Desember 1745, ketika
berita tentang pendaratan Charles Edward Stuart di Skotlandia, yang
berpura-pura naik tahta dipublikasikan di London.
"Black Friday" juga digunakan
untuk menggambarkan kepanikan keuangan tahun 1869 dan 1873. Terlepas dari
sejarah itu, dan pengalaman polisi lalu lintas Philadelphia yang malang.
Propaganda komersial tentang "Black Friday" yang dihubungkan
dengan "tinta hitam" (profitabilitas) telah mengaburkan asal-usul
sebenarnya dari istilah tersebut. Seperti biasa, hati-hati dengan etimologi
kawan!
Zakiyah
Rohmah Herawati
Santri Pusat Kajian Filsafat dan Teologi