Manusia selalu bebas menggunakan perilakunya untuk kepentingan makhluk hidup. Oleh karena itu, manusia harus menyadari bahwa kematian selalu siap merenggut eksistensinya. Sesuatu seperti itu sudah cukup untuk membuktikan bahwa manusia tidak memiliki keterampilan. Untuk menemukan keberadaan diri ini, manusia harus mengenalinya. Karena tidak ada makhluk hidup selain manusia.

Eksistensi pada dasarnya mengacu pada kesadaran manusia. Karena manusia berurusan dengan dunia di mana mereka ada dan pada saat yang sama mereka bertanggung jawab atas diri mereka sendiri dan masa depan dunia mereka. Orang yang bebas dapat mengatur, memilih, dan memahami kenyataan. Kehadiran Mahasiswa adalah keadaan atau status kehadiran mahasiswa dalam bentuk perilaku di ranah akademik atau nonakademik atau publik. Mahasiswa dapat dikatakan sebagai jembatan antara masyarakat dan pemerintah.

Kita biasanya mendengar gerakan mahasiswa sebagai agen perubahan. Gerakan ini dapat dilihat pada tahun 1998 ketika insiden itu muncul, dan gerakan ini memanifestasikan dirinya dalam perilaku jalanan. Yang lain mengomunikasikan gerakan mereka melalui media cetak dan non-cetak. Tentu saja ini juga termasuk kritik dan sindiran terhadap kasus-kasus yang ada.

Peran gerakan mahasiswa dalam dinamika perubahan kekuasaan di Indonesia memiliki implikasi yang signifikan. Munculnya gerakan mahasiswa yang dicap sebagai heroic agent of change, iron reserve, dan social control, tidak terjadi secara tiba-tiba. Perjalanan mahasiswa dapat dilakukan di dalam kampus atau di luar kampus. Biasanya sebagai anak muda, selain mencari ilmu di perkuliahan, aktivis mahasiswa yang aktif di kelompok diskusi, lembaga swadaya masyarakat, organisasi ekstra dan intra universitas.

Pemuda adalah ujung tombak perubahan di negeri ini. Gerakan mahasiswa yang dibutuhkan di Indonesia saat ini adalah memahami kehidupan di sekitarnya dan mengikuti perkembangan zaman. Misalnya, setiap hari saya melihat mahasiswa belajar kopi di kampus lalu pulang.

Masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk kaum muda saat ini. Mencari kebenaran dan keadilan. Ini bukan tentang keberadaan kekuasaan, ini tentang memahami apa yang benar dan apa yang salah. Perlu disadari bahwa keberadaan gerakan mahasiswa akan mempengaruhi kualitas hidup di Indonesia di masa depan. Saya tekankan sekali lagi bahwa sebagai mahasiswa harus sadar, peka, mobile, bergerak dengan kehadiran sesuai kemampuan.

Dari dulu hingga sekarang, pemuda adalah pilar kebangkitan, setiap kebangkitan pemuda memiliki rahasia kekuatannya, setiap pemikiran pemuda memiliki pembawa panjinya. Gerakan pemuda dan mahasiswa telah lama menjadi kendaraan perlawanan dan pembebasan di berbagai belahan dunia. Ada banyak contoh gerakan revolusioner di seluruh dunia yang didukung oleh gerakan pemuda. Aktivisme pemuda merupakan fenomena sosial yang lahir dari rasa takut dan bertemu dengan hati nurani yang berpihak pada kebenaran. Keberadaannya sangat diperlukan dalam sejarah peradaban manusia.

Di Indonesia, sejarah mencatat prestasi seorang pemuda yang cerdas dan membanggakan baik dalam sejarah perjuangan kemerdekaan maupun sejarah kemerdekaan Indonesia. Kisah ini pula yang kemudian menjadi catatan mengharukan dan romansa yang mengharukan. Kehadiran generasi muda menjadi parameter masa depan bangsa. Kehadiran mereka sangat masuk akal karena terwujud dalam karya gerakan.

Kaum muda, dalam hal ini mahasiswa, memiliki sisi potensial sebagai agen perubahan. Kehadiran ini berkaitan dengan gerakan dan agenda lari yang bersinggungan dengan masyarakat. Dalam prinsip ekstraparlementer, gerakan mahasiswa merupakan pengenalan aliran antara elit dan elit, memahami aliran bawah, aliran atas, aliran dari rakyat ke penguasa. Rekonstruksi budaya internal baru dalam gerakan merupakan bentuk perhatian gerakan untuk memenuhi tuntutan zamannya. Konstruksi terkait dengan proyek budaya.

Pertama adalah budaya pembaruan. Budaya ini terkait dengan budaya rekrutmen dan pengembangan talenta sebagai penggerak dan penerus agenda gerakan. Dalam konteks organisasi di dalam kampus dan di luar kampus, pengurus merupakan pendukung terpenting untuk menjaga kelangsungan pergerakan dan memperkuat posisi organisasi. Dalam budaya ini, regenerasi terkadang dapat dikontraskan dengan senioritas (kader vs senioritas).

Kedua, budaya literasi saat ini menunjukkan bahwa gerakan mahasiswa muncul di depan umum sebagai gerakan remedial. Aktivis gerakan seperti gelandangan intelektual yang miskin membaca dan menulis, apalagi punya ide. Model gerakan ini sangat kontras dengan pendahulunya. Kita akan melihat kembali bagaimana gerakan-gerakan intelektual seperti Sukarno, Hatta, Shahril, Tan Malaka, Nazir, Agus Salim dan lain-lain membangun narasi-narasi gerakan, narasi-narasi keberadaan. Hari ini. Pada hakekatnya menulis merupakan upaya untuk mempertahankan eksistensi gerakan itu sendiri. Ia tetap eksis karena mencari inovasi dalam tulisan-tulisannya.

Ketiga, budaya eksekusi ide yang mengarah pada grand design sebuah gerakan seringkali berhenti pada level konsep. Bukan karena tidak berlaku, tetapi karena sulit untuk diterjemahkan secara teknis. Hal ini terbatas pada retorika yang indah, dialektika, dan ekspresi bahasa yang mencolok, tetapi tidak dapat dieksekusi. Kurangnya kerja nyata gerakan adalah bentuk organisasi secara keseluruhan.

Lambat laun ia menjadi tidak berharga. Mulailah dengan desain skala besar yang sederhana, tetapi dengan rencana yang jelas dan terukur, itu mungkin. Semuanya berkisar pada tujuan, pemangku kepentingan, konsep, kemitraan, sarana, dan metrik keberhasilan. Gerakan ilmiah yang terstruktur, sistematis, dan berskala besar menghindari stagnasi ide dan ketegasan.

Keempat, budaya kemampuan sebagai gerakan mahasiswa. Padahal, menurut penelitian yang dilakukan, gerakan ditata ulang dengan membentuk kolaborator berdasarkan keterampilan dan ilmu pengetahuan. Diskusi seharusnya tidak hanya relevan dengan iklim politik, tetapi harus ada kelompok diskusi berbasis penelitian. Karena profesionalisme dan semangat kewirausahaan diperlukan dari kita hari ini. Budaya kompeten ini secara tidak langsung mempersiapkan kader gerakan diaspora untuk ruang publik yang lebih luas.

Kelima, budaya rekonsiliasi terbuka dan tidak terpaku pada tradisi lama. Inklusivitas karakter, jangan buta, rangkul hal-hal baru. Matinya sebuah organisasi gerakan bisa jadi akibat dari ketidakmampuannya menerima kenyataan zaman. Seorang idealis, tetapi tidak mampu memaknai kehendak realitas. Untuk eksis, ia harus fleksibel, namun berprinsip dan tidak pernah mati dari pragmatisme.

Dede Ega Firmansyah

Santri Pusat Kajian Filsafat dan Teologi Tulungagung