Peringatan hari-hari besar nasional yang diperingati oleh negara Indonesia hampir ada disetiap bulannya. Hari-hari yang biasa diperingati merupakan wujud pengingat adanya hari bersejarah yang sudah terjadi dimasa lalu, misalnya seperti Hari Kemerdekaan, Kesaktian Pancasila, Hari Sumpah Pemuda dan yang tidak kalah penting lagi, yaitu Hari Pahlawan yang biasa diperingati pada setiap tanggal 10 November.

Peringatan hari pahlawan ini biasa ramai diperingati oleh beberapa kalangan masyarakat terutama para pelajar dan mahasiswa. Biasanya, di hari tersebut mereka ramai berpartisipasi memperingati hari pahlawan dengan berbagai bentuk ucapan yang disebarkan melalui media sosial baik lewat story maupun feed akun pribadi. Bahkan tidak jarang dari mereka yang menyelipkan beberapa quotes dan kata-kata mutiara yang senada dengan suasana hari pahlawan sebagai wujud kobaran semangat kepada masyarakat Indonesia, khususnya para generasi muda yang nantinya akan meneruskan cita-cita kemerdekaan Indonesia.

Sedikit kilas balik mengenai rentetan peristiwa di masa lalu yang melatarbelangi adanya peringatan Hari Pahlawan, dimana dalam sejarah disebutkan bahwa Hari Pahlawan ini diperingati sebagai hari besar nasional karena untuk mengenang perjuangan yang luar biasa yang dilakukan oleh Arek-arek Surabaya (sebutan bagi pemuda Surabaya). Peristiwa ini dianggap sebagai salah satu bentuk perjuangan revolusi yang besar dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Hingga tidak heran bahwa dalam peritiwa pertempuran tersebut banyak jenderal yang harus gugur dalam pertempuran.

Rangkaian pertempuran diawali dengan datangnya pasukan sekutu pada tanggal 25 Okrober 1945. Pasukan tesebut dibawahi langsung oleh Brigjen A.W.S Mallaby dan disambut dengan hangat oleh Gubernur Jawa Timur R.M.R.A.A Soeryo. Namun sambutan baik ini mendapatka perlakuan yang paradoks dimana para tentara Inggris mulai menyalahi kesepakatan mereka diawal dan malah menunjukkan sikap seolah menyerang dengan menduduki pos-pos strategis seperti  kantor pos, pangkalan angkatan laut di Tanjung Perak, gedung Bank Inferio, serta pos-pos strategis lainnya.

Perlakuan yang tidak sesuai dengan apa yang telah disepakati sebelumnya, telah memicu pertempuran yang akhirnya kontak senjata pun tidak terelakkan.  Kontak senjata pertama dengan Inggris terjadi siang hari pada tanggal 27 Oktober 1945 tersebut, yang kemudian pertempuran meluas dengan sangat cepat. Dalam pertempuran tersebut pos-pos strategis mampu direbut kembali oleh Arek-arek Surabaya. Hal tersebut membuat Brigjen A.W.S. Malllaby terdesak dan akhirnya meminta bantuan kepada Mayjend. D.C. Hawthorn (komandan tentara Inggris di Jawa). Kemudian Howthorn lalu menghubungi Presiden Soekarno dan meminta bantuan untuk menyelesaikan pergolakan.

Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, akhirnya antara Indonesia dan Inggris melakukan negosisasi dan menyepakati adanya genjatan senjata. Meskipun gencatan disepakati, aksi tembak-menembak masih terus terjadi di berbagai tempat. Pada tanggal 30 Oktober 1945, A.W.S. Mallaby menjadi sasaran tembakan ketika mencoba menyeberangi Jembatan Merah. Baku tembak meletus di sana, yang menyebabkan kematian Mallaby. Sementara itu, mobil hangus akibat ledakan bom. Kematian Mallaby menjadi alasan bagi Inggris untuk menyerang rakyat Surabaya dan menuntut "penyerahan tanpa syarat".

Pengajuan tanpa syarat harus dilakukan selambat-lambatnya pukul 6:00 pagi pada tanggal 10 November. Jika ultimatum itu tidak diindahkan, Inggris akan mengerahkan seluruh pasukannya dan menghancurkan Surabaya. Tepat pukul 22.00, 9 November setelah berunding dengan pemerintah pusat, Gubernur Soeryo dengan tegas menolak ultimatum tersebut melalui siarkan radio. Setelah batas waktu habis, sebagai konsekuensinya pertempuran tidak terelakkan. Kontak senjata dengan tenata dengan Inggris pun terjadi kembali dan bertempat di Tanjung Perak. Namun sayangnya, perlawanan dari rakyat Surabaya mampu ditaklukkan oleh Inggris yang akibatnya banyak korban berjatuhan dalam pertempuran tersebut.

Selama pertempuran berlangsung, saat Inggris mulai menggempur Surabaya melalui semua penjuru mulai darat, laut, dan udara, terdapat dua tokoh yang tak pernah diam yaitu Bung Tomo dan Bung Karno. Bung Tomo (1920-1981) dengan gigih dan berapi-api memberikan semangat para pemuda dan masyarakat Surabaya dengan pidato-pidatonya di radio. Sementara itu, Bung Karno berpidato menggunakan bahasa Inggris, direkam di tape recorder, lalu disiarkan keseluruh dunia.. Lewat pidato tersebut akhirnya mampu membakar semangat lebih membara lagi dan akhirnya rakyat bersama TKR (Tentara Keamanan Rakyat) memilih untuk menerusakan melakukan perlawanan dan menyuntikkan semangat perjuangan dengan teriakan “merdeka” atau “mati”.

Tiga minggu kemudian, TKR, pemuda dan masyarakat Surabaya berhasil mempertahankan kota Surabaya yang hancur dari pendudukan Inggris. Setelah peristiwa inilah akhirnya pada setiap tanggal 10 November menjadi hari besar nasional yaitu hari pahlawan, dan tidak hanya itu, pasca pertemepuran ini usai, dibangunlah tugu pahlawan untuk mengenang peristiwa revolusi bersejarah yang terjadi di Kota Surabaya.

Dari sejarah singkat yang sudah dipaparkan sebelumnya, telah diketahui bahwa ghirah (penyebutan semangat dalam bahasa arab) para pahlawan harus menjadi alasan dan landasan bagi para generasi muda untuk memberikan coretan sejarah yang serupa. Namun apakah harus diakukan dengan hal yang sama melalui pertempuran di medan perang? Tentu saja tidak, karena telah kita ketahui bahwa kini kita sudah berada di negara yang merdeka. bukan saatnya kita melakukan hal pertempuran seperti apa yang dilakukan oleh bunga bangsa yang telah gugur demi kemerdekaan Indonesia, tapi kita bisa melakukan upaya yang serupa dengan impact yang sama.

Kita sebagai mahasiswa yang mana memiliki fungsi sebagai iron stock (generasi penerus) sudah semestinya mampu meneruskan ghirah yang dimiliki oleh para pahlawan dengan melakukan berbagai upaya yang selaras dengan cita-cita kemerdekaan Inonesia. Dengan memperingati saja rasanya kurang cukup. Sudah sepatutnya kita berjuang dengan aksi nyata sebagai upaya mempertahankan kemerdekaan yang sudah ada.

Pertama, sebagai iron stock kita harus memiliki kemampuan yang mumpuni agar bisa memberikan perubahan pada setiap lini untuk bangsa yang lebih maju. Kedua, sebagai iron stock kita juga harus memiliki ketrampilan yang bernilai jual, sehingga dengan ketampilan tersebut kita mampu memberikan impact jangka panjang bagi bangsa yang berkemajuan.

Ketiga, sebagai iron stock kita harus memiliki pengetahuan yang luas sehingga apa yang kita perjuangkan memiliki landasan yang relevan dan bisa memberikan jawaban serta solusi yang dihadapi oleh bangsa saat ini. Sebab pada masa saat ini kita telah beralih dari gencatan senjata menuju gencatan senjata, maka tidak menutup kemungkinan bahwa kita akan bersaing dengan negara lain dalam bentuk pemikiran, teknologi dan berbagai kemajuan lainnya

Menjadi pahlawan bukan hal yang mudah, apa yang mereka lakukan untuk kemerdekaan di kehidupan generasi selanjutnya sudah selayaknya diapresiasi. Para pahlawan memiliki tanggung jawab untuk berjuang, sedangkan hidup atau mati adalah pilihan atas kehidupan yang telah Tuhan anugerahkan untuk dimiliki. Saat mereka memilih untuk menyerahkan semua hidup dan matinya untuk kemsalahatan komunal, ingatlah bahwa apa yang mereka lakukan adalah sebuah ketulusan dari seorang pahlawan yang setia berkorban. Mereka berkoraban bukan untuk dikenal namanya, tetapi semata-mata untuk membela cita-cita –Mohammad Hatta.

Meilia Wulandari

Simpatisan Buletin Aufklarung