Tepat
tanggal 25 November 2022, yang berarti 77 tahun yang silam telah terbentuk
komunitas guru nasional. Komunitas tersebut telah melangsungkan kongres sejak
Indonesia merdeka, tepatnya 100 hari setelah Indonesia merdeka. Dan barulah
pada tahun 1994 yang bertepatan dengan hari lahirnya organisasi
Persatuan Guru Republik Indonesia atau yang sering kita kenal dengan PGRI
melalui Keputusan Presiden Nomor 78 Tahun 1994 tentang Hari Guru Nasional.
Melalui
peraturan tersebut para guru dianugerahi hari untuk “sekedar” pengakuan
eksistensi mereka. Tak hanya itu, adanya sebuah reward berupa penetapan hari
tersebut tentunya tidak terlepas dari jasa seorang guru yang katanya guru
merupakan profesi yang mulia yang sering mengalami penindasan.
Sering kali kita dengar, banyak
orang mengatakan bahwa guru merupakan pahlawan tanpa tanda jasa. Apa itu
sepadan ya dengan zaman sekarang yang notabenenya banyak oknum guru yang
berlomba-lomba mengajukan sertifikasi profesi demi pencapaian pemenuhan
kebutuhan hidup.
Apabila penulis coba amati, masih
bisa guru dikatakan sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, seperti contoh banyak
guru di perkotaan yang rela merogoh celengannya untuk membayar tanah kuburan
ketika dia wafat karena pahlawan yang satu ini tidak di fasilitasi negara
layaknya pahlawan lain di taman makam pahlawan. Sungguh sangat membagongkan adanya dogma tersebut.
Berkaca pada fenomena itu, sudah
sepatutnya kita mengevaluasi gerakan kita dalam memperingati hari guru. Kita
memerlukan telaah lebih dalam akan dogma yang terjadi di masyarakat dengan
mengaitkan pada perkembangan zaman dan tidak asal telan mentah-mentah.
Nyatanya menjadi
guru itu sangat membahagiakan bukan, yang katanya setiap ucapan dan tingkah laku
selalu ditiru, selalu dihormati, dibangga- banggakan oleh calon mertua dan
malahan mendapat gaji yang cukup unik yang setidaknya bisalah untuk sekedar nongki di lain waktu mengajar.
Jika kita mau
berhusnuzan sebenarnya menjadi guru itu bukanlah hal yang mudah dilakukan, di
mana menjadi guru berarti berkewajiban memberi dan mengabdikan kehidupan untuk
senantiasa berbagi ilmu pengetahuan kepada anak didiknya. Menjadi guru harus
mampu bersabar menghadapi berbagai karakter anak didiknya yang beragam, yang
tak jarang justru menguras tenaga guru itu sendiri bak fisik maupun psikisnya.
Guru merupakan
sosok yang memiliki kedudukan yang dihormati, setiap ucap yang dilakukannya
menjadi metamorfosa jawaban atas kebutuhan pendidikan bagi setiap insan yang
menjadi anak didiknya. Berbagai langkah verbal yang keluar dari sosok guru juga
merupakan asupan pembelajaran yang mesti didengarkan, dipahami atau diyakini
agar sebagai anak didiknya mampu memahami setiap ilmu yang disampaikan.
Serta setiap
langkah yang dilakukan oleh guru senantiasa diartikan sebagai nuansa suri
tauladan bagi setiap anak didiknya, bahkan tak jarang masyarakat banyak yang
mengklaim bahwa profesi menjadi guru tak hanya berorientasi pada gugurnya
kewajiban kerja dalam mengajar tapi juga harus mampu menjadi inspirasi kebaikan
terkhusus bagi anak didiknya. Secara gamblang menjadi guru adalah hal yang
mulia yang tidak semua orang mampu konsisten menjalaninya.
Dengan adanya
gambaran yang begitu besar dan mulianya peran guru, tentu momentum ajang
peringatan Hari Guru Nasional sudah sepatutnya harus mampu merefleksi makna
sejati dari hari guru tersebut. Yang mana, dalam buku "Madilog" bisa diasumsikan
bahwa sebuah dialektika harus mampu mengedepankan unsur berpikir dengan melihat
perubahan yang ada.
Mengingat di usia
yang ke-77 tahun ini yang sudah dibilang hampir sepuh dan jika mau berkaca pada
tahun sebelum -sebelumnya akan momentum peringatan hari guru tak lebih hanya
sekedar dibuat selebrasi dengan pemberian coklat atau malah sekuntum mawar
merah yang merekah atau malah ucapan-ucapan omong kosong belaka yang tentu
tidak terkesan makna di dalamnya, yang tak lain hanya sekedar makna haru tangis
sedu sesaat bukan suatu perubahan untuk guru ke depan (tidak penting). Maka
untuk itu, di dalam momentum peringatan hari guru kali ini mari kita semua
mulai berbenah dan introspeksi diri.
Untuk guru
sendiri jika melakukan sedikit penyelewengan pada profesinya mari segera sadar
dan berbenah, jika merasa kurang puas dengan ilmu yang dimiliki mari ikut
pelatihan-pelatihan atau workshop yang tersedia. Adapun untuk masyarakat sudah
sepatutnya tidak menelan mentah-mentah informasi apapun yang ada mari berpikir
untuk menjadi masyarakat yang cerdas demi perubahan yang lebih baik. Dan untuk
pemerintah mari sediakan wadah untuk guru bisa belajar lagi, untuk meningkatkan
kemampuan pedagogi ataupun andragoginya.
Sudah seharusnya
pemerintah tidak hanya fokus berlebih pada pergantian kurikulum yang notabenenya
bergonta-ganti tiap tahun yang tak jauh berbeda dari tahun sebelumnya. Dengan kata
lain, ini adalah bentuk evaluasi bagi pemerintahan yang sedang menjabat saat
ini.
Di dalam momentum
hari guru ini, bisa juga pemerintah selain menginstruksikan pelaksanaan upacara
seremonial juga menyelingi dengan pengadaan kegiatan- kegiatan yang bermanfaat
untuk guru itu sendiri, semisal bisa workshop tentang teknologi
mengingat banyak sekali guru yang sedikit sepuh tidak mampu menguasai teknologi
per hari ini atau mungkin ada kegiatan apapun itu yang lebih berguna lagi.
Terkhusus untuk
harapan ke depan, semoga di momentum hari guru ini, upaya-upaya nyata yang
dilakukan pemerintah dalam rangka mewujudkan kesejahteraan guru mampu menjadi
jawaban atas problematika yang dialami mayoritas guru. Adanya peningkatan
jumlah pengangkatan PNS guru melalui ASN PPPK adalah angin segar bagi para
guru-guru kita demi menuju kehidupan yang lebih sejahtera.
Program Guru
Penggerak yang memberikan kesempatan setiap guru untuk lebih mengembangkan
kemampuannya yang seiring dengan derasnya kemajuan zaman semoga juga bisa
terlaksana. Namun kalau menurut asumsi penulis, isu pemerintah akan menghapus
guru honorer di tahun 2023 mohon untuk dipertimbangkan kembali.
Mengingat guru
honorer itu juga merupakan guru yang wajib dihargai ya meskipun sedari awal
hanya mendapat gaji minim padahal kerjanya sama. Setidaknya guru sudah
memperoleh gaji dan diakui di masyarakat bahwa guru merupakan sosok sarjana
pendidikan yang telah menjadi guru di lingkup instansi pendidikan. Sehingga
mereka tidak merasa tertindas lagi.
“Tujuan
pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan, serta
memperhalus perasaan” –Tan Malaka. [ Selamat Hari Guru Nasional ]
Ashlihah Arifaturrosyidah
Santri Pusat Kajian Filsafat dan Teologi