Di suatu malam yang begitu cerah, bintang- bintang menyambut
kedatangan, seorang insan yang telah begitu lama berpisah, Jhose Alfabert yang
seorang musikus, kini dia terdiam merenung di sebuah kedai dalgona coffe di
tepian kota Roma Italia. Semenjak perang dunia ke dua yang berlangsung tahun
1939 sampai 1845. Di era pertengahan itulah Jhose dilahirkan dalam keadaan
serba kekurangan, kemiskinan merajalela, begitupun ayahnya yang sejak kecil
meninggalkanya. Dikarenakan ayahnya adalah seorang infanteri yang bertugas
sebagai penjaga wilayah italia bersama sekutunya Nazi. Jhose dibesarkan hanya
dengan kebesaran hati ibunya, Ibunya yang seorang perawat didaerah tersebut, terkadang
harus membagi waktunya kepada anak tunggalnya itu.
Kisah ini di mulai saat remaja, Jhose berkeliling di kota Roma,
layaknya seorang anak kecil yang meminta- minta sesuap makan atau roti dari
orang lain, dia rela melakukanya demi dapat bertahan hidup. Ketika saat itu
kedua matanya, melirik seorang gadis beramput pirang, wajahnya yang kusam penuh
debu duduk sendirian di pinggiran jalan, sontak Jhose menghampirinya dan
memberikan sepotong roti untuknya.
“Ini roti untukmu, kulihat kamu kelaparan dari mana asalmu, mengapa
kau di sini sendirian?” Tanya Jhose kepada gadis yang sebaya dengan umurnya
itu.
“Terima kasih banyak, tuan. Aku adalah gadis yang kehilangan
keluargaku semuanya, dahulu aku hidup berdua, di sini bersama adikku yang
bernama Margareth, tetapi adikku terkena penyakit demam berdarah akut, kemudian
tentara Nazi membawa adikku, kemudian aku hilang tentang kabarnya, dan duduk
sendirian di sini, berharap ada orang yang membatuku,” Ucap gadis itu.
“Baiklah perkenalkan namaku Jhose, aku hidup bersama ibuku di
sekitar kawasan ini, baiklah aku akan membantumu mencari adikmu” Perasaan Jhose
tergugah saat dia melihat betapa buruknya korban- korban perang yang kehilangan
keluarga, teman, kerabat, membuat semua ini makin membuat percaya diri bahwa
krisis ini akan berlalu.
Jhose ahkirnya menggandeng gadis itu, namanya adalah Bertha, tidak
diketahu dia berasal dari mana, tetapi dilihat sekilas, dia bukan penduduk asli
Roma. Jhose membawanya ke rumah, dan dia memberi tahu ibunya, bahwa ada seorang
teman yang dia temui di pinggiran jalan pasar tadi.
Hari- hari terus berlalu konflik tetap lah membara, namun Jhose
tidak menghiraukan semua itu, dia kini sekarang memiliki teman yang setiap hari
bersamanya, menemani harinya dengan penuh warna. Ketika saat di pasar, dia
bersenda gurau dengan Bertha, bahkan dia terkadang melakukan hal- hal yang
mengancam nyawa keduanya, yakni mencuri makanan di markas Nazi di Italia.
Karena ibunya yang selalu pulang malam, kadang keduanya jika merasa kelaparan
terpaksa harus melakukan hal tersebut. Namun kejadian ini dimulai, ketika
Pertempuran Monte Casino, atau pertempuran yang dilakukan sekutu melawan Garis
Musim Dingin di Italia, Jhose yang berumur remaja, saat itu ketika berduanya di
rumah, tiba- tiba pasukan sekutu menggedor pintu rumahnya dan mendobraknya, dia
dan Bertha yang bingung segera mencari tempat untuk bersembunyi.
Tetapi Singa sudah menerkamnya, kini Bertha yang bersembunyi di
bawah kolong meja, terpaksa diseret dibawa oleh pasukan sekutu, Linangan air
mata Bertha bercucuran dia tidak ingin berpisah denganya, sontak dia berteriak
kepada Jhose. “Jhose kalau hidupku panjang, jaga surat di bawah kasur yang
telah ku selipkan kepadamu, doakan aku Jhose, Semoga Tuhan selalu
memberkatimu”. Jhose yang berusaha lari dan ingin memberontak melepaskan tangan
Bertha dari pasukan sekutu, tubuh kecilnya didorong dengan keras sehingga
terpanting di Tanah. Kini Jhose hanya bisa menyesali dan menangisi kejadian
itu.
Telah datang badai dan mendung di setiap hatinya, seperti burung
yang kehilangan salah satu sayapnya, kini Jhose hanya bisa mendo’akan kebaikan
untuk Bertha. Dan sudah lebih beberapa tahun setelah perang dunia kedua usai,
hidup Jhose hanya dia habiskan untuk menjadi seniman panggung dengan sebingkai
Biola yang dia temukan dengan Bertha saat di pasar roma dahulu. Hati Jhose
selalu diliputi kegelisahan.
Bahkan kerap kali dia selalu bersyair di kedai kopi Dalgona untuk
teman kecilnya dan yang dia anggap kekasihnya itu. Berharap suatu saat dia
dapat bertemu walaupun hanya sebuah nisan yang terkapar tanah. Syair yang
ditulis di Kedai Dalgona itu berbunyi,
“Dimanakah Cahaya di kala aku berjalan sendirian di kegelapan
malam..
Dimanakah Pelangi, saat hujan mulai reda..
Harapan dan kedamaian sudah di depan mata..
Usia ku menua, kebahagiaanku belum datang juga..
Dimanakah kau Bertha?”
Jhose selalu menantikan ciuman angin kabar dari kekasihnya,
hidupnya penuh arang diantara hutan belantara. Tak mengerti untuk apa tujuan
hidupnya, Agape itulah yang dirasakanya saat ini, ia membujang, terluntang-luntung
mencari makna hidup.
Perang didalam bathinya tidak mudah untuk mencapai Freedom, usahanya
untuk menggantikan Bertha di ukiran hatinya tidaklah mudah. Pernah sesekali
seorang wanita berambut pirang, memakai baju serba hitam dengan Topi bucketnya
yang berwarna coklat menyapa Jhose dengan penuh romantika. Dan menggoda ia ketika pentas seninya mendapat
sanjungan dari khalayak ramai.
Bagaikan besi yang membeku itulah cerminan hati Jhose, perempuan
menor itu tidak dapat menggugah iman Jhose untuk Bertha. Tetapi perempuan itu
tetap bersikukuh mendekati Jhose dan membisikan sesuatu yang membuat Jhose
marah “Kekasihmu telah lama mati dan sudah menikah,”.
Jhose langsung menampar dan mengggertaknya mengatakan “Kau jangan
membawa badai yang belum tentu hujan, Bertha pasti baik- baik saja,”, Perempuan
itu mengenalkan nama, ia Maria, anak dari Kolonel Nazi yang dulu pernah
menjajah Italia, ternyata Maria mengetahui kisah- kisah mereka berdua, dengan
memata- matai kisah keduanya. Dan ia merasa iri hati, kemudian menyuruh ayahnya
untuk memisahkan mereka. Seketika Jhose marah dan memaki- maki Maria, tetapi
nasi sudah menjadi bubur, tidak berpengaruh kini tentang keberadaan Bertha.
Jhose masih percaya bahwa Bertha baik baik saja, dan menganggap Maria adalah
pendusta, demi hasrat seksual dan cinta menggebu untuk dirinya.
Kini hiduplah ia dalam kesunyian, kabar dari kekasihnya tetap tidak
tergema, ia sudah berusaha mencari dari pelosok sampai kepenjuru, tetapi
hasilnya tidak ketemu, kini usia Jhose 88 tahun hidup sendirian, merangkul
biola dan menanti senja menyiratkan pelangi. Mustahil!!
Jhose wafat dalam kesendirian, usia senja hidunya dihabiskan untuk
mendoakan nama kekasihnya, dan saat sakaratul maut ia masih tetap setia, “Bertha,
aku mau menemuimu di Nirvana, tapi sebelum itu izinkan aku bersyair untukmu,”
Apakah berlebihan, jika aku menginginkan lebih darimu, seperti
angkasa malam yang menginginkan keindahan gerlap-gerlip lintang.
Apakah juga berlebihan, jika aku menjadi sandaran tempatmu berkeluh
kesah, seperi embun yang selalu mendamaikan insan disetiap pagi.
Apakah aku salah, jika menginginkan namamu dihadapan Tuhan, dengan
mengetuk pintu kasihnya, agar terbuka, dan kau akan selalu bahagia.
Penulis
Krisna Wahyu (Santri PKFT)