Menyegarkan isu yang telah basi sama saja dengan menghangatkan
sayur nangka yang tentunya memiliki kadar kolestrol yang tinggi. Beberapa hari
ini pengguna sosial media dipaksa untuk melahap isu basi tentang kebangkitan
partai komunis di Indonesia.
Konon katanya dalam film “Penumpasan Pengkhianatan G30S PKI”, PKI
(Partai Komunis Indonesia) merupakan partai yang melakukan aksi pemeberontakan
pada 30 September 1965 yang juga dikenal sebagai peristiwa G30S/PKI. Film ini
menggambarkan PKI sebagai sekumpulan manusia beringas yang melakukan penumpasan
pada beberapa jendral yang ada di Indonesia.
Kebengisan PKI dalam film ini digambarkan dengan peristiwa kudeta
seputar 30 September 1965 yang dilakukan oleh Kol. Untung, Komandan Batalyon
Cakrabirawa. Tujuh jenderal terbunuh dalam peristiwa ini. Dalam situasi yang
ingar bingar ini Mayjen Soeharto digambarkan hadir sebagai seorang juru selamat.
Sejak masa kecil penulis, kisah ini ditanamkan pada pikiran penulis
(dan teman seangkatan tentunya) dengan cara dicekoki oleh film berjudul
“Penumpasan Pengkhianatan G30S PKI” ini. Latar belakang ini cukup membuat
mayoritas orang beranggapan bahwa PKI itu adalah sekumpulan manusia keji yang
tidak pantas untuk diberi belas kasih.
Namun pada masa penulis beranjak dewasa, muncul pemikiran yang
mulai mensangsikan keabsahan dari film ini. Beberapa pertanyaan berputar
dikepala penulis. Salah satunya adalah “Apakah tindakan yang dilakukan oleh PKI
benar-benar seberingas seperti yang digambarkan pada film ini?”.
Pada saat penulis duduk di bangku perkuliahan, Pusat Kajian
Filsafat dan Teologi Tulungagung mengadakan nonton bareng film berjudul “The
Look of Silence” yang membahas seputar kisah dari PKI itu sendiri. Agenda
yang diselenggarakan pada 30 September 2020 ini seolah hanya sekedar peringatan
G30S/PKI saja.
Akan tetapi, anggapan tersebut belum sepenuhnya benar. Agenda
tersebut ternyata merupakan seuatu penyingkapan sejarah dari doktrinasi yang
telah penulus telan sejak berada di sekolah menengah atas. Penyingkapan tabir
sejarah ini akan diketahui setelah film ini selesai diputar.
Film dokumenter ini menggambarkan seorang Adi yang merupakan adik
dari korban pembantaian G30S/PKI di Sumatera Utara yang bernama Ramli. Adi
harus menerima disebut keluarga komunis pasca eksekusi Ramli yang dituduh
simpatisan Partai Komunis Indonesia.
Adi sebagai adik dari korban pembantaian G30S/PKI ini berkeinginan
mengakhiri kegelisahannya dengan cara menemui sosok ‘pahlawan’ yang ikut andil
dalam penumpasan PKI. Tujuan Adi mulai tergoyah ketika mendengar jawaban dari
penumpas PKI yang seolah bangga dengan perbuatanya yang keji dalam menumpas
PKI.
“Semua duduk di truk mereka mengerang kesakitan, dengan kondisi
wajah tertutup dan tangan diikat,” demikianlah ucapan yang muncul dari salah
satu penumpas PKI tersebut. Dengan guncangan mental yang dahsyat, Adi dan keluarga
terpaksa hidup secara berdampingan dengan para ‘jagal’ (pelaku pembantaian PKI)
yang menganggap diri mereka sebagai seorang pahlawan.
Berlandaskan pada film ini, maka akan semakin besar rasa penasaran
tentang “Benarkah kisah G30S/PKI yang sudah dicerna sedari kecil?”. Apabila
film “The Look of Silence” selaras dengan faktas sejarah, lantas apa
yang menjadi perbedaan antara tukang jagal ini dan PKI dalam film “Penumpasan Pengkhianatan
G30S PKI”?
Dilansir dari detik.com, pada September 1998 (masa Presiden BJ
Habibie), Menteri Penerangan Letjen Yunus Yosfiah memutuskan film “Penumpasan Pengkhianatan
G30S PKI” tidak lagi diputar atau diedarkan. Karena film ini berbau rekayasa
sejarah dan memuja seseorang, yaitu Presiden Soeharto (27/9/2022).
Keputusan dari Letjen Yunus ini didukung dengan komentar dari Sejarawan
dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), yakni Asvi Warman yang
mempertanyakan akurasi dari film “Penumpasan Pengkhianatan G30S PKI”. Asvi
beranggapan banyak ketidak sesuaian adegan yang ada di film dengan dunia nyata,
misalnya Penyiksaan para Jenderal dinilai tidak akurat dengan kejadian
sebenarnya berdasarkan hasil pemeriksaan tim forensik.
Lantas, sebenarnya apa misi pembuatan film ini? Atau sebenarya apa
kepentingan dari pembangkitan isu yang telah usang, bahkan partai komunis
tinggal hanya nama dan mungkin sekarang telah menjadi hantu? Hantu yang
kemudiaan dibuat seolah-olah melakukan teror dengan keberadaan simbol
eksistensi hantu berupa logo sebagai media penguat anggapan bahwa mereka benar
benar hidup kembali.
Jika kita bertanya untuk apa isu yang telah basi ini dihidupkan
kembali, besar kemungkinan hanya dijadikan media pengusir burung yang
dibelakangnya ada orang atau kelompok tertawa melihat segumpalan manusia bodoh
yang ketakutan melihat eksistensi hantu bernama PKI ini. Ketakutan yang dibalut
kecurigaan tentu saja dibangun memaluli film “Penumpasan Pengkhianatan G30S
PKI” dan mata pelajaran yang membahas sekilas tentang sejarah dan sepak terjang
PKI.
Bukankah ini merupakan kecurigaan yang berlebihan? Atau memang
orang yang paranoid ini malas baca dari sisi yang berbeda? Keburukan terus
diumbar, tapi apakah benar memang tidak ada yang patut dipuji dari orang-orang
yang berada di lingkaran partai komunis ini?
Mungkin selama orang yang terlibat dalam genosida 65 atau keluarga
dari yang bersangkutan masih hidup, maka selama itu pula isu ini akan terus memiliki
panggung dan jangan berharap negara akan meminta maaf atas kekejaman penumpasan
yang beringas kala itu. Selama komunis menjadi isu bayangan yang digaungkan
melalui media mainstream di suatu negara, jadi tidak menutup kemungkinan ada
negara lain yang kepentingannya terganggu.
Betapa bodohnya manusia yang masih melahap isu PKI yang anggotanya
hanya tersisa tulang yang tidak berharga. Memusuhi kelompok yang sudah tidak
ada, jadi hanya teriak menang atas perseteruan yang sebenarnya tidak pernah
terjadi. Paparan ini adalah tamparan keras bagi kaum intelektual untuk kembali
menguji keabsahan dokumen guna menyingkap tabir sejarah. Lantas, apakah masih
kalian telan mentah-mentah rekayasa sejarah dan proyek pengkultusan ini?
Akhmad Nur Khoiri dan Muhammad Rifa’i
Santri Pusat Kajian Filsafat dan Teologi