Islam
hadir untuk membebaskan manusia dari belenggu-belenggu kezaliman.
Kondisi wilayah Arab
(khususnya Mekah) sebelum Islam
datang, menjadi kawasan yang
tidak bermoral dan jauh dari peradaban. Masyarakat
Mekah kala itu hanya mementingkan
kepentingan suku
masing-masing yang seringkali berujung
dengan berperang. Selain itu, sikap amoral seperti zina, meminum minuman keras, dan perbudakan
sudah menjadi hal yang biasa di sana.
Ketika Nabi
Muhammad SAW membawa risalah Islam,
beliau memberikan suatu ajaran bahwa umat manusia harus merdeka dari kezaliman.
Perbudakan dalam Islam dihapuskan, status wanita yang direndahkan diberikan hak seperti waris, hak
untuk menerima atau menolak pasangan, dan hak
untuk menggugat suami jika telah melanggar
norma agama.
Dalam menyebarkan
ajaran Islam, Muhammad tidak pernah
memaksa masyarakat Arab untuk masuk Islam. Muhammad mempersilakan siapapun untuk masuk
Islam tanpa paksaan. Hal ini terlihat ketika Muhammad hijrah ke Madinah dan
membuat suatu perjanjjian agung yang dinamakan ‘Piagam Madinah’. Dalam piagam tersebut, tertulis bahwa orang-orang Yahudi dan Islam
adalah satu untuk mempertahankan Madinah dari ancaman
yang datang dari luar.
Orang-orang Yahudi di Madinah sama sekali tidak dipaksa untuk masuk Islam. Ini
menunjukkan sikap moderasi beragama umat Islam yang telah termuat secara jelas
dalam QS. Al-Kafirun yang memuat arti tentang kebebasan dalam memeluk agama.
Alquran juga memuat surat lain yang membahas
mengenai kebebasan beragama, Allah
berfirman dalam QS. Al-Baqarah ayat 256 yang memiliki arti “tidak ada paksaan
untuk (memasuki) agama (Islam). Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar
daripada jalan yang sesat. Dengan itu barangsiapa yang ingkar kepada thaghut
dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul
tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.
Umat
Islam harus bertenggang rasa kepada umat yang beragama lain, dan tidak boleh
melarang acara mereka atau menghina keyakinan mereka. Sesuai dengan firman
Allah SWT “tidak ada paksaan dalam beragama,” yang artinya umat Islam harus membiarkan mereka
menjalankan apa yang diyakini. Banyak sekali permasalahan antar
umat beragama dan tidak ada jalan keluar dalam suatu
permasalahan. Di sinilah
pentingnya dialog lintas agama hadir sebagai upaya
meminimalisir kesalahpahaman antar umat beragama (Ardiansyah, 2018: 216).
Proses
dialog lintas agama sangatlah penting, terkhusus di Indonesia yang
memiliki komposisi masyarakat
yang majemuk. Banyak suku dan agama yang semuanya harus didialogkan supaya terhindar dari perpecahan.
Etika-etika
dialog di dalam Alquran sendiri diharuskan untuk berperilaku sopan lagi santun dan tidak boleh berbicara kasar apalagi sampai membuat
keonaran. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Ankabut ayat 46 yang memiliki terjemahan “Dan janganlah kamu berdebat dengan ahli
kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim
diantara mereka, dan katakanlah: Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang
diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu, Tuhan kami adalah satu,
dan hanya kepada-Nya kami berserah diri”.
Dalam
sebuah dialog yang
sesuai dengan
ayat Alquran, sebuah
dialog harus menemukan titik temu. Bahkan dalam
situasi perdebatan sekalipun. Titik temu
inilah yang diharapkan supaya umat beragama mampu hidup berdampingan di tengah
masyarakat yang majemuk. Semua agama mempunyai kebaikan universal, yaitu
kebaikan yang mampu diterapkan kepada semua umat manusia apapun agama dan sukunya
seperti berbuat baik, memberi makan orang miskin, berbuat jujur, dan lain
sebagainya.
Dengan demikian, umat Islam diharapkan mampu mempunyai sifat inklusif baik terhadap sesama umat
Islam maupun umat agama lainnya. Muhammad telah diutus sebagai rahmat bagi semesta
alam, selalu mempraktikkan sifat toleransi terhadap manusia. Muhammad memandang
manusia melampaui batas agama maupun ras. Suatu saat ketika ada iring-iringan
jenazah kaum Yahudi melewati Muhammad, Muhammad berdiri untuk menghormati
jenazah kaum Yahudi. Maka sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, itu orang Yahudi,”
Tanpa perubahan sikap atau raut di wajahnya Muhammad memberikan jawaban, “Tapi
dia adalah manusia,” (Fethullah Gulen, 2011: 43).
Menurut
Fathullah Gulen, metode yang cocok untuk membuat toleransi berfungsi dan kedamaian
bisa dijaga atau dipelihara adalah dialog. Tawaran dialog sebagai media dalam
membangun kesepahaman dalam keniscayaan pluralitas, merupakan
suatu asumsi bahwa dialog bisa menjadikan manusia memiliki
sikap toleran yang mampu menjadi
inspirator bagi orang lain dalam beragama dengan berperi
kemanusiaan.
Selain
itu, dengan berdialog kita bisa memberikan ruang dan apresiasi terhadap perbedaan
pandangan. Sehingga
perilaku seperti ini dapat
meniupkan nyawa baru dalam konsep beragama bagi generasi yang selanjutnya. Dialog tersebut
nantinya merefleksikan
sikap toleransi dalam karakter keberagaman
yang kita miliki (Irwan Masduqi, 2011: 148).
Fakta di lapangan menunjukkan adanya kelompok superior yang selalu
beranggapan dirinya
berada di atas yang lain merupakan tantangan nyata dalam menerapkan
dialog toleransi dan cinta tersebut untuk suatu perdamaian dunia. Secara
internal di kalangan Islam sendiri, penganut paham fundamentalisme Islam yang
cenderung eksklusif dan memandang bahwa penduduk dunia yang sah hanyalah orang
Islam, sistem politik yang benar adalah yang dibangun penguasa Islam, hukum
yang benar adlah hukum yang bersumber pada Alquran dan Sunnah secara tekstual.
Dalam pandangan penulis hal ini telah mencederai ajaran
agama Islam. Sebab perilaku tersebut tidak sesuai dengan maksud awal kehadiran
Islam. Selain itu, perilaku yang intoleran juga tidak sesuai dengan apa yang
telah dicontohkan oleh Muhammad ketika Islam memasuki Madinah.
Dengan demikian, sebagai umat Islam harusnya mampu membangkitkan perilaku toleran pada masyarakat sehingga mampu mencerminkan Islam sebagai agama yang memiliki sifar humanis. Di sisi lain, sebagai umat Islam kita juga harus kembali menghidupkan spirit emansipatori yang dimiliki Islam guna mencapai fallah (kesejahteraan di dunia dan akhirat).
Penulis
Atho’illah Naufal