Tiongkok bisa membanggakan dirinya sebagai negara dengan sejarah yang sangat panjang. Meskipun tidak pernah lama diduduki oleh negara asing, perang saudara pecah di Tiongkok hingga berabad-abad lamanya. Tiongkok benar-benar merdeka pada 1 Oktober 1949, di bawah kepemimpinan seorang putra dari kalangan petani bernama Mao Zedong.

Nama Mao Zedong cukup melejit sebagai pahlawan yang mampu menyudahi perang saudara di Tiongkok. Selain itu, Mao sebagai seorang komunis mampu memodifikasi pemikiran Karl Marx dengan memberdayakan kaum lumpenproletariat dengan panduan dan pengorganisasian yang tepat sebagai suntikan karakter revolusioner pada kelas ini.

Metode gerakan revolusi yang dibangun oleh Mao mampu bergerak secara realistis dengan melihat situasi Tiongkok pada saat itu. Dengan metode gerakan revolusi ala Mao ini, ia berhasil merebut kekuasaan dan menjadi pemimpin tertinggi Republik Rakyat Cina (RRC) pada 1949.

Namun analisis Mao yang realistis ini berubah menjadi pola kepemimpinan yang dogmatis-utopis tatkala dia menjadi pemimpin RRC kala itu. Hal ini terbukti ketika Mao pada Desember 1957 mendeklarasikan program pembangunan ekonomi yang disebut “The Great Leap Forward” atau “Lompatan Jauh Ke Depan” (Coen Husain, 2010).

Berkat program yang tidak memiliki pembenaran ilmiah dan bukti sejarah ini, Mao memaksakan target produksi yang tinggi pada petani. Pada 1959 hingga 1962 program ini menyebabkan gagal panen yang mengguncang perekonomian nasional. Program ini mencapai klimaks pada saat terjadi kemiskinan dan kelaparan massal yang luar biasa di seluruh Tiongkok.

Pada Januari 1962, Partai Komunis Cina (PKC) menggelar “Konferensi Tujuh Ribu” di Beijing. Ketua konferensi Liu Shaoqi sangat mengkritik Lompatan Jauh ke Depan Mao Zedong dan dampaknya. Mao dicopot dari struktur kekuasaan internal PKC. Pragmatisme moderat Liu dan Deng Xiaoping membebaskan para petani komune dan mulai mengimpor gandum dari Australia dan Kanada untuk memberi makan para korban kelaparan (Shintaloka Pradita, 2021).

Pasca mangkatnya Mao, Deng Xiaoping yang sempat tersisih mulai kembali kepermukaan dengan membawa konsep ekonomi yang baru bagi rakyat Tiongkok. Konsep yang dibawa Deng ini telah menjadi titik balik yang signifikan pada pertumbuhan perekonomian Tiongkok hingga saat ini.

Pada 1978 Deng melakukan reformasi ekonomi di Tiongkok dengan mengubah orientasi ekonomi Tiongkok ke arah “sosialis pasar”. Dengan reformasi ini Deng menjalankan program modernisasi empat sektor, yakni pertanian, industri, teknologi dan pengetahuan, serta pertahanan nasional.

Dalam menjalankan modernisasi ini, Deng tetap memegang teguh empat prinsip dasar Tiongkok. Adapun empat prinsip dasar Tiongkok tersebut antara lain; Pertama, harus menempuh jalan sosialis. Kedua, Tiongkok harus dipimpin oleh diktator proletariat (Tiongkok harus dipimpin oleh pemimpin tunggal yang berasal dari kaum proletar).

Ketiga, Tiongkok di bawah kepemimpinan Partai Komunis Tiongkok (PKC). Hal ini dimaksudkan untuk tetap menjaga ide-ide komunis yang mengangkat kepentingan komunal. Keempat, berpegang teguh pada ideologi pembimbing Marxisme-Leninisme dan pemikiran Mao Zedong yang tentu saja telah dimodifikasi sesuai dengan keadaan yang sedang dihadapi Tiongkok (Dara Silfiana, 2018: 1066).

Kehororan tragedi kemiskinan dan kelaparan yang dialami Tiongkok pada masa Mao telah memberikan trauma tersendiri bagi masyarakat Tiongkok. Namun hal tersebut dapat ditanggulangi dengan kebijakan Deng yang mampu meningkatkan pendapatan masyarakat Tiongkok.

Deng berhasil mengubah negara yang kelaparan menjadi kekuatan ekonomi untuk menyaingi Amerika. Dia mengubah doktrin komunis lama yang dibanggakan Mao. Membuka tirai bambu Tiongkok untuk investasi modal dan properti.

Banyak orang yang menganggap bahwa Deng telah membuang sosialisme ala Mao dan bergeser pada liberalisme. Namun hal ini terbantahkan dengan penjelasan dari Novi Basuki dalam channel YouTube Mojokdotco. Novi menjelaskan bahwa Deng Xiaoping beranggapan bahwa sosialime itu harus menjadi kaya secara bersama-sama (25/6/2022).

Di waktu lain, Novi Basuki melalui channel YouTube Asumsi juga melontarkan guyonan terkait bagaimana pola pikir dari Deng Xiaoping ini. “Deng barang kali paham kaidah ushul fiqih ini ‘mala yudraku kulluh, la yudraku kulluh’, apa yang tidak bisa dilakukan semua, janganlah ditinggalkan semua,” (26/11/2021).

Deng memang memodifikasi slogan dari Mao, yakni “sama rata, sama rasa” menjadi slogan baru, yakni “kaya bersama-sama”. Dalam pandangan penulis, hal ini telah menunjukkan bahwa Deng masih tetap teguh memegang nilai-nilai sosialisme.

Dalil pokoknya adalah “apabila sosialisme itu miskin, maka tidak ada komoditas yang dapat dibagikan. Apabila tidak ada komoditas yang dapat dibagikan, maka akan berujung pada kemiskinan”. Dengan demikian, kerangka berpikir yang dibangun oleh Deng memanglah logis dan realitis.

Dalam hal ini penulis tidak sepakat apabila perekonomian Tiongkok disebut dengan perekonomian kapitalis secara mutlak. Menurut pandangan penulis apa yang dilakukan oleh Deng ini adalah penjinakan kapitalisme melalui nilai-nilai sosialisme. Sehingga dapat disebut dengan ‘kapitalis-humanis’ yang pada akhirnya menjadi ciri khas dari perekonomian Tiongkok.

Berkaca dari perekonomian ala Tiongkok ini, ada baiknya apabila Indonesia yang konon katanya menerapkan ekonomi pancasila dapat mengadobsi strategi yang diterapkan oleh Tiongkok. Mungkin kita dapat mengambil pribahasa “’almuhafazah ala qodimis salih wal akhzu bil jadidil aslah”, dalam arti sederhananya “melestarikan nilai lama yang baik, dan mengambil nilai baru yang lebih baik”.

Dengan demikian, perekonomian Indonesia diharapkan dapat mengalami kemajuan sebagaimana yang telah dialami Tiongkok. Sehingga kalimat “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indionesia” yang ada dalam sila kita tidak hanya jadi isapan jempol belaka.

Akhmad Nur Khoiri

Santri Pusat Kajian Filsafat dan Teologi