PKFT Tulungagung—Minggu, 28 Agustus 2022 Pusat Kajian Filsafat dan Teologi (PKFT) Tulungagung bersama dengan Gerakan Pemuda (GP) Ansor dan Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Tulungagung menyelenggarakan diskusi dengan Prof. Nadirsyah Hosen, Ph.D. Diskusi ini bertempat di Graha Tunggulsari dengan mengusung tema “Tantangan Dakwah Intelektual Muda NU Dalam Perkembangan Masyarakat Digital”.

Acara diskusi lebih dulu dimulai dengan sambutan dari H. Moh. Rifai, MH.Kes, selaku ketua PC ISNU Tulungagung, dan dilanjut dengan sambutan Dr. Mukhamad Sukur, M.Pd.I. selaku ketua PC GP Ansor Tulungagung. Sedangkan berjalannya acara dipandu moderator yaitu Kowim Sabilillah—santri PKFT Tulungagung.

Prof. Nadirsyah Hosen, Ph.D. dijelaskan oleh moderator merupakan Rais Suriah Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCI NU) Australia dan New Zaeland (ANZ). Selain itu, Gus Nadir—begitu audiens memanggilnya, juga sebagai guru besar hukum Islam di Monash Univesity, Melbourne, Australia.

Media sosial yang secara pengertian sebagai platform sarana berinteraksi satu dengan yang lainnya, namun kenyataannya tidak jarang kita temui sebagai media atau dunianya sendiri, misalkan upload foto selfie bangun tidur di media sosial. Alur kajian perdiskusian pada kesempatan ini mempertanyakan bagaimana posisi manusia dalam laju perkembangan teknologi dan digitalisasi.

Berbincang dengan problematika tantangan dakwah intelektual dalam masyarakat digital, sesuai tema yang diusung, dalam masyarakat nahdliyin ada hal yang unik. Rais Suriah PCINU Australia New Zaeland tersebut menerangkan ketika perkembangan arus digitalisasi dan perkembangan teknologi yang pesat dan masif, dunia sudah membicarakan metaverse serta artificial intelligence (AI), tetapi di Indonesia fenomenanya masih membicarakan halal-haram. Dimana sering kali problematika diduduk perkarakan pada frame agama, tidak dilihat dari satu fungsi primernya. Secara positif Gus Nadir mengungkapkan tidak langsung menolak maupun memberikan persetujuan, tetapi perlu dievaluasi.

Dinamika perkembangan teknologi dan arus dalam pendidikan akan mengantarkan pada dua pola. Pertama, mereka yang adaptif, akhirnya bisa menyesuaikan dengan pola perubahan teknologi. Kerdua, mereka yang kurang mampu beradaptasi, akan tersingkir dan tergerus. “Sebagai contoh diawal pandemi COVID-19 kita kesulitan menyesuaikan dengan model pengajaran menggunakan media zoom,” ungkap Gus Nadir.

Diskusi berlangsung dengan alur yang mengalir, tidak tegang. Justru penuh khas guyonan warga nahdliyin. Semua pertanyaan yang dilontarkan oleh audiens, terpatri dalam kesimpulan mendasar. Gus Nadir tidak memunculkan jawaban yang pasti, atau tidak mengajarkan standarisasi jawaban. Mempertajam pertanyaan dan menganalisis pertanyaan dengan pertanyaan-pertanyaan yang lebih kritis. Sehingga timbul dialektika antar audiens sesuai perspektif masing-masing.

Sekalipun kemajuan teknologi terjadi, indonesia masih memiliki ruang-ruang analisis yang banyak, misalkan bahtsul masail atau ruang hukum, dan lain sebagainya. Sekalipun kita tidak menjadi pemilik ataupun subyek atas teknologi, kita masih diberi harapan untuk memberikan sumbangsih sebagai pengguna yang notabenenya harus memilah dan memilih, saring sebelum sharing, sesuai buku karya Gus Nadir.

Dalam pungkas perdiskusian, Gus Nadir mengharapkan forum kajian dan diskusi bisa konsisten berjalan. Dan bilamana masih diberikan kesempatan untuk kembali lagi ke Tulungagung bisa berdialektika membincangkan tema yang berkelanjutan.

 

Basyaruddin Zainun N.

Mahasiswa Gondrong