Reuni 212: Populisme Politik dan Supremasi Islam

Setiap 2 Desember kini digunakan sebagai agenda wajib reuni beberapa organisasi masyarakat (Ormas) Islam Indonesia. Tanggal tersebut, tepatnya pada 2016, menjadi titik awal aksi 212 dengan tujuan menggulingkan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang kala itu dianggap melakukan penodaan agama ketika berpidato di Kepulauan Seribu (27/9) karena menyinggung surah Al Maidah 51. Pasca kejadian itu, atmosfer kaum Islam Indonesia mulai memanas.

Gelombang pertama, ujuk rasa dilancarkan pada 14 Oktober 2016. Massa Front Pembela Islam (FPI) melakukannya di depan gedung Bareskrim Polri dan Balai Kota DKI Jakarta. Mereka akan mengawal dan menuntut kasus Ahok untuk segera disidang. Puncaknya, Jumat (6/12), unjuk rasa 212 digelar.

Aksi tersebut lebih besar dari aksi 411 dengan membawa massa jutaan orang. Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla mendatangi massa dan ikut Salat Jumat berjamaah di Monas. Di sana, presiden juga memberikan beberapa pidato-pidatonya.

Setelah aksi tahun itu aksi di tahun berikutnya berubah nama menjadi reuni aksi 212. Acara tersebut rutin digelar setiap tahunnya. Bahkan pada pandemi 2020, reuni 212 tetap digelar dengan berkonsep virtual. Di tahun ini 2021 memaksakan digelar offline meski tidak mendapat izin dari Polda Metro Jaya dengan dalih pandemi Covid-19 yang masih melanda Indonesia.

Dilansir dari okezone.com, Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes E. Zulpan mengatakan, bagi masyarakat yang tetap melakukan aksi akan dikenakan tindak pidana. Sejumlah pasal yang akan diterapkan bagi peserta aksi yang memaksa melakukan aksi akan dijerat Pasal 212 KUHP, 216 KUHP, dan Pasal 218 KUHP. Selain tiga pasal KUHP tersebut, juga akan dikenakan sanksi UU Karantina Kesehatan.

Pertanyaannya, mengapa reuni ini menjadi agenda rutin yang harus digelar setiap tahunnya? Bukankah tujuan menjebloskan Ahok sudah terpenuhi, apakah acara ini menjadi semacam penegasan supremasi islam di indonesia? Mengingat indonesia merupakan pemeluk islam terbesar didunia. Atau sebagai gerakan manufer perpolitikan?

Pada reuni 2018 mungkin menarik untuk kita kilas balik bersama. Mengingat pada 2019 nanti akan diselenggarakan pesta demokrasi terbesar di Indonesia, yakni pemilihan presiden (Pilpres). Reuni 2018 ini kembali digelar di kawasan Monas, bahkan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, ikut hadir dan menyampaikan pidatonya.

Selain Anies, Prabowo Subianto juga turut hadir. Massa aksi pun histeris dan menyerukan nama Prabowo. Selain sambutan dari sejumlah tokoh, lagu "Astaghfirullah Punya Presiden Si Raja Bohong" diputar di reuni 212, setelah ceramah Habib Rizieq Shihab diperdengarkan.

Karena itulah, kemudian muncul skeptis dalam diri saya, "sebenarnya apa urgensi dari diselengarakannya reuni ini?". Selain hal tersebut, kini mulai muncul ambisi menjadikan Indonesia sebagai negara khilafah dan istilah "pemimpin kafir" muncul dan melabeli mereka -orang non-muslim- yang menjabat pemerintahan atau yang lain.

Tak cukup itu, kelompok-kelompok tersebut mulai membuat manufer baru, yakni berupaya mengubah ideologi negara dari pancasila menuju khilafah. Dengan alasan kalau Islam adalah agama mayoritas di negara ini. Maka, Islam harus mendapat posisi dan keistimewaan penuh.

Bagi mereka, Islam-lah yang paling memiliki peran besar dalam kontribusi awal kemerdekaan Indonesia. Terutama tentang bentuk negara Indonesia, kala itu simpang siur dan menjadi perdebatan panjang pantia persiapan kemerdekaan Indonesia (PPKI). Apalagi terdapat 7 kata termaktub dalam piagam jakarta yang menyebut, "ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya". Lewat Piagam Jakarta itulah yang menjadi awal perwujudan gagasan bentuk negara Islam sumber (Youtube Watchdoc Dokumentary).

Namun, ada seorang intelektual muda Nahdatul Ulama (NU) yang  juga menjadi anggota PPKI,  KH Wahid Hasyim, mengusulkan kalau 7 kata tersebut dihapuskan dengan rasionalisasi demi kesatuan Indonesia kedepannya.

Kemudian, dalih tersebut mendapatkan afirmasi dari intelek muda Muhammadiyah, Ki Bagus Hadikusumo. Sejak saat itu, 2 Ormas terbesar di Indonesia, NU dan Muhammadiyah memiliki pendirian sendiri dalam menanggapi munculnya negara khilafah.

NU dengan berpegang teguh pada fatwa ulama-ulama sepuhnya bahwa nasionalisme dan agama adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, "Hubbul Wathon Minal Iman". Sedangkan Muhammadiyah menerima konsep negara ini dengan "Darul Ahdi wa Syahdah" yang kurang lebih berarti negara kesepakatan dan persaksian. NU dan Muhammadiyah seakan menjadi 2 benteng bangsa Indonesia dari ancaman pembentukan ideologi baru.

Bagi saya 2 Ormas tersebut semacam sudah memiliki jobdesk masing-masing. NU dari sisi sosial-budaya dan pemerintahan. Sedangkan, Muhammadiyah dari sisi ekonomi dan pendidikan. Keduanya mempunyai peran vital dalam mengawal pertumbuhan Indonesia hingga seberkembang saat ini. Selayaknya dua kutub ini saling melengkapi dan saling membangun bangsa yang besar ini.

Sikap dan posisi dari NU dan Muhammadiyah telah kita ketahui bersama. Bahkan bisa kita ketahui mengapa dan apa kepentingan yang orang-orang reuni 212 targetkan. Menariknya gerakan yang dibawa orang-orang ini mirip dengan proses naiknya Presiden Donald Trump dalam merebut pucuk kekuasaan, yakni dengan mengkapitalisasi orang kulit putih. Tak heran jika dalam sejarah presiden Amerika, hanya Barack Obama-lah presiden yang berkulit hitam.

Nah, gerakan ini lah yang sekarang sedang marak digunakan menjelang pemilihan pemimpin negara. Dilakukan oleh kelompok-kelompok yang merasa tidak puas dengan pemerintahan yang sebelumnya. Kemudian, mereka membuat gerakan untuk merebut kekuasaan.

Gerakan apakah itu? Gerakan yang bisa mengaduk-ngaduk emosi orang banyak, yakni dengan menyentil sentimen identitas primordial yang hidup di masyarakat. Gerakan itu bernama populisme politik.

Indonesia dengan basis agama Islam mayoritasnya akan sangat mudah terpantik ketika dijadikan instrument berpopulisme politik. Itulah mengapa 5 juta orang lebih bisa berkumpul di Monas kala itu, ya, kerena identitas primordial mereka terpantik.

Lalu tumbuhlah kebencian kolektif bahwa "Ahok adalah penista agama saya". Akhirnya, terjadilah ledakan besar ditengah masyarakat yang secara pasti membentuk satu rasa dan satu jiwa.

Di berbagai sumber literatur tentang Populisme terdapat hal menarik yang digunakan untuk menghidup-hidupi populisme politik. Pertama, digunakan untuk mendikotomi dalam ranah sosial antara kelas 1 dan kelas 2. Kelas 1 adalah orang Islam yang mengusung supremasi Islam dan kelas 2 adalah mereka yang bukan orang Islam.

Kedua, dikotomi orang pribumi dan non-pribumi. Jika kita kaitkan dengan kasus Ahok, selain dia dianggap sebagai orang kelas 2, dia juga bukan pribumi atau berasal dari ras Melayu. Terakhir, dikotomi agama mayoritas dan minoritas.

"Ego tinggi, akal sehat mati!". Itu adalah jargon penggugah hidup saya, ya, yang mungkin mereka para penggagas supremasi Islam sudah terlalu merepresentasikannya. Mau alasan urgensi apapun, bagi saya, reuni 212 semakin kesini hanyalah wadah propaganda entah anti non-muslim, anti etnis atau penegasan supremasi Islam sebagai yang mayoritas dan populisme politik. Jelasnya, semua itu berujung pada gagasan negara Islam yang kaffah.

Jika kita baca dan telaah mendalam dari Pancasila, sila tersebut selaras dengan syariat dan hakikat ajaran Islam. Islam mengajarkan tauhid, "KETUHANAN YANG MAHA ESA", yakni selaras dengan La Ilaha Ilallah.

Mengajarkan menjadi manusia yang memiliki jiwa "KEMANUSIAAN YANG ADIL DAN BERADAB", yakni dalam menjalankan kehidupan hendaknya mengamalkan amalan baik yang dicontohkan Nabi SAW. Menghendaki persatuan dalam persaudaraan baik sesama muslim maupun dengan non muslim yang diamalkan dalam nilai "PERSATUAN INDONESIA".

Seperti yang dicontohkan Nabi SAW di Piagam Madinah, dalam hal pemerintahan mengamalkan "KERAKYATAN YANG DIPIMPIN OLEH HIKMAT KEBIJAKANSANAAN DALAM PERMUSYAWARATAN PERWAKILAN" yang diamalkan oleh para pemimpin Islam dan dicontohkan demokrasi dalam musyawarah, kemudian dalam mempimpin diri sendiri, keluarga, umat dan negara hendaknya berbuat Adil, karena setiap kepemimpinan akan dipertanggung jawabkan di akhirat kelak yang diamalkan dalam sila "KEADILAN SOSIAL BAGI SELURUH RAKYAT INDONESIA".

Bagi saya, Islam Indonesia itu bukan Islam yang keras dan tampak menyeramkan, bukan juga basis muslim yang hobi berbicara "bunuh!, gantung!, kafir!". Meskipun Islam Indonesia adalah mayoritas, guru bangsa Gus Dur selalu menekankan Pluralisme beragama. Mereka bagi saya hanyalah penyamun kedamaian dan ketentraman hidup beragama.

Islam datang ke Nusantara untuk mengislamkan, bukan mengarabkan nusantara. Maka, jadilah anak Indonesia yang cerdik dan cerdas. Cerdik dalam menimbang keputusan dan bergerak tidak ngawur dan cerdas dalam memberikan solusi permasalahan dan menemukan gagasan baru. Menjadi seorang perintis itu mudah, yang sulit adalah menjadi seorang penerus.

PENULIS:

Muhammad Faried