“Datang gelap
terbitlah madang”
Cuitan burung
digital ramai menyampaikan cuitan hari Kartini. Saat dulur-dulur lanang
menunggu Laila sambil menahan dendang tabuhan sahur. Separuh kosong kopi dingin
diteguk sedikit demi sedikit. Semilirnya angin membawa ingatan pada Laila.
Sosok perempuan imaji para lelaki yang masih jomblo.
Laila
perempuan, mirip ibu Kartini. Ia idaman para laki-laki yang mengimajinya lewat
mimpi, menelanjanginya dengan bait-bait puisi. Ibu Kartini adalah sosok Laila
dalam kehidupan nyata K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat. Walau tak
lebih dari 2 tahun Bersama, Adipati Jepara ini tak sendiri dalam merindunya.
Seluruh masyarakat Indonesia terutama kaum perempuan mengingatnya sebagai
perempuan paling perempuan.
Lahir di bulan
April (sama dengan bulan kelahiran penulis) di percaya memiliki tekat dan
kemauan kuat untuk membela kaumnya. Ya, tentu saja kaum perempuan. Hasil dari
gaya kepemimpinan hingga ambisinya saat memiliki tujuan telah membuktikan pada
kita kemajuan dari peradaban bisa di tentukan dari kemajuan perempuannya.
Doktrin hingga
stigma di masyarakat hari ini yang mensosialisasikan dan memperkuat adalah
perempuan sendiri. Jika para ibu masih melestarikan budaya patriarki maka masa
depan adalah taruhannya.
“Jangan pulang malam. Jangan kayak anak laki-laki suka keluyuran. Kamu
ini perempuan.”
“Gak usah ikut kegiatan organisasi apapun itu. Gak usah ngomongin
pengalaman. Perempuan cukup bisa masak juga bisa hidup!”
“Kamu itu perempuan, keluar sekolah ga usah tinggi-tinggi. Ga bakal
sukses kamu!”
Kadang omelan
itu muncul dari perempuan. Namun, semenjak ibu Kartini ini memperjuangkan hak
Pendidikan untuk perempuan hal tersebut menjadi semangat untuk perempuan-perempuan
Indonesia.
“Pergilah, laksanakan cita-citamu. Bekerjalah untuk hari depan.
Bekerjalah untuk kebahagiaan beribu-ribu orang yang tertindas. Di bawah hukum
yang tidak adil dan paham-paham palsu tentang mana yang baik dan mana yang
jahat. Pergi! Pergilah! Berjuang dan menderitalah, tetapi bekerja untuk
kepentingan yang abadi.” Surat
Kartini kepada Nyonya Abendon, pada 4 September 1901.
Coba lihat dan
perhatikan Laila satu ini. Konsep keperempuannya berbeda dengan wanita zaman
itu. Nasihat, prinsip dan semua hal yang berkaitan dengan perempuan dan
pendidikan sangat menarik.
Tak bisa kau ragukan lagi, perempuan hari ini bisa menjadi bebas untuk
mendapatkan haknya menjadi manusia tentu karena ibu Kartini kan?
Ketimpangan,
ketidakadilan dan standar berlebihan yang di aplikasikan pada Laila atau sosok
perempuan. Vocabulary yang cocok untuk mengambarkan masalah
ibu Kartini, perempuan dan laki-laki adalah sexism. Hal itu
berhubungan dengan kepercayaan mengenai kodrat bagi laki-laki dan perempuan
seharusnya menjadi hal yang fundamental. Biasanya berhubungan dengan dengan Identitas
Gender, Orientasi Seksual, Etnis dan Bentuk Fisik.
Konsep
dari sexism ini jika dibiarkan akan menjadi aksi dari
masyarakat. Kartini pada saat itu sudah mencoba untuk mengugat sexism di
masyarakat dengan Pendidikan. Contoh mudah dari sexism adalah
mereka menganggap perempuan menjadi makhluk nomer dua dan seolah oleh
memposisikan mereka menjadi superior. Yang dikhawatirkan adalah saat ini
perempuan sendiri tidak menyadari hal tersebut karena disalah artikan sebagai
bentuk perhatian dan perlindungan.
Makanya sangat
penting untuk perempuan bersikap seperti Kartini. Sadar posisi. Memanfaatkan
posisi untuk membantu perempuan lainnya. Bukan hanya patuh saat di minta
menyeduh kopi. Ya tentu saja kopi setengah penuh itu.
Kopi itu
sekarang sudah menjadi cethe habis hisap sarinya. Pengeras
suara yang sudah beralih tangan ke pengguna akun Tik Tok berbunyi
nyaring menyekat berbincangan dan angan-angan dari Laila. Waktu puasa sudah
tiba saatnya menjalankan mimpi siang agar Laila tetap terjaga dan bangun disaat
Laila ada di pelupuk mata. “SAAT MADANG”
Sttttthhh! Jadi, saat laki-laki sudah menyadari bahwa perempuan memang
berharga. Bagaimana pendapat para perempuan?
Nuril Hidayah
Santri Pusat Kajian Filsafat dan Teologi (PKFT)