Judul: From Socrates to Sartre

Penulis: T. Z. Lavine

Penerbit: Shiramedia

Tahun: 2019

"From Socrates To Sartre: The Philosophic Quest" merupakan karya filsafat kontemporer yang mengevaluasi serangkaian gubahan pemikiran yang dikemukaka oleh para filsuf sejak zaman Yunani hingga Kontemporer. Buku ini ditulis oleh T.Z Lavine, atau lebih tepatnya Thelma. Z Lavine, seorang pakar filsafat yang memasyarakatkan filsafat dengan bentuk tayangan televisi.

Buku ini sebenarnya merupakan kumpulan dari berbagai narasi yang ia torehkan dalam televisi tersebut dengan mengembangkan konsep-konsep kunci dalam jagat filsafat. Ada enam filsuf terkemuka yang Lavine bidik dan ia kira sebagai juru kunci kefilsafatan, antara lain Plato, Descartes, Hume, Hegl, Marx dan terakhir adalah Sartre. Enam filsuf ini merupakan tokoh-tokoh kunci dalam pertautan problem filsafat yang mendasar dan amat mempengaruhi spektrum pemikiran setelahnya.

Awal mula buku ini menyusuri pertanyaan-pertanyaan yang pasti dipertanyak oleh manusia, oleh filsuf atau mereka yang gundah akan keberadaannya di dunia. Misal, manusia itu apa? Dunia itu diciptakan oleh siapa? Dan mengapa kita ada? Hingga bermuara pada argumentasi yang dikatakan Lavine sendiri bahwa, "Menjadi manusia adalah untuk menanyakan pertanyaan-pertanyaan ini.

Jika kita manusia hanya benda badaniah, jika kita hanyalah kumpulan atom tak berarti, meski begitu berarti kasusnya adalah bahwa kita ini merupakan satu-satunya kumpulan atom di semesta ini yang bisa berefleksi pada semesta fan bertanya, apa yang nyata dan apa artinya bermoral itu?".

Lavine menitikberatkan pertanyaan ini sebagai basis awal dirinya mengeksplorasi ulang dan mulai menuang kritik serta opini kepada keseluruhan filsuf yang dibahasnya. Lavine juga memperkaya analisisnya dengan realitas sosio-politik yang terjadi saat filsuf tersebut hidup, saya kira inilah yang paling menarik dari buku tersebut.

Masuk di alam pemikiran pertama, Lavine meninjau sejauh mana kesadaran Socrates tentang filsafat yang ia pinjam dari pola pemikiran Plato. Model dialektika, kesadaran human-sentris (bertolak belakang dari pendahulunya, misal Heraclitus, Parmenides atau Thales yang masih berkutat pada wacana nature-sentris) dan spirit pengembangan ilmu pengetahuan. 

Socrates yang terkenal akan dialognya dijabarkan oleh Plato dalam karya monumentalnya, semisal Republic yang dianggap sebagai narasi paling masyhur terikat tema kenegaraan, etika, moral dan sistem sosial.

Lantas, temuan-temuan ini akan dikembangkan oleh muridnya yang sejak kecil sudah suluk (berguru) kepadanya di Academia, yakni Aristoteles. Lavine tak banyak membedah Aristoteles, hanya beberapa sanggahannya terhadap Plato dan yang akhirnya mengantarkannya untuk menggagas filsafatnya sendiri.

Ucap Lavine dalam meneropong Plato, "Visi Plato bahwa melalui cinta manusia terhadap kebenaran dan kekuatan nalar manusia, kita mungkin belum mengetahui esensi dari semua hal dan ide dari kebaikan itu senditi, dan dengan rancangan pengetahuan ini dan membangun masyarakat ideal. Inilah janji kuno dan terus berlanjut dari Republic Plato"

Selanjutnya Lavine sampai pada Descartes, menelisik sosio-politik yang terjadi, iklim Eropa yang dihantui dogmatisme gereja yang kolot, wabah pes yang baru saja menghilang, takhayul yang diyakini masyarakat dan ancaman-ancaman sosial kepada para ilmuan menjadikan Eropa sebagai ladang gersang yang asing dari kebenaran.

Semenjak Copernicus yang kelak dilanjutkan oleh Galileo menunjukkan pola heliosentris dan Newton dengan gravitasinya, Eropa diguncang pencerahan atas kemandirian nalar yang wajib dicapai. Belum lagi, kesadaran humanisme yang menjangkit Eropa juga ambil bagian dalam pembentukan nalar Descartes.

Eropa semakin rasional dan Descartes mencoba mensahihkan semangat zamannya. Lavine melihat Descartes sebagai figur yang karismatik, suka bangun siang, ahli matematika yang ulung dan sosok filsuf yang jatuh pada paradoksnya sendiri.

Beberapa gagasannya dalam Discourse and Method dan Meditations ia telanjangi dengan terampil, Descartes dengan segala temuannya memang sudah sangat visioner, temuannya tentang prinsip deduksi, dualisme jiwa-tubuh, skeptisisme (kesangsian) Dan semesta gerakan jam amat mengguncang Eropa dan dunia.

Lavine berkomentar, "Untuk menjadi seorang filsuf; anda harus memikirkan filsafatnya. Anda bisa setuju atau tidak setuju, atau juga mencari jalan sendiri". Selesailah Descartes dengan wacananya tentang rasionalisme dan cogito ergo sum-nya!

Masuk fase selanjutnya, Lavine mengadili Hume sebagai manusia biadab yang menggugat habis-habisan rasionalisme ala Descartes dengan mazhab empirisme yang diimaninya. Hume sebagai sosok yang kritis bertanya, bagaimana anda tahu? Dari pertanyaan inilah muncul serangan-serangan kejam yang ia tunjukkan kepada Descartes.

Hume dalam perspektif Lavine memang terkesan gegabah dan serampangan, semisal menyoal teorinya tentang Kumpulan gagasan dan kesan, etika instingsif (organisme) manusia yang ia ambil dari kritiknya kepada rasionalisme bahwa "akal menghasilkan alat, instrumen atau cara, untuk mencapai apa yang diinginkan nafsu" dan prinsip skeptisisme radikalnya. Hume tuntas dengan kekayaan kontradiksi.

Lavine melanjutkan pengembaraannya, sebentar menjenguk Kant dengan capaian imperatif kategoris serta sintetis apriori antara rasionalisme dan empirisme yang mengakibatkan lahirnya tiga kutub mazhab baru, British empiricism, Continental Rationalism dan German Idealism. Dan di Jerman kita menemui Hegel sebagai filsuf yang mendobrak ulang kesadaran dialektika.

Lavine membahas Hegel dengan cara pandang yang lugas, khususya yang kelak akan diyakini Marx dalam sosialisme-nya. Marx dalam kacamata Lavine amat futuris dan revolusioner, cita-cita pembebasan dalam konstruk epistemologi Marx ditinjau dari berbagai sisi serta keutopisan yang terkandung didalamnya juga.

Filsuf yang terakhir diadili Lavine adalah Sartre, filsuf eksistensialisme yang pada masanya menjadi figur terkenal dan menapaki budaya populer Prancis. Lavine melihat eksistensialisme Sartre terkesan jatuh pada argumentasi yang paradoks juga, Sartre yang membangkitan model dualisme cartesian telah gagal meramu pijakan epistemologis yang kokoh dalam ranah etika, serga Lavine, tak ada etika atau moralitas dalam eksistensialisme.

Mana mungkin humanisme dijadikan nilai moral, pasti akan jatuh pada subjektifitas. Penutup dari buku ini, Lavine yang merupakan filsuf dengan kecondongan pragmatis ala Amerika mulai mengeksplotarasi perang dua aliran besar filsafat, yakni antara fenomenologi dan liguistik.

Buku ini berat, bagi mereka yang masih asing dengan berbagai idiom kunci filsafat, walau memang ditujukan kekhalayak umum, ada beberapa poin pembahasan yang terkesan berulang-ulang, namun tetap berpegang pada rujukan asli karya filsuf tersebut. Entah apa yang menjadi landasan kita dizaman ini, mari kita mulai, seperti yang dikatakan Derrida, "dari ketidakmungkinan! "Alerta! Alterta!

Penulis:

A. K. Sabilillah

Pusat Kajian Filsafat dan Teologi (PKFT)