Hari ini adalah hari aku harus pergi meninggalkan rumah karena alasan pekerjaan. Aku adalah seorang editor video yang bekerja pada sebuah perusahaan kecil di dekat rumahku. Semalam bosku telah bersepakat dengan salah seorang klien di Yogyakarta untuk membuat company profile perusahaannya.

Entah siapa dan apa perusahaan yang akan kudatangi nanti sebab bosku adalah orang yang ketika mendapat kata deal dengan klien, maka dia hanya akan berkata “Rud, ke sana. Ada klien.” 

tanpa kalimat penjelas yang lain. Tetapi untungnya semalam dia sempat memberi nomor klien tersebut. Jadi aku bisa bertanya lebih jelasnya mengenai waktu dan tempat untuk pertemuan nanti.

Semua sudah kupersiapkan dengan seksama. File-file telah kusiapkan dalam flash disk. Berkas sudah kusimpam dalam tas. Sepertinya, tiada yang tertinggal, dan semoga pertemuanku nanti dengan klien berjalan lancar. 

Dengan dua set baju di dalam tas, aku berangkat ke stasiun dan tiba di sana pukul delapan pagi. Sebenarnya masih setengah sembilan nanti keberangkatan kereta yang akan kunaiki. Namun ya kalian pasti tahu jika aku takut terlambat nanti.

Di depan stasiun terdapat banyak sekali orang yang berlalu-lalang. Ada anak kecil yang sangat lusuh membawa seperangkat sol sepatu. Dengan pakain compang-camping, dia terus saja menjajakan ke siapa saja dengan giatnya. 

Ada juga seorang juru parkir yang menerima ceperan dari orang-orang yang datang ke stasiun. Harusnya pekerjaan seperti itu merupakan pekerjaan yang sangat dihormati. Bayangkan saja jika tidak ada tukang parkir itu! Semua akan berebut tempat.

Apabila melihat SDM yang hanya begini-begini saja, aku yakin tidak hanya helm yang hilang, akan tetapi nyawa juga ikut melayang. Jika boleh dibilang, pekerjaan seperti beliau itu adalah pekerjaan yang lebih berharga dari pada sekedar seperangkat seragam pejabat-pejabat itu dan para oknum-oknum keamanan. 

Namun, entah kenapa sampai sekarang orang-orang berperut buncit seperti itu masih saja diberi penghargaan setinggi langit.

Tepat di depan pintu masuk stasiun, terlihat pedeagang kaki lima sedang murung. Bila kuamati lebih seksama, ternyata warungnya kalah ramai dengan minimarket tepat di sebalahnya. 

Dia sedang bertopang dagu sambil terus mengayunkan kipasnya ke kiri dan ke kanan. Kadang aku juga melihatnya menghela napas yang panjang. “Menyedihkan sekali hidup ini’, bila boleh kuterjemahkan arti napas panjang itu.

Sepasang pria dan perempuan, sepertinya pasangan suami istri, baru keluar dari stasiun. Angkutan umum lewat begitu saja. Para ojek duduk manis menunggu di pangkalannya.

Setelah memarkir motor, aku pun masuk ke stasiun. Aku melihat di depan loket tiket telah berdiri seorang pria gemuk berjas dengan tas koper yang dia geret. Kelihatannya dia orang kantoran, atau jika tidak, dia adalah pejabat, buruh pemerintah sajalah. 

Dia terlihat marah-marah ke pegawai stasiun di dalam loket. Dengan tangan kiri, yang kukira pejabat itu, menuding pegawai itu. Pasti yang tidak beres si Gendut satu itu!

Di kursi tunggu, ada seorang wanita yang kukira-kira usianya sekitar tiga puluh lima tahunan sedang memangku tasnya dan mengelus-elus cincin pada jari manisnya. Di sampingnya seorang anak kecil laki-laki sekitar tujuh tahun dengan mengayun-ayunkan kakinya.

Dia hanya menopang dagunya. Aku berpikir dirinya bingung ingin melakukan kegiatan untuk menghabiskan waktu tunggunya. Sedangkan wanita yang duduk di sampingnya tadi, kuperkirakan dia adalah ibunya, hanya diam sambil tetap memangku tasnya. Aku pun duduk di sebelahnya.

Waktu tunggu selesai. Aku pun naik kereta yang kupesan dan ternyata wanita tadi duduk di gerbong yang sama bahkan duduk tepat di sampingku, tentu dengan anaknya. Sebelum Ibu itu duduk, aku sempat melempar senyum padanya dan dia juga tersenyum. Kelihatannya, anaknya terlihat begitu senang bisa naik kereta ini. Mungkin ini pertama kali ia naik kereta api.

Awalnya begitu senang melihat keceriaan si anak yang seperti itu. Tapi aku ingat jika aku masih punya misi yang lain hingga pikiranku hanya menyemogakan agar perjalanan ini lancar, aku selamat sampai tujuan, dan tujuanku dapat terlaksana dengan baik.

Sekitar setengah jam, Ibu dan anak itu hanya diam-diam saja. Si ibu, dengan tatapannya yang kosong, mengusap cincinnya yang ternyat serelah kuamati bermotif bunga mawar, sedangkan si anak yang duduk di pangkuannya hanya mengayun-ayunkan kakinya sambil terus mengawasi jendela luar. 

Kadang ia berkata “Ma, lihat... hahahah”. Kadang “Ma. Itu Pak Gendut sedang apa?”. Namun ibunya hanya tersenyum kecil pada anaknya dan mencium keningnya."Ma,' kata anaknya, 'kenapa kita harus duduk di sebelah om itu?"

 Aku menengok si anak sambil melempar senyum ke pada dia. Kemudian si Ibu menjawab dengan sederhana bahwa banyak orang yang memesan kereta api sehingga kita tidak tahu apa dan siapa yang akan duduk dengan kita. Si anak mengangguk mendengar jawaban itu. “Halo, Om”. Kini dia menyapaku dan aku tersenyum padanya.

"Ma katanya lagi, 'mengapa semua orang pada diam?" Sang ibu menjawab mungkin karena mereka ada kesibukan sendiri. Aku pun tersadar jika aku memang ada keperluan naik kereta api ini. Tiba-tiba aku teringat dengan flash disk itu. Kuputuskan mencari di tasku, di jaketku, di celanaku, di sela-sela lembaran yang ada dalam tas, serta di sela-sela sela tempat dudukku. Dan ternyata tidak kutemukan. 

Flash disk yang niatku mau kubawa ternyata tidak dapat kutemukan. Flashdisk ini berisi proposal penawaran perusahaanku kepada klienku Lantas kucoba menghubungi siapa saja yang berada di rumah.

"Ma, aku mau ke sana!' belum sempat dijawab ibunya, anak itu sudah berlarian ke ujung gerbong. Ku dengar, dia bertanya-tanya kepada seseorang, tapi entah itu siapa karena tertutup tempat duduk dan penumpang yang lain. 

Suaranya pun tak terdengar karena mesin kereta ini. Jadi kubiarkan saja. “Mungkin dia sedang-senang”, pikirku. Kubuka gawaiku, mencoba menghubungi ibuku. Namun kata ibu ternyata kamarku sudah kukunci. Dan seingatku kunci juga kubawa sehingga tidak ada yang bisa masuk kamarku.

Tak lama kemudian, si anak duduk lagi. Tiba-tiba dia bernyanyi.

Naik kereta api...

 Tut Tut Tut...

Siapa hendak turut....

Aku mencoba melirik si Ibu. Si Ibu ternyata merasa jika kulirik. Dan dia pun tersenyum.

"Mau ke mana, Bu?" Sapaku mengawali.

"Ke Jogja, Mas. Menjemput Suami."

Menjemput Suami? Mungkinkah jika si suami seorang yang tidak bertanggung jawab hingga harus meminta sang istri pergi menjemputnya? Atau suaminya sedang sakit? Entahlah. Bukan urusanku. 

Aku pun tersenyum, sambil tetap mencoba menghubungi sekenanya. Kubuka-buka, aku menemukan nomor kakakku, langsung saja kuhubungi.

"Baru saja semalam tergeletak di depan tv!" Kata kakakku. Aku pun merasa lemas. Ternyata masih ada di rumah. Terpaksa aku menyusun proposal lagi di kereta ini. Kukeluarkan laptop dalam tas, namun perasaanku masih saja tidak tenang.

Aku takut jika klienku ternyata sudah lama menunggu dan malah membuatnya membatalkan proyek ini. Tak habis pikir, kucoba meminta nomor klienku pada bosku dengan alasan agar lebih mudah berkomunikasi. Si bosku langsung mengirim nomornya tanpa basa-basi. Langsung saja ku wa dia dengan kata “Siang, Tuan.

Saya kru dari video project yang rencananya akan bertemu dengan Anda, akan tetapi maaf. Pertemuan kita sepertinya diundur sekitar jam delapan malam karena ada masalah teknis pada kereta api yang saya naiki. Mohon dimaklumi.” Pasti orang itu akan memberi toleransi.

"Ma, sebentar!" Anak itu berdiri lagi dan langsung berlari dari ujung gerbong ke ujung gerbong yang lain. Kuamati, dia berlarian sambil tertawa sendiri. Entah apa yang dia pikirkan. Takutku hanya satu, jika ada seorang penumpang lain yang akan memarahinya, bahkan memberikan kekerasan fisik pada si anak. Utu tidak mustahil karea diia bahkan sampai meneriaki seorang hingga dia dibentak.

Semua orang melihat ke belakang, ke tempat orang yang baru saja diteriaki, dan ternyata saat kuamati orang itu adalah pegawai gendut yang teriak-teriak fdi loket tadi. Dengan wajah marah, dia berjalan sambil menjewer si anak menuju tempat duduk kami.

"Ini anakmu? Ibunya mengangguk dan langsung merangkul anaknya. “Anaknya diajari sopan santun dong!" Kata orang itu kasar dan sang ibu hanya mengiyakan sambil melempar senyum. 

Si anak yang berada dalam dekapan ibunya memegangi telinganya yang kemerahan. Kuperhatikan ternyata pipinya juga merah. Entah apa yang sudah dia lakukan. Orang gemuk tadi juga menatapku. Dengan raut masih kesal, dia berjalan meninggalkan kami.

"Kamu tak apa-apa?" Tanya sang ibu perhatian. Si anak menggeleng. Aku teruskan pekerjaan hidup dan mati ini. Sekali-kali kucoba melihat respon dari klienku yang sampai sekarang aku belum pernah melihatnya. Namun sampai sekarang terhitung dua puluh menit dari waktuku mengurim pesan kepadanya, masih saja pesan itu belum dia terima alias centang satu.

Kemudian kucoba menelepon klienku lewat panggilan seluler biasa, dengan harapan agar aku bisa sedikit-sedikit membuat alasan jika aku tidak bisa datang tepat waktu. Lagi-lagi tidak bisa karena nomornya berada di luar jangkauan.

Tak lama setelah itu, si anak berdiri lagi. "Ma,' belum lengkap dia berkata sudah pergi saja. Dan lagi, dia berlari-lari dari ujung depan gerbong ke ujung belakang gerbong sampai beberapa kali dengan riangnya. Kini dia juga berteriak-teriak. Aku mencoba untuk tetap fokus pada pekerjaanku. Apa pun yang terjadi aku harus bisa menyelesaikan proposal ini sebelum aku turun dari sini.

Seseorang kemudian datang menghampiri kami. Kali ini orang berbeda, namun dengan pesan yang kurang lebih sama. Seorang wanita dengan almamater sebuah universitas terkemuka dari Jogjakarta. Bedanya, kali ini dia mengucapkan dengan nada yang lebih tinggi serta... celometan yang cukup panjang.

“Oya, Bu! Anaknya diajari sopan santun dong! Masak di kereta tingkah lakunya kayak gitu? Coba lihat, apa yang dia lakukan padaku? Dia duduk di depanku dan menghalangi siaran langsungku sambil terus memencet-mencet layar hapeku. Padahal momen itu pas sekali.

Ada seorang yang sangat kukagumi menonton siaran itu. Penontonnya pun banyak dan pada bilang kalau aku cantik. Gimana sih, Bu!? Bilangin tuh anaknya! Eh, Mas, bilangin adiknya!” kemudian dia berbalik dan meninggalkan kami sambil terus melanjutkan siaran langsungnya.

Kucoba tak menghiraukan kata-kata Mbak tadi. Kuteruskan penyusunan proposalku agar cepet selesai dan bisa melancarkan urusanku. Namun, itu tidaklah mudah. Sulit sekali bagiku untuk mengingat-ingat perihal apa saja yang perlu kutuliskan. Karena memang aku tak pernah menulis proposal dari awal, biasanya cuma copy-paste dari file lama.

Tak lama kemudian, si anak kembali duduk di pangkuan ibunya. Aku masih mengerjakan pekerjaanku. Kali ini, dia yang menggangguku. Awalnya dia hanya layar laptopku, kemudian dia mendekat, memencet-mencet papan laptopku dan yang dia pencet adalah back space. Tanpa sadar aku pun menyentak si anak.

“Heh, Dik! Jangan usil!” kemudian aku berteriak pada ibunya. “Heh, Bu! Bilangin anaknya dong!”. Tiba-tiba si anak pergi lagi, kemudian berlarian lagi. Gila pikirku anak itu.

Aku yang masih dalam emosi itu mencoba meredam amarahku dengan menarik napas dalam. Awalnya bagaimana aku juga tak tahu, ternyata si Ibu sudah menangis. Aku tak tahu apa yang terjadi. Dia kini mengelus-elus cincin itu lagi.

“Sebenarnya,' masih dalam tangisnya,

aku juga sangat ingin memberitahu anakku untuk tidak terus berbuat jahil seperti itu, paling tidak dia duduk manis di sini dan tidak berlarian. Tapi, aku apa tega membuang kebahagiaan anakku?”

Aku heran. Harusnya itu tidaklah cukup membuat wanita itu menangis. Kemudian dia berkata, “hari ini aku harus pergi ke Jogja untuk menjemput almarhum suamiku. Dia meninggal karena tertipu seorang rampok berkedok ojek. Dia pasti menjadi sasaran penjahat karena pekerjaannya adalah seorang kepala sebuah bank, dan pasti pulangnya malam-malam.

Mana mungkin aku menghentikan tawa anakku ketika saat seperti ini?” sampai akhir perjalanan, tak ada yang berhasil kuingat apa yang kulewati. Semua begitu sunyi, semua begitu gelap. Proposalku tadi juga tak selesai-selesai sampai aku turun dari kereta.

Pikiranku bertaburan dimana-mana. Secuil lagi mengingat ibuku di rumah, sebagian pergi ke sekolah melihat kenanganku tentang Ayah yang saat ini aku yakin sedang membaca koran di depan teras. Apa yang kulakukan, Tuhan? Bolehkah aku meminta maaf padanya? Tapi, dengan apa aku harus meminta maaf? Ah, mungkin dengan ucapan maaf saja sudah selesai.

Tidak! Tidak bisa seperti itu! Coba bayangkan jika kau adalah anak itu, Rud! Apa rasanya jika kau mendapat kejutan yang isi kejutannya adalah ibu atau ayahmu yang meninggal? Kau yakin hanya akan mengucap maaf saja? Ha?

Seingatku sudah lima jam aku ada di Jogja, kuhitunag sejak aku tiba di penginapan. Kulihat lagi layar gawaiku. Kubuka WhatsApps  dan mencoba menghubungi klienku meminta kejelasan kapan aku bisa bertemu dengannya. Namun masih saja tidak ada tanggapan, bahkan masih centang satu. Tak apa. Hitung-hitung ini adalah bonus dari pekerjaanku.

Aku kemudian mandi, mencoba menyegarkan badanku lalu kurencanaknan untuk makan. Selesai itu semua, kuputuskan untuk melanjutkan proposal sialan tadi. Kubuka- kutambahi kata-katanya, dan tiba tiba bosku menelefon.

“Pekerjaan dibatalkan”. Katanya singkat. Kemudian kuberanikan diri untuk bertanya apa yang membatalkan pekerjaanku? Jangan-jangan gara-gara proposalku ini? Namun bosku mengatakan bahwa klienku mati. Lalu apa gerangan yang membuatnya meninggal? “Dibunuh seorang rampok yang mengaku sebagai ojek ketika dia pulang kerja dari banknya.”

 

PENULIS:

Arif Wibowo

Pusat Kajian Filsafat dan Teologi (PKFT)