Entah siapa dan apa perusahaan
yang akan kudatangi nanti sebab bosku adalah orang yang ketika mendapat
kata deal dengan klien, maka dia hanya akan berkata “Rud,
ke sana. Ada klien.”
tanpa kalimat penjelas yang
lain. Tetapi untungnya semalam dia sempat memberi nomor klien tersebut. Jadi
aku bisa bertanya lebih jelasnya mengenai waktu dan tempat untuk pertemuan
nanti.
Semua sudah kupersiapkan
dengan seksama. File-file telah kusiapkan dalam flash disk. Berkas
sudah kusimpam dalam tas. Sepertinya, tiada yang tertinggal, dan semoga
pertemuanku nanti dengan klien berjalan lancar.
Dengan dua set baju di dalam
tas, aku berangkat ke stasiun dan tiba di sana pukul delapan pagi. Sebenarnya
masih setengah sembilan nanti keberangkatan kereta yang akan kunaiki. Namun ya
kalian pasti tahu jika aku takut terlambat nanti.
Di depan stasiun terdapat
banyak sekali orang yang berlalu-lalang. Ada anak kecil yang sangat lusuh
membawa seperangkat sol sepatu. Dengan pakain compang-camping, dia terus saja
menjajakan ke siapa saja dengan giatnya.
Ada juga seorang juru parkir
yang menerima ceperan dari orang-orang yang datang ke stasiun. Harusnya
pekerjaan seperti itu merupakan pekerjaan yang sangat dihormati. Bayangkan saja
jika tidak ada tukang parkir itu! Semua akan berebut tempat.
Apabila melihat SDM yang hanya
begini-begini saja, aku yakin tidak hanya helm yang hilang, akan tetapi nyawa
juga ikut melayang. Jika boleh dibilang, pekerjaan seperti beliau itu adalah
pekerjaan yang lebih berharga dari pada sekedar seperangkat seragam
pejabat-pejabat itu dan para oknum-oknum keamanan.
Namun, entah kenapa sampai
sekarang orang-orang berperut buncit seperti itu masih saja diberi penghargaan
setinggi langit.
Tepat di depan pintu masuk
stasiun, terlihat pedeagang kaki lima sedang murung. Bila kuamati lebih
seksama, ternyata warungnya kalah ramai dengan minimarket tepat
di sebalahnya.
Dia sedang bertopang dagu
sambil terus mengayunkan kipasnya ke kiri dan ke kanan. Kadang aku juga
melihatnya menghela napas yang panjang. “Menyedihkan sekali hidup ini’, bila
boleh kuterjemahkan arti napas panjang itu.
Sepasang pria dan perempuan,
sepertinya pasangan suami istri, baru keluar dari stasiun. Angkutan umum lewat
begitu saja. Para ojek duduk manis menunggu di pangkalannya.
Setelah memarkir motor, aku
pun masuk ke stasiun. Aku melihat di depan loket tiket telah berdiri seorang
pria gemuk berjas dengan tas koper yang dia geret. Kelihatannya dia orang
kantoran, atau jika tidak, dia adalah pejabat, buruh pemerintah sajalah.
Dia terlihat marah-marah ke
pegawai stasiun di dalam loket. Dengan tangan kiri, yang kukira pejabat itu,
menuding pegawai itu. Pasti yang tidak beres si Gendut satu itu!
Di kursi tunggu, ada seorang
wanita yang kukira-kira usianya sekitar tiga puluh lima tahunan sedang memangku
tasnya dan mengelus-elus cincin pada jari manisnya. Di sampingnya seorang anak
kecil laki-laki sekitar tujuh tahun dengan mengayun-ayunkan kakinya.
Dia hanya menopang dagunya.
Aku berpikir dirinya bingung ingin melakukan kegiatan untuk menghabiskan waktu
tunggunya. Sedangkan wanita yang duduk di sampingnya tadi, kuperkirakan dia
adalah ibunya, hanya diam sambil tetap memangku tasnya. Aku pun duduk di
sebelahnya.
Waktu tunggu selesai. Aku pun
naik kereta yang kupesan dan ternyata wanita tadi duduk di gerbong yang sama
bahkan duduk tepat di sampingku, tentu dengan anaknya. Sebelum Ibu itu duduk,
aku sempat melempar senyum padanya dan dia juga tersenyum. Kelihatannya,
anaknya terlihat begitu senang bisa naik kereta ini. Mungkin ini pertama kali
ia naik kereta api.
Awalnya begitu senang melihat
keceriaan si anak yang seperti itu. Tapi aku ingat jika aku masih punya misi
yang lain hingga pikiranku hanya menyemogakan agar perjalanan ini lancar, aku
selamat sampai tujuan, dan tujuanku dapat terlaksana dengan baik.
Sekitar setengah jam, Ibu dan
anak itu hanya diam-diam saja. Si ibu, dengan tatapannya yang kosong, mengusap
cincinnya yang ternyat serelah kuamati bermotif bunga mawar, sedangkan si anak
yang duduk di pangkuannya hanya mengayun-ayunkan kakinya sambil terus mengawasi
jendela luar.
Kadang ia berkata “Ma,
lihat... hahahah”. Kadang “Ma. Itu Pak Gendut sedang apa?”.
Namun ibunya hanya tersenyum kecil pada anaknya dan mencium
keningnya."Ma,' kata anaknya, 'kenapa kita harus duduk di sebelah om
itu?"
Aku menengok si anak
sambil melempar senyum ke pada dia. Kemudian si Ibu menjawab dengan sederhana
bahwa banyak orang yang memesan kereta api sehingga kita tidak tahu apa dan
siapa yang akan duduk dengan kita. Si anak mengangguk mendengar jawaban itu.
“Halo, Om”. Kini dia menyapaku dan aku tersenyum padanya.
"Ma” katanya lagi, 'mengapa
semua orang pada diam?" Sang ibu menjawab mungkin karena mereka ada kesibukan sendiri. Aku
pun tersadar jika aku memang ada keperluan naik kereta api ini. Tiba-tiba aku
teringat dengan flash disk itu. Kuputuskan mencari di
tasku, di jaketku, di celanaku, di sela-sela lembaran yang ada dalam tas, serta
di sela-sela sela tempat dudukku. Dan ternyata tidak kutemukan.
Flash disk yang niatku mau kubawa
ternyata tidak dapat kutemukan. Flashdisk ini berisi proposal penawaran
perusahaanku kepada klienku Lantas kucoba menghubungi siapa saja yang berada di
rumah.
"Ma, aku mau ke sana!' belum sempat dijawab
ibunya, anak itu sudah berlarian ke ujung gerbong. Ku dengar, dia
bertanya-tanya kepada seseorang, tapi entah itu siapa karena tertutup tempat
duduk dan penumpang yang lain.
Suaranya pun tak terdengar
karena mesin kereta ini. Jadi kubiarkan saja. “Mungkin dia sedang-senang”,
pikirku. Kubuka gawaiku, mencoba
menghubungi ibuku. Namun kata ibu ternyata kamarku sudah kukunci. Dan seingatku
kunci juga kubawa sehingga tidak ada yang bisa masuk kamarku.
Tak lama kemudian, si anak
duduk lagi. Tiba-tiba dia bernyanyi.
Naik kereta api...
Tut Tut Tut...
Siapa hendak turut....
Aku mencoba melirik si Ibu. Si
Ibu ternyata merasa jika kulirik. Dan dia pun tersenyum.
"Mau ke mana, Bu?" Sapaku mengawali.
"Ke Jogja, Mas. Menjemput
Suami."
Menjemput
Suami? Mungkinkah jika si suami seorang yang tidak bertanggung jawab
hingga harus meminta sang istri pergi menjemputnya? Atau suaminya sedang sakit?
Entahlah. Bukan urusanku.
Aku pun tersenyum, sambil
tetap mencoba menghubungi sekenanya. Kubuka-buka, aku menemukan nomor kakakku,
langsung saja kuhubungi.
"Baru saja semalam
tergeletak di depan tv!" Kata kakakku. Aku pun merasa lemas. Ternyata masih ada di rumah.
Terpaksa aku menyusun proposal lagi di kereta ini. Kukeluarkan laptop dalam
tas, namun perasaanku masih saja tidak tenang.
Aku takut jika klienku
ternyata sudah lama menunggu dan malah membuatnya membatalkan proyek ini. Tak
habis pikir, kucoba meminta nomor klienku pada bosku dengan alasan agar lebih
mudah berkomunikasi. Si bosku langsung mengirim nomornya tanpa basa-basi.
Langsung saja ku wa dia dengan kata “Siang, Tuan.
Saya kru dari video project
yang rencananya akan bertemu dengan Anda, akan tetapi maaf. Pertemuan kita
sepertinya diundur sekitar jam delapan malam karena ada masalah teknis pada
kereta api yang saya naiki. Mohon dimaklumi.” Pasti orang itu akan memberi
toleransi.
"Ma, sebentar!" Anak itu berdiri lagi
dan langsung berlari dari ujung gerbong ke ujung gerbong yang lain. Kuamati,
dia berlarian sambil tertawa sendiri. Entah apa yang dia pikirkan. Takutku
hanya satu, jika ada seorang penumpang lain yang akan memarahinya, bahkan
memberikan kekerasan fisik pada si anak. Utu tidak mustahil karea diia bahkan
sampai meneriaki seorang hingga dia dibentak.
Semua orang melihat ke
belakang, ke tempat orang yang baru saja diteriaki, dan ternyata saat kuamati
orang itu adalah pegawai gendut yang teriak-teriak fdi loket tadi. Dengan wajah
marah, dia berjalan sambil menjewer si anak menuju tempat duduk kami.
"Ini anakmu?” Ibunya mengangguk dan langsung
merangkul anaknya. “Anaknya diajari sopan santun dong!" Kata orang itu
kasar dan sang ibu hanya mengiyakan sambil melempar senyum.
Si anak yang berada dalam
dekapan ibunya memegangi telinganya yang kemerahan. Kuperhatikan ternyata
pipinya juga merah. Entah apa yang sudah dia lakukan. Orang gemuk tadi juga
menatapku. Dengan raut masih kesal, dia berjalan meninggalkan kami.
"Kamu tak apa-apa?" Tanya sang ibu
perhatian. Si anak menggeleng. Aku teruskan pekerjaan hidup dan mati ini.
Sekali-kali kucoba melihat respon dari klienku yang sampai sekarang aku belum
pernah melihatnya. Namun sampai sekarang terhitung dua puluh menit dari waktuku
mengurim pesan kepadanya, masih saja pesan itu belum dia terima alias centang
satu.
Kemudian kucoba menelepon
klienku lewat panggilan seluler biasa, dengan harapan agar aku bisa
sedikit-sedikit membuat alasan jika aku tidak bisa datang tepat waktu.
Lagi-lagi tidak bisa karena nomornya berada di luar jangkauan.
Tak lama setelah itu, si anak
berdiri lagi. "Ma,' belum lengkap dia berkata sudah pergi saja. Dan lagi,
dia berlari-lari dari ujung depan gerbong ke ujung belakang gerbong sampai
beberapa kali dengan riangnya. Kini dia juga berteriak-teriak. Aku mencoba untuk tetap
fokus pada pekerjaanku. Apa pun yang terjadi aku harus bisa menyelesaikan
proposal ini sebelum aku turun dari sini.
Seseorang kemudian datang
menghampiri kami. Kali ini orang berbeda, namun dengan pesan yang kurang lebih
sama. Seorang wanita dengan almamater sebuah universitas terkemuka dari
Jogjakarta. Bedanya, kali ini dia mengucapkan dengan nada yang lebih tinggi
serta... celometan yang cukup panjang.
“Oya, Bu! Anaknya diajari sopan
santun dong! Masak di kereta tingkah lakunya kayak gitu? Coba lihat, apa yang
dia lakukan padaku? Dia duduk di depanku dan menghalangi siaran
langsungku sambil terus memencet-mencet layar hapeku. Padahal momen itu pas
sekali.
Ada seorang yang sangat
kukagumi menonton siaran itu. Penontonnya pun banyak dan pada bilang kalau aku
cantik. Gimana sih, Bu!? Bilangin tuh anaknya! Eh, Mas, bilangin adiknya!”
kemudian dia berbalik dan meninggalkan kami sambil terus melanjutkan siaran
langsungnya.
Kucoba tak menghiraukan
kata-kata Mbak tadi. Kuteruskan penyusunan proposalku agar cepet selesai dan
bisa melancarkan urusanku. Namun, itu tidaklah mudah. Sulit sekali bagiku untuk
mengingat-ingat perihal apa saja yang perlu kutuliskan. Karena memang aku tak
pernah menulis proposal dari awal, biasanya cuma copy-paste dari
file lama.
Tak lama kemudian, si anak
kembali duduk di pangkuan ibunya. Aku masih mengerjakan pekerjaanku. Kali ini,
dia yang menggangguku. Awalnya dia hanya layar laptopku, kemudian dia mendekat,
memencet-mencet papan laptopku dan yang dia pencet adalah back space. Tanpa
sadar aku pun menyentak si anak.
“Heh, Dik! Jangan usil!” kemudian aku berteriak
pada ibunya. “Heh, Bu! Bilangin anaknya dong!”. Tiba-tiba si
anak pergi lagi, kemudian berlarian lagi. Gila pikirku anak itu.
Aku yang masih dalam emosi itu
mencoba meredam amarahku dengan menarik napas dalam. Awalnya bagaimana aku juga
tak tahu, ternyata si Ibu sudah menangis. Aku tak tahu apa yang terjadi. Dia
kini mengelus-elus cincin itu lagi.
“Sebenarnya,' masih dalam
tangisnya,
“aku juga sangat ingin
memberitahu anakku untuk tidak terus berbuat jahil seperti itu, paling tidak dia
duduk manis di sini dan tidak berlarian. Tapi, aku apa tega membuang
kebahagiaan anakku?”
Aku heran. Harusnya itu
tidaklah cukup membuat wanita itu menangis. Kemudian dia berkata, “hari ini
aku harus pergi ke Jogja untuk menjemput almarhum suamiku. Dia meninggal karena
tertipu seorang rampok berkedok ojek. Dia pasti menjadi sasaran penjahat karena
pekerjaannya adalah seorang kepala sebuah bank, dan pasti pulangnya
malam-malam.”
Mana mungkin aku menghentikan
tawa anakku ketika saat seperti ini?” sampai akhir perjalanan, tak ada yang
berhasil kuingat apa yang kulewati. Semua begitu sunyi, semua begitu gelap.
Proposalku tadi juga tak selesai-selesai sampai aku turun dari kereta.
Pikiranku bertaburan
dimana-mana. Secuil lagi mengingat ibuku di rumah, sebagian pergi ke sekolah
melihat kenanganku tentang Ayah yang saat ini aku yakin sedang membaca koran di
depan teras. Apa yang kulakukan, Tuhan? Bolehkah aku meminta maaf padanya?
Tapi, dengan apa aku harus meminta maaf? Ah, mungkin dengan ucapan maaf saja
sudah selesai.
Tidak! Tidak bisa seperti itu!
Coba bayangkan jika kau adalah anak itu, Rud! Apa rasanya jika kau mendapat
kejutan yang isi kejutannya adalah ibu atau ayahmu yang meninggal? Kau yakin
hanya akan mengucap maaf saja? Ha?
Seingatku sudah lima jam aku
ada di Jogja, kuhitunag sejak aku tiba di penginapan. Kulihat lagi layar
gawaiku. Kubuka WhatsApps dan mencoba menghubungi
klienku meminta kejelasan kapan aku bisa bertemu dengannya. Namun masih saja
tidak ada tanggapan, bahkan masih centang satu. Tak apa. Hitung-hitung ini
adalah bonus dari pekerjaanku.
Aku kemudian mandi, mencoba
menyegarkan badanku lalu kurencanaknan untuk makan. Selesai itu semua,
kuputuskan untuk melanjutkan proposal sialan tadi. Kubuka- kutambahi
kata-katanya, dan tiba tiba bosku menelefon.
“Pekerjaan dibatalkan”. Katanya singkat. Kemudian
kuberanikan diri untuk bertanya apa yang membatalkan pekerjaanku? Jangan-jangan
gara-gara proposalku ini? Namun bosku mengatakan bahwa klienku mati. Lalu apa
gerangan yang membuatnya meninggal? “Dibunuh seorang rampok yang mengaku
sebagai ojek ketika dia pulang kerja dari banknya.”
PENULIS:
Arif Wibowo
Pusat Kajian Filsafat dan Teologi (PKFT)