“cinta itu adalah tindakan keyakinan, dan siapapun yang kecil keyakinanya maka kecil juga cintanya” -Erich Fromm-

Manusia modern, Menurut Fromm (1998:3) ialah Manusia yang tengah dihadapkan pada krisis kehidupan yang cukup mengkhawatirkan. Dia bekerja dan berjuang untuk memenuhi harapan serta keinginan, tetapi secara remang-remang mereka menyadari suatu perasaan Kesia-siaan akan segala aktivitasnya.

Sementara kekuasaanya untuk mengalami, dia merasa tidak berdaya dalam kehidupan individual dan sosialnya. Dengan ini orang-orang di zamanku, orang orang yang mereformasikan hidupnya dengan energi cinta. Energi yang tak akan lenyap oleh gempuran kesunyian, energi yang tak akan tereduksi oleh arus globalisasi, energi yang akan menjadi solusi bagi jiwa yang teralienasi.

Semua orang membicarakan cinta. Teolog membicarakan cinta, Politisi dan negarawan membicarakan cinta, agama manapun membicarakan cinta, bahkan ilmuwan pun membicarakan cinta. Cinta adalah titik irisan yang membicarakan manusia. cinta adalah nilai universal yang fitriyah. Semua agama maupun filsafat mengajarkan cinta sebagai jalan kebenaran dan keagungan manusia.

Alienasi, Tragedi Tiada Henti

Fromm menjelaskan bahwa alienasi bukanlah suatu realita yang disaksikan oleh masyarakat modern saja. Akan tetapi alienasi merupakan sebuah fenomena yang akan terus menerus terjadi dalam lingkaran sejarah kebudayaan manusia. Fromm menyamakan alienasi dengan perilaku pemberhalaan (idolatry) yakni suatu sikap dan perilaku pengabdian terhadap sebuah objek.

Pada awalanya fenomena alienasi (pemberhalaan) ini terjadi pada penganut politeisme. Mereka menghabiskan tenaganya untuk membangun sebuah patung (berhala). Mereka menjadikanya sebagai sumber pemenuhan kebutuhan, kerangka orientasi, dan objek pengabdian.

Padahal mulutnya tak bisa digunakan untuk berdakwah, tanganya tak bisa digunakan unyuk pegangan, dan kakinya tak punya kekuatan untuk berjalan. Dengan demikian patung itu menampilkan kekuatan manusia dalam bentuk alienasi. Manusia mesti tunduk dan patuh kepada patung tersebut dan dia menyerahkan diri untuk dikuasai.

Menurut fromm (1955:144) “when someone controlled by his irasional passion, he workship his own partial striving as an idol and is obsessed by it” menurut pengertian itu, orang yang sebagian besar digerakkan oleh nafsu kuasanya, nafsu mengejar uang, tidak lagi menghayati dirinya dalam kekayaan dan keterbatasan seorang manusia, tetapi ia menjadi seorang budak dari salah satu ambisinya yang diproyeksikan pada tujuan tujuan di luar dirinya.

Dengan kata lain perilakunya diarahkan oleh kekuatan yang terpisah dari dirinya. Pribadi yang tidak sehat ini menjadi pribadi yang teralienasi. Ia telah kehilangan dirinya sebagai pusat peradaban. Pendek katanya dia sudah kelilangan jati diri.

Bentuk Bentuk Alienasi

Dalam bukunya yang berjudul the sane of society Fromm menjelaskan 4 bentuk alienasi;

- Alienasi dalam proses produksi

Alienasi dalam proses produksi adalah alienasi yang dialami oleh para pekerja, para manager dan para pemilik perusahaan dalam menjalankan usahanya. Dalam dunia industri pekerja telah kehilangan jati dirinya, mereka menjadi atom ekonomi yang harus bekerja sesuai denan perintah dari manajemen yang atomistik. dengan kata lain, pekerja hanya menjadi tambahan pada mesin atau pada organisasi birokratos.

-Alienasi dalam proses Konsumsi

Seperti halnya pada proses produksi, proses konsumsi juga mengalami alienasi. Manusia mengkonsumsi tanpa adanya keterikatan pada objek yang dikonsumsi. manusia modern hidup di dunia benda, dan hanya dengan dunia benda itu ia tahu memanipulasi atau mengkonsumsinya.

Realitanya apabila seseorang mempunyai uang, maka ia dapat membeli lukisan yang amat indah dan amat mahal harganya, meskipun ia tidak memiliki kemampuan apresiatif dalam bidang seni. Bahkan seandaianya manusia berani mengartikulasikan konsepsi tentang surga ia akan mengambarkanya.

-Alienasi Dalam Hubungan Bersama Orang Lain

Alienasi juga terjadi pada hubungan Bersama orang lain. Hubungan antar sesama didasarkan pada hubungan atas kebutuhan, dan bukanya hubungan berdasarkan keadilan dan kebaikan. Padahal kalau hubungan hanya didasarkan pada kebutuhan maka yang terjadi hanyalah suatu penguasaan.

-Alienasi Dalam Hubungan Pada Diri Sendiri

Meminjam perkataan fuad hasan “dalam panggung kehidupan masyarakat modern, semua adegan tampil sebagai kepingan mozaik yang berhamburan. Tatap muka banyak terjadi, namun tidak gampang berkembang sebagai tatap wajah yang mewakili kesejatian pribadi”

Pada masyarakat modern, penghayatan akan diri sebagai agen yang aktif, sebagai pengemban kekuatan manusiawinya ditentukan ditentukan bukan oleh aktivitas sebagai makhluk yang berfikir dan mencinta, melainkan semata mata dari peran social ekonominya.

Tataran “Bebas dari” dan “Bebas untuk”

Kebudayaan modern memang telah menciptakan kemakmuran dan kenikmatan hidup, namun yang dijanjikan itu merupakan suatu kegagalan. Manusia yang telah melepaskan diri, sehingga bebas dari otoritas irrasional, dan ia berdiri sendiri dengan akal budi serta kesadaranya. menjadi satu satunya ukuran penilaian, tidak mampu memanfaatkan kemenanganya pun memanfaatkan kebebasanya.

Fromm (1941:37) mengatakan “while in many respects the individual has grown, has developed mentally and emotionally, and participates in cultural achievement in a degree unheart of before, the lag between “freedom from” and “freedom to” has grown too.”

Manusia modern telah mencapai tataran “bebas dari” tapi belum mencapai tahap “bebas untuk” unruk menjadi dirinya, untuk produktif, untuk bangkit sepenuhnya sebagai manusia. Prestasi-prestasinya menjadi tuan atas alam – membuka jalan bagi pelarianya.

Mencintai Adalah Sebuah Seni

Cinta itu seni. menurut Erick fromm dalam bukunya the art of loving, Fromm menjelaskan bahwasanya hidup adalah sebuah seni maka cinta adalah sebuah seni. Seni mencintai dapat dibagi kedalam dua bagian yakni teori dan praktik cinta. Jika seseorang ingin menjadi penyanyi yang terkenal maka pertama tama ia harus mempelajari lebih dulu apa yang dimaksud dengan melodi dan harmoni.

Tanpa melodi dan harmoni maka nyanyian kita akan menjadi suara yang menyakitkan kedengaranya di telinga. Teori yang baik juga harus dilengkapi dengan praktik yang terampil. Untuk dapat menyanyi seseorang harus mengatur nafas yang baik. Fromm menyatakan bahwa teori tentang cinta harus diawali teori tentang manusia. Manusia bukanlah binatang, maka keinginan untuk mencintai pastilah bukan sekedar dorongan naluriah semata.

Manusia memiliki emosi dan rasio dalam menentukan apa yang dirasakan dan bagaimana rasa ini diwujudkan. Perasaan cinta akan terus berkembang dalam diri kita. Sejak kecil perasaan itu akan terus berkembang dan terus menaungi perjalanan hidup kita walau dalam konteks yang berbeda. Misalnya, cinta ibu, cinta diri sendiri, cinta sesama dan cinta tuhan. Semua konteks tersebut akan menjangkau dimensi-dimensi tersendiri dalam hidup kita.

Mengenali perasaan cinta saja belum bisa membantu kita untuk mencintai, karena memang kita sering salah mengartikan rasa cinta. Contoh, Seorang santri akan merasa tidak dicintai oleh kiainya ketika peraturan pondok pesantren yang cenderung mengekang ditegakkan. Seorang mahasiswa akan merasa tidak dicintai oleh dosennya, ketika sifat killer itu disandarkan. Padahal kiai dan dosen itu melakukanya dengan penuh cita supaya mereka mempunyai keteladanan.

Maka dari itu manusia membutuhkan rasio untuk mencintai. Karena memang manusia adalah makhluk yang sadar akan dirinya. Dengan kesadaran seharusnya semakin memberi pemahaman siapa diri kita dan siapa yang akan kita cinta; Dengan kesadaran harusnya semakin memperjas kewajiban dan larangan disaat kita mencinta. Dengan kesadaran seharusnya semakin mendorong merealisasikan keinginan.

Produktif Mencintai Sebagai Solusi Bagi Alienasi

Cinta sebagai dasar orientasi diartikan sebagai bentuk keterikatan dan keterjalinan dengan orang lain dengan dirinya sendiri dan dengan alam lingkunganya. Cinta produktif, sungguh sangat berbeda dengan yang biasa kita sebut dengan cinta. Dalam pengertian umum dikenal, masalah cinta pertama tama sebagai masalah dicinta, bagaiaman agar menarik dan supaya dicintai. Sedangkan cinta produktif lebih mengacu pada masalah kemampuan untuk mencinta.

Cinta produktif mengandaikan tanggung jawab, pemeliharaan, penghormatan dan pengetahuan serta kehendak bagi orang lain untuk tumbuh dan berkembang. dalam cinta produktif, manusia menempatkan manusia lainnya pada posisi yang terhormat. Tidak akan terjadi manusia yang satu memperalat manusia yang lain.

Persoalan cinta, bagi Fromm, tidak terletak bagi objek cinta tapi pada kualitas cinta. Berkaitan dengan objeknya, cinta terdapat pada pengalaman solidaritas manusia dengan seesama ciptaan, guru dan muridnya, pria dan wanita dan diri sendiri sebagai manusia. Dan jika berkaitan dengan kualitasnya, tindakan cinta harus sampai pada pengalaman bahwa “aku adalah engkau”, engkau sebagai kekasih, engkau sebagai orang yang hidup.

Artinya jika saya mencintai, berarti saya peduli dan secara aktif memperhatikan perkembangan dan kebahagiaan orang lain, saya bukan penonton. Saya tanggap akan kebutuhanya, baik kebutuhan yang dia ungkapkan maupun kebutuhan yang tidak ia ungkapkan. Saya menghormatinya sebagaimana adanya. Semua itu terjadi karena aku mengenalnya.

Cinta tanpa pengetahuan objek yang dicintai akan membusuk menjadi pemilikan dan dominasi. (Fromm, 1947:79)

Di penghujung coretan merdu tentang rasa dan kasih yang terhalang oleh alienasi, coretan tentang proses produksi, konsumsi yang berujung pada pembudakan diri, coretan tentang pemeberhalan karena dorongan mengikuti yang tak disertai dengan akal budi.

Maka menurut teori Erick Fromm di atas, cara mengatasi problem alienasi yaitu dengan melalui projek transformasi struktur dan watak sosial menuju masyarakat yang bercirikan solidaritas, cinta antar sesama, integrase antara kerja dan aktivitas sosial. Pendek katanya produktif dalam mencintai adalah sebuah solusi bagi alienasi.

PENULIS

Zainal Hidayat
Pusat Kajian Filsafat dan Teologi (PKFT)