Terpilihnya kembali Jokowi sebagai orang nomer satu di Negeri ini tak begitu mengherankan. Sebagai petahana, Jokowi memiliki ‘kemampuan’ lebih dibandingkan kubu oposisi. Tentu dalam sejarah ke-pilpres-an, prosentase petahana menang amatlah besar, jadi hasil tersebut biasa saja. 

Namun, penataan kabinet kerja Jokowi pada periode kedua ini menarik untuk dikaji. Terutama mengenai penyatuan kembali mendikbud dan menristek. Dengan penyatuan tersebut otomatis semua jenjang pendidikan berada di tangan Nadiem Makarim.

Nadiem Makarim menilai, bahwa, situasi ini merupakan sebuah tantangan besar. Di satu sisi berada dalam situasi kementrian yang masih tradisional dan di lain sisi kembalinya Menristek sebagai bagian dari Mendikbud. Perlu diketahui kembali bahwa awal berpisahnya kedua lembaga kementrian itu juga terjadi di era Jokowi.

Pada saat awal kepemimpinannya 2014 lalu, jokowi memisahkan pendidikan dasar dan menengah dengan pendidikan tinggi. Pendidikan dasar dan menengah berada di bawah naungan Mendikbud, sedangkan pendidikan tinggi berada dalam naungan Menristek.

Pada pediode kedua ini, penyatuan kedua lembaga tersebut masih dalam siasat yang sama, yaitu upaya meningkatkan level pendidikan. Agar pendidikan di pelbagai level saling bersinergis atau menjadi ter-integred.

Dilansir dari laman Kemendikbud, Nadiem Makarim menyampaikan bahwa selain ter-integred penyatuan Mendikbud dan Menristek akan membuat strategi menjadi terpadu, walau juga semakin berat.

Nadiem Makarim memang begitu fenomenal. Di masa awal khidmatnya sebagai menteri, Ia langsung mengeluarkan kebijakan ‘revolusioner’, pun kontroversial. Kebijakan tersebut diberi lebel Merdeka Belajar.

Ada empat poin dalam kebijakan Merdeka Belajar tersebut. Pertama, mengenai Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN). Pada poin pertama ini, Nadiem Makarim menganggap bahwa USBN harus dihapuskan. Karena USBN dianggap menjegal semangat UU Sikdisnas, yaitu mengenai keleluasaan sekolah untuk menentukan kelulusan.

Pada 2020 mendatang USBN akan diganti dengan ujian (asesmen) yang diselenggarakan oleh sekolah. Dengan kebijakan tersebut sekolah memiliki hak penuh. Alhasil guru dan sekolah akan merdeka dalam merancang dan meningkatkan kualitas pembelajaran.

Kedua, Ujian Nasional (UN). Pada poin kedua ini Nadiem menyoal perihal Ujian Nasinal yang terlalu padat sehingga Siswa dan Guru cenderung lekat dengan penguasaan konten ketimbang kompetensi penalaran. Selain itu, ujian nasioanl juga menjadi problem manakala dianggap sebagai indikator keberhasilan siswa.

Ketiga, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Tidak mengagetkan bila RPP selama ini begitu menjerat guru karena formatnya yang kaku. Bahkan satu komponen RPP pun bisa sampai 20 halaman. Alhasil sistematika penyusunan RPP dianggap sangat menyita waktu dan pikiran guru.

Keempat, Peraturan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Zonasi. Poin terakhir dalam klausul kebijakan merdeka belajar ini menyoal perihal kekurangan sistem PPDB saat ini. Dari ketidak mampuan PPDB mengakomodir perbedaan situasi daerah, belum bisa terimplementasi di semua daerah, hingga belum disertainya pemerataan jumlah guru.

Progam Inisiatif Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan di atas diklaim bertujuan untuk menciptakan suasana belajar yang bahagia. lebih jauh, menurut Ade  Erlangga selaku Kabiro Kominikasi Dan Layanan Masyarakat Kemendibud, dilansir dari Detiknews.com, kebahagiaan yang disasar oleh Merdeka Belajar ini meliputi kebahagiaan Guru, Siswa, dan Orang Tua.

Jika dilihat kembali, proyeksi Merdeka Belajar ini lebih berfokus pada perbaikan pendidikan di jenjang pendidikan dasar dan menengah. Sedangkan inisiatif membahagiakan para Mahasiswa di Pendidikan Tinggi belum  diproyeksikan. Padahal jika ditengok kembali, kondisi Pendidikan Tinggi di Indonesia amtlah memilukan.

Sebagai Mahasiswa aktif di salah satu Perguruan Tinggi Islam Negeri (PTIN) di Indonesia, saya merasa ada pelbagai kondisi yang membuat kami merasa tidak sedang bahagia dalam belajar. Adapun salah satu hal yang harus dilakukan oleh Mentri Pendidikan Dan Kebudayaan jika ingin memerdekakan para Mahasiswa ialah dengan menghapuskan wajib presensi kuliah. 

Hampir di semua Kampus/Pendidikan Tinggi di Indonesia menggunakan peraturan ini untuk menjerat para mahasiswanya aktif kuliah, Bahasa baiknya agar disiplin.

Peraturan yang kebanyakan berbunyi, “Bagi mahasiswa yang presensinya di bawah 75% maka tidak diperbolehkan mengikuti Ujian akhir semester, jika tidak mengikuti UAS maka mahasiswa tersebut tidak mendapatkan skor, jika tidak mendapatkan skor maka mahasiswa tersebut memiliki indeks prestasi jelek, dan pada akhir cerita ia harus mengulang lagi mata kuliah tersebut.

Bunyi peraturan di atas Cuma karangan saya, yaa, saya sarikan dari pelbagai pertemuan saat kontrak perkuliahan di awal semester. Dari pelbagai kontrak perkuliahan yang sudah terlewat kira-kira poin utamanya ya itu. Mengenai kewajiban mahasiswa hadir, minimal 75% dari total pertemuan yang akan dijalani.

Secara historis, jika ditelaah kembali, aturan wajib presensi usianya belum terlalu lama. Panji Mulkillah Ahmad, penulis buku “Kuliah Kok Mahal?”, dalam tulisannya di laman Indoprogres memaparkan, bahwa perkuliahan di bawah rentan waktu 2000-an, 90an, 80an, dan seterusnya, Pada periode-periode tersebut tidaklah seketat periode sekarang. Dulu Mahasiswa tidak ada kewajiban presensi kuliah.

Selama Mahasiswa tersebut bisa melewati ujian dengan baik dan benar, penguasaan materi oke, maka tentu si Mahasiswa mendapatkan skor paling tinggi. Peraturan wajib presensi kurang lebih memiliki beberapa kelemahan, penegakan aturan tersebut berimbas pada pelbagai hal pelik. 

Hemat saya lebih berbahaya ketimbang sekadar mereka bolos kuliah. Berikut beberapa konsekuensi jika peraturan wajib kuliah masih dijalankan.

Kuliah Sekadar Formalitas

Kita pasti sepakat, kebanyakan orang yang berniat mengenyam bangku kuliah hanya sekadar mencari selembar kertas yang bernama ijazah. Dan ketika niat tersebut sudah bulat, perkuliahan hanya sekadar formalitas belaka.

Dalam kacamata Helbert Marcuse, zaman kita adalah zaman administrasi total. Segala yang ada diprosedurkan, akibatnya miskin kreativitas, gerak apapun selalu berhadapan dengan pedoman-pedoman.

Dengan demikian, rumus menjadi mahasiswa yang baik dan cepet lulus adalah presensi minimal 75%, mengikuti UTS dan UAS, presentasi materi (sesuai pembagian), tambahan bersikap sopan kepada dosen (sesuai kaidah yang berlaku), semisal prosedur menghubung dosen lewat WhatsApp yang baik dan benar.

Terjebak Ilusi Simbol

Dalam salah satu kritiknya terhadap modernitas terutama terhadap kaum strukturalis, Jean Baudrillard memaparkan, bahwa dalam menjalani pengembaraan di dunia kita senantiasa terjebak dalam simbol atau penanda saja. Bagi Baudrillard kita lebih menganggap penanda tersebut sebagai yang esensial atau petanda.

Dalam bangku kuliah misalnya, kita menganggap nilai A+ bahkan presentase kehadiran 75% sebagai yang esensial/petanda. Padahal hal-hal tersebut hanyalah penanda belaka/simbol. Yang esensial tentu saja penguasaan kita terhadap materi, dan keinginan kita secara merdeka untuk belajar dan masuk kelas. Bukan atas dasar kewajiban yang berarti dipaksakan dengan dalih mendisiplinkan.

Mereka memasuki kelas bukan atas dasar minat atau keinginan. Melainkan lebel wajib mengisi presensi minimal 75% tersebut. meskipun materi kuliah tak begitu mengena, meskipun metode mengajar dosen masih monoton dan membosankan, mereka akan tetap masuk Karen lebelisasi wajib 75% kehadiran.

Mereka akan lebih termotivasi mendapatkan kehadiran di atas 75%, ketimbang menguasai materi 60%. Mereka akan lebih takut kepada nilai kehadiran, ketimbang nilai penguasaan penalaran. Masa bodoh dengan materi yang begitu melangit, selagi aktif kuliah (mengisi presensi), mengumpulkan tugas, dan ikut presentasi. Dapat dipastikan lulus dengan membanggakan, minimal mendapat nilai B, syukur-syukur A+.

Urgensi Akhir

Sejauh pengembaraan saya di bangku kuliah, saya belum menemukan dosen yang meniadakan presensi. Maksud saya, meminimalisir “penghambaan” terhadap presensi ini.

Saya membayangkan para mahasiswa masuk kuliah tanpa wajib presensi, tanpa kontrak-kontrak perkuliahaan yang menekan, dengan dalih pendisiplinan. Keterbukaan dalam pelbagai lini tidak akan mengurangi rasa tanggung jawab mereka akan mengais pengetahuan. Hal tersebut akan lebih baik, karena mereka masuk kelas dan mengikuti pelajaran berdasarkan keinginan mereka sendiri, konsekuensi paling mutlak jika mereka tak lulus ialah tidak menguasi materi.

Kapasitas itulah yang pada akhirnya membuat pendidikan tinggi Negeri kita semakin bersahaja. Mahasiswa akan lebih leluasa menjalankan kemerdekaan pikirannya. Tidak hanya terbelenggu pada ilusi akademis belaka. Bahwa kuliah tidak hanya sekadar agar uang jajan tetap dijatah.

PENULIS:

Angga Kahfi

Pusat Kajian Filsafat dan Teologi (PKFT)