Hari pahlawan telah terlewat dan apa yang tertinggal selain bunga? pun perlahan-lahan hilang di atas makam, dan foto selfie saat ritual penghormatan.

Dalam tradisi penghormatan pahlawan, tabur bunga mendapatkan posisi yang istimewa sejajar dengan simbol-simbol ritualistik lainnya, seperti pembuatan film biografi, pembangunan monumen, lebelisasi jalan, dan masih banyak lagi.

Seperti orang yang sedang jatuh cinta, wujud ritual-ritual di atas  tak ubahnya usaha menjemput, membelikan makan, membelikan boneka. Hadirnya tingkah laku tersebut tak lain hanyalah sebuah simbol dan bukan makna sebenarnya dari cinta.

Pahlawan memang akan selalu hidup, dalam simbol-simbol berlumut dan carut marut. Museum memang dibangun begitu megah di dalamnya pun tertata patung, lukisan, dan arsip sejarah yang begitu penting. Namun, apa bedanya dengan pot bunga di depan rumah, Hanya sebagai hiasan.

Banyak jalan bernama pahlawan, pun tempat-tempat penting di negeri ini. Lalu apa yang menarik? Masa bodoh dengan rumah sakit yang namanya begitu melangit, jika kau melarat tunggulah sampai orang kaya selesai berobat.

“Pahlawan ada di mana-mana

sekaligus tidak ada di mana-mana.”

Lalu bagaimana cara penghormatan yang ideal? Pertanyaan tersebut tentu akan mendapatkan jawaban yang beragam. Dan jawaban yang paling dominan pasti lah penanda-penanda yang sudah saya singgung di atas.

Dengan demikian penghormatan yang ideal, menurut hemat saya, menuntaskan dulu perihal ‘Sosok Pahlawan’ itu sendiri. Terutama mengenai gelar pahlawan nasioanl itu diberikan.

Kita tahu, sejarah pemberian gelar pahlawan nasional adalah sejarah propaganda. Di Era Orde lama misalnya, gelar itu dapat didefinisikan sebagai penghargaan kepada orang yang ikut dalam pertempuran bersenjata dalam memerjuangkan kemerdekaan.

Sementara itu, bergeser ke Orde Baru, menurut Schreiner (Windu Jusuf:2015) di Era Soeharto ini mulai terjadi jor-joran pemberian gelar kepahlawanan. Mulai dari tokoh pemberontak abad ke-17 hingga Ibu Tien, istri Soeharto yang meninggal pada 1996.

Kedua Era tersebut memiliki kesamaan identik mengenai dominasi ranah militeristik dalam gelar kepahlawanan, walaupun nanti pada akhirnya di Era orde baru semuanya menjadi serba kompleks.

Lalu pasca runtuhnya rezim orde baru, kondisi semakin semrawut mana kala fenomena penyusunan buku tokoh-tokoh berpengaruh dan film biografi mulai laris manis di pasaran. 

Dan jika kita tilik menggunakan pendekatan kritis, hadirnya medium-medium tersebut bisa jadi hanyalah propaganda. Propaganda yang lahir dari Era yang dalam kacamata Jean Baudrillard disebut Era Simulasi dengan salah satu cirinya hiperreality.

Dengan demikian, cara terbaik melakukan refleksi Hari Pahlawan ialah dengan memaniftasikan semangat kepahlawanan itu kedalam diri kita. Dulu pahlawan melakukan gencatan senjata demi kemerdekaan, kita sekarang harus melakukan gencatan wacana demi menjaga kemerdekaan. Jika dulu pahlawan mengorbankan segala hal, bahkan nyawa demi kemerdekaan, maka kita harus memerdekakan segala hal demi tidak adanya korban.

Panjang umur pergerakan

semoga Indonesia tetap puspa warna

SELAMANYA.