Akan tetapi yang tak kalah menarik ialah berita mengenai penolakan penghargaan oleh salah seorang sastrawan, jika boleh saya katakana ia masuk dalam Sastrawan Periode Post-2000 yaitu, Eka Kurniawan.Akhir-akhir ini jagat ekologi maya kita digegerkan dengan ‘narasi ‘ penyerangan kelompok akatsuki kepada wiranto, anggap saja pak wiranto itu jincuriki. Konon katanya pelaku merupakan korban penggusuran proyek peningkatan infrastruktur yang diagung-agungkan pemerintah saat ini.

Penulis yang digadang-gadang menjadi ‘The Next Pram’ ini menolak  penghargaan yang diberikan oleh kemindikbud dalam progam Anugrah Kebudayaan dan Maestro Seni Tradisi 2019.

Eka kurniawan bukanlah orang baru jika berbicara soal penolakan penganugrahan. Jauh sebelum Eka kita mengenal nama-nama seperti jean-paul Sartre dan Le Duc To.

Sebenarnya masih ada nama-nama lain yang tercatat pernah menolak penghargaan dalam hal ini saya contohkan para penerima Nobel seperti Richard Kuhn, Adolf Butenandt, dan Gerhard Domagk. Namun, ketiga nama tersebut tak menerima Nobel karena tekanan rezim NAZI.

Dengan demikian kasus penolakan Eka Kurniawan tak ubahnya atau hampir mirip dengan kasus penolakan jean-paul Sartre dan Le Duc To. Menolak  berdasarkan pandangan pribadi atas realitas yang ada.

Jean-paul Sartre misalnya, dilansir dari tirto.id Ia menolak anugrah Nobel Sastra pada 1964 karena merasa ada ketimpangan sikap para panitia dalam memandang penulis-penulis Blok Timur. Selain itu ia juga ogah pada akhirnya akan dilebeli sebagai Jean-Paul Sartre peraih Nobel Sastra, karena ia merasa hal tersebut akan membebani pembacanya. Walau pada akhirnya hal tersebut juga melegitimasi dirinya di mata pembaca sebagai “Jean-Paul Sartre Penolak Nobel Sastra”.

 Tak jauh berbeda dari penulis Prancis tersebut, Le Duc To juga menolak penghargaan Nobel di bidang Perdamaian pada 1973 silam. Sikap tersebut Ia sandarkan pada fakta bahwa, Ia mendapat penghargaan karena upaya negosiasi dan penandatangan perdamaian guna mengakhiri perang antara Vietnam utara dan selatan yang didukung AS.

Ia menganggap bahwa masih banyak pelanggaran perjanjian, itu berarti perdamain belum benar-benar menyelimuti langit Vietnam. Alasan itulah yang menjadikan Le Duc To menolak menerima Nobel Perdamaian.

Kembali ke Cantik Itu Laka, Mas Eka makasud saya. Dalam postingan di akun Facebook pribadinya, mengenai klarifikasi penolakannya yang saat tulisan ini digarap postingan tersebut sudah mencapai 1700 lebih like, 147 komentar, dan 808 kali dibagikan.

Dalam postingan tersebut Ia membeberkan bahwa ada berbagai alasan penolakan yaitu, pertama, mengenai kontrasnya penghargaan kepada pelaku Kesusastraan Dan Kebudayaan jika dibandingkan dengan Atlet Asean Games 2018 lalu.

Kedua, alasan mengenai dosa negara terhadap kebudayaan. Dosa-dosa tersebut ialah, bagaimana Negara dan Aparatnya tidak memberikan perlindungan terhadap pembukuan dan iklim intelektual tapi malah bersikap represif.

Hal tersebut dapat ditelisik dari swiping yang dilakukan aparat beberapa bulan lalu. Bagaiman aparat menggeruduk toko buku dan merampas buku-buku yang diklaim berbahaya.

Dosa Negera berikutnya adalah perihal tidak tegasnya Negara dalam memerangi pembajakan buku. Hal tersebut menjadikan para penerbit minor dan para penulis tercekik. Sampai di sini, bagi Mas Eka, tidak hanya kebebasan berekspresi yang dirampas tapi perlindungan ekonomi kepada para industri buku juga tak terpenuhi hak-haknya.

Dosa terakhir yaitu mengenai janji presiden dalam mengupas kasus-kasus HAM di masa lalu. Bahwa negara nyatanya tak memiliki komitmen untuk melindungi para seniman dan penulis atas hak paling mendasar: kehidupan. Apa kabar penyair kami, wiji Tukul?

Dengan alasan-alasan mendasar itulah, Eka Kurniawan sampai pada kesimpulan bahwa Negara dengan kebijakan-kebijakannya tak mempunyai cukup komitmen yang meyakinkan atas kerja-kerja kebudayaan.

Saya kok jadi ingat perkataannya Seno Gumira Ajidarma, di dalam bukunya yang berjudul Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara ia mengatakan bahwa, “ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara. Karena bila jurnalisme berbicara dengan fakta, sastra bicara dengan kebenaran.”

Sebagai mahasiswa Bahasa tentu saya sering mengikuti kegiatan berlebel kebahasaan dan kesusastraan. Sejauh pengembaraan saya di situ memang begitu banyak kejanggalan yang mewarnai dunia kebahasaan kita.

Salah satu yang saya temui ialah bagaiman peran Balai Bahasa yang dalam berbagai acaranya selalu menawarkan kekonyolan. Jika dibandingkan dengan kegiatan-kegiatan ‘lokalan’ panggung apresiasi di teras-teras Base Camp komunitas impact-nya jauh berbeda.

Tambahan saja, Gerakan literasi nasional juga mangkrak. Bahkan beberapa beberapa pembelajar Bahasa Indonesia pun tak mengetahui/memiliki buku modulnya. Mungkin karena sebab itulah, jarang kita temui penulis besar yang lahir dari jurusan bahasa Indonesia. Karena mereka melucuti bahasa tanpa mau mencintainya.

Gimana? Wahai kalian para mahasiswa bahasa. Masih bersikukuh ingin melanjutjan studi di jurusan bahasa Indonesia? Hihihi, salam literaksi man-teman. Huahua.