Gerakan mahasiswa kembali bergejolak tatkala para pemangku kepentingan di senayan sana bermain sandiwara. Usut punya usut, Revisi undang-undang yang dianggap ngawur memancing munculnya gerakan tersebut. Aksi mahasiswa yang sedang terjadi, dalam sudut pandang ilmu politik, dapat dikatakan sebagai gerakan Populisme Reaksioner.

Populisme Reaksioner merupakan gerakan massa guna melawan kebijakan pemerintah yang sah. Mengacu pada kitab kebahasaan kita, KBBI, Reaksioner berarti besifat menentang kemajuan atau pembaruan; bersifat berlawanan dengan tindakan revolusioner; bersifat berlawanan dengan kebijakan pemerintah yang sah.

Mahasiswa dalam aksi ini dapat juga dikatakan sebagai Diktator Populis. Sosok dalam masyarakat yang dianggap memiliki kekuatan dan peran penting dalam tatanan bernegara.

Populisme Garis “Lucu” yang dimaksud dalam tulisan ini mengarah pada fenomena-fenomena “Lucu” saat gerakan terjadi. Atau jika kurang etis, silakan diganti dengan fenomena-fenomena unik saja. Dengan demikian proses penafsiran dalam tulisan ini tak merubah gerakan mahasiswa sebagai gerakan “Populisme Reaksioner” dan sebagai “Diktator Populis”.

Fenomena unik tersebut ialah tulisan/poster/slogan yang dibawa sebagian massa aksi. Fenomena itu lebih  trending dari Fahri Hamzah dan para politikus lainnya. Semisal, fenomena pertama mengenai tulisan/slogan/poster unik, yaitu yang lagi viral di aksi mahasiswa tulungagung. Berbunyi begini, “Pumpong RUU urung disahne. Pak DPR, ayo ngewe!”

Terjemahan bahasa Indonesianya, “Mumpung RUU belum disahkan. Pak DPR, ayo melakukan hubungan seksual.” ungkapan satire tersebut menjadi perdebatan karena dianggap tak sesuai moral dan etika, apalagi dilakukan oleh mahasiswa Institut Agama.

Jika hal tersebut dianggap tak patut, lalu bagaimana dengan bunyi serta manifestasi pasal yang sedang digarap oleh DPR?

Contohnya, pasal yang menyoal gelandangan, pasal 431 RUU KUHP, mengenai pemidanaan gelandangan yang dapat dikenai dendan Rp. 1 juta.

Cuit Gelandangan on Twitter, “Hoalah pak pak, lek nduwe duet aku yo emoh urip kyo ngene”. 

Dari beberapa urian pasal di atas, kira-kira mana yang lebih lucu. Pasal tersebut atau ungkapan satire saat aksi mahasiswa seperti yang sudah saya contohkan juga di atas.

Ungkapan satire “Pumpong RUU urung disahne. Pak DPR, ayo ngewee!” memang sah-sah saja dianggap berlebihan. Pun sebaliknya, ungkapan tersebut juga relevan jika dibenturkan dengan kekonyolan yang sedang DPR upayakan.

Dalam rumpun ilmu bahasa, ada yang namanya makna denotatif dan konotatif. Saya kira tidak fair jika mengartikan ungkapan tersebut hanya dari sisi makna denotatif saja, akan lebih fair jika dipahami juga dalam makna konotatifnya. Makna denotatif ialah makna sebenarnya. Sedangkan makna konotatif ialah makna yang tidak sebenarnya.

Jadi, bagi penulis hal tersebut sah-sah saja jika sesuai dengan tuntutan aksi. Jika tidak itu baru bisa dipermasahkan. Semisal, ungkapan tersebut digunakan dalam demo penolakan Revisi undang-undang pemilu.