School Is Dead-Everett Reimer 1971. Everett Reimer dalam bukunya school is
dead mengungkapkan bahwa “School has become the universal
church of a technogical society, incorporating and transmitting its ideology,
shaping men’s mind to accept this ideology, and conferring social social status
in proportion to its acceptance”. Terjemahan
bebasnya kurang lebih begini: sekolah telah menjadi gereja universal masyarakat
teknologi, menerangkan dan mentranmisikan idiologinya, membentuk pikiran
manusia untuk menerima idiologi ini, dan menganugerahkan status sosial
sebanding dengan penerimaannya. Lebih jauh
Everett Reimer menganggap bahwa alternative untuk sekolah
harus lebih ekonomis daripada sekolah: cukup murah sehingga setiap orang dapat
berbagi di dalamnya. Mereka juga harus lebih efektif sehingga biaya yang lebih
rendah tidak menyiratkan kurang pendidikan. Monopoli harus dihindari. Senada dengan
Everett, Ivan Illich juga menganggap bahwa sekolah tidak boleh bersifat
digdaya. Sebagaimana orang menginginkan surga lalu orang wajib mengenal agama,
begitupun sekolah, orang ingin pintar, sukses, kaya, dan terpandang seakan
harus melalui sekolah (formal). Illich ingin mempertegas bahwa
mengkultuskan sekolah itu salah, karena semua tempat adalah sekolah, baginya. Dewasa ini
sekolah hanya membentuk siswanya sebagai pekerja industri atau
menjadi pegawai negeri. Tak ayal sekolah hanyalah sistem reproduksi massal guna
memenuhi permintaan dunia kerja. Louis Athlusser menempatkan pendidikan sebagai
Aparatus idiologi negara.sebuah sistem yang bekerja “halus” melalui
internalisasi nilai secara “humanis” (Athlusser Louis:2015). Sangat sulit
mencari titik temu tentang dimana pendidikan yang humanis itu diperoleh.
kenyataannya, sekolah hanya bertugas mentransmisikan spirit-spirit kapitalisme.
Tentu bukan tanpa alasan, senada dengan Andrew Goss di dalam bukunya Belenggu
Ilmuan dan Pengetahuan di dalam (Dany Tupama:2016) yang memperlihatkan
bagaimana peran “negara” yang justru tampil sebagai penghalang bagi
tugas-tugas mulia pendidikan itu bagi masyarakat, baik ketika negara masih
dalam rupa penjajahan Hindia-Belanda maupun kini dalam bentuk bingkai “negara
merdeka” Indonesia. Tak heran jika
di dunia yang digadang-gadang tanpa skat batas ini, kita masih menemukan
kebijakan-kebijakan pelarangan buku. Sejarah telah mencatat, bahwa, kisah
menegenai pelarangan buku telah terjadi di roma abad pertengahan silam. Di mana
otoritas gereja mengklaim bahwa penemuan yang tidak sejalan dengan ajaran
mereka dianggap sesat dan harus dihukum. Sementara itu,
dalam kaitannya dengan kemajuan tekhnologi. Pendidikan fomal yang sekarang
menjadi pendidikan prioritas di semua negara lebih menuhankan tekhnologi
ketimbang Tuhan itu sendiri. Atau dalam istilah Ortega Y. Gasset semangat zaman
kita adalah menciptakan “Tuhan” yang asoi. Tidak lain dan tidak bukan
adalah tekhnologi dengan kiblat kebaruannya. Pendidikan
Islam: Jawaban atas dikotomi dimensi saintis dan teologis “Jika umat
manusia memang belajar meringankan penderitaan dengan pil dan tetesan obat,
berarti umat manusia meninggalkan agama dan filsafat”-Anton Chekhov Persoalan
paling mendasar mengenai situasi pendidikan kita ialah mindset bahwa
ilmu pengetahuan itu bertentangan dengan agama. Atau sebaliknya, agama dianggap
sangat penting hingga ilmu pengetahuan umum itu dianggap menyimpang. M Rofiq Anwar
(di dalam Bahroni:2019) mengatakan bahwa, lebih dari 90% konten pendidikan di
Indonesia mengedepankan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), sedangkan aspek
moralitas atau akhlak hanya mendapatkan porsi sekitar 10%. Masalah
dikotomi keilmuan pun menjadi persoalan yang tidak pernah habisnya
diperdebatkan dalam pendidikan Islam. Menurut Ahmad Barizi (Bashori:2017),
terdapat asumsi pemetakan lebih jauh antara apa yang disebut dengan revealed
knowledge (pengetahuan yang bersumber dari wahyu Tuhan) dan scientific
knowledge (pengetahuan yang bersumber dan berasal dari analisa pikir
manusia) seperti filsafat, ilmu-ilmu sosial (social siencies), ilmu-ilmu
humaniora (humanities siencies), ilmu-ilmu alam (natural siencies),
dan ilmu-ilmu eksakta (mathematic siencies). Masih menurut
pendapat Ahmad Barizi bahwa orientasi sains dan teknologi sesungguhnya
merupakan instruksi utama al-Qur’an bagi terbentuknya ulu al-albab.
dunia islam tidak mengenal dikotomi, karena, islam dengan al-Quran sebagai
kitab sucinya sangat menganjurkan kegiatan ilmiah. Jadi, kemajuan
tekhnologi dalam arus modernitas tidaklah berlawanan dengan islam. Hanya saja,
menurut Basori (2017) pemahaman bahwa umat muslim sering anti terhadap
penemuan-penemuan Barat sehingga menimbulkan pola berpikir fiqih
oriented, hingga yang hanya mengedepankan implementasi hubungan vertikal
dan terjebak dalam arus ritualisasi. Kondisi
tersebut mengakibatkan masih nyamannya gerak-gerik radikalisme di negeri ini.
Dikotomi pendidikan di tengah masyarakat seakan menjadi angin segar bagi paham
radikal, karena masyarakat akan semakin mudah terhegemoni. Dengan demikian
perlu mencari solusi yang tepat guna menangkal kecacatan yang timbul atas
dikotomi pendidikan tersebut. Gagasan
mengenai counter radikalisme telah lama dibahas oleh para
ulama, Jawaban dan solusi dari masalah tersebut ialah konsep mengenai “Moderasi
Islam”. Moderasi dalam bahasa arab ditulis dengan sebutan ( الوسطية al-wasathiyah)
sehingga dalam sebutan Islam moderasi yang telah disusun oleh Tim Kementrian
Agama RI menyebutkan bahwa kemajemukan diberbagai kondisi yang ada di Indonesia
sangat diperlukan suatu sistem pengajaran agama yang komprehensif yang dapat
mewakili setiap orang yang ada melalui ajaran yang luwes dengan tidak
meninggalkan teks (Al-Qur’an dan Hadist), serta pentingnya penggunaan
akal adalah sebagai solusi dari setiap masalah yang ada (Ahmad Fauzi:2018). Pasca abad
ke-11 di mana kejayaan islam runtuh dan beralih ke bangsa barat. Dunia
pendidikan islam seakan mengalami kebekuan. Guna menyikapi hal
tersebut, Qodri Azizy (di dalam Muhammad Hilal:2012) menyatakan bahwa ada
dua pokok permasalahan dalam dunia pendidikan islam. Pertama, bagaimana pendidikan islam dapat mencetak
generasi muslim yang mampu mengeksplorasi pemikirannya secara aplikatif
sehingga akan terjalin harmonisasi antara perkembangan zaman dengan paradigm
islam yang berbasis humanism-teosentris. Kedua, bagaimana pendidikan islam mampu menjaga hubungan
horizontal (hablun min an-nas) dan menanamkannya ke dalam akhlak anak, sehingga
pendiikan yang diajarkan tidak lagi diterima sebagai materi formal yang
terproyeksi melalui nalai nominal saja, lebih dari itu, mestinya pendidikan
islam lebih mampu menyentuh kepekaan amaliah, sehingga generasi muslim mampu
mengimplementasikan amar ma’ruf nahi mungkar dalam tindakan nyata yang utuh dan
komprehensif. Selain dua
problem di atas, persoalan yang tak kalah penting adalah mengenai pemerataan
pendidikan. Dirasa penting karena kecenderungan progam-progam pemerintah di
Indonesia pasti bertahap dan tak bisa menjangkau semua elemen masyarakat.
Menyoal pendidikan islam misalnya, memang benar Indonesia merupakan negara
dengan penduduk Islam terbesar di dunia, namun banyak pula dari mereka (umat
muslim) yang belum bisa membaca al-Quran. Pemerataan
pendidikan di Indonesia menurut Mujahidun (2016) pertama kali secara formal
diupayakan oleh Pemerintah semenjak tahun 1984 dengan program wajib belajar
sembilan tahun mulai tahun 1994. Tahapan
selanjutnya dengan pemberian beasiswa dan melalui gerakan (GNOTA) yang
melibatkan partispasi masyarakat. Sejalan dengan hal itu kini pemerintah juga
telah menggulirkan program bantuan operasional sekolah (BOS) yang tidak lain
ditujukan untuk membantu penyelenggaran pendidikan yang tidak saja berkaitan
dengan fasilitas pendidikan tetapi juga keberlangsungan pendidikan bagi siswa
agar tidak terhenti di tengah perjalanan. Sedangkan
menurut Eka. R di dalam artikelnya yang bertajuk kondisi pemerataan
pendidikan di Indonesia, pemerataan pendidikan mencakup dua aspek
penting yaitu equality dan equity. Equality berarti
persamaan kesempatan dalam memperoleh pendidikan, sementara itu Equity berarti
keadilan dalam memperoleh kesempatan pendidikan yang sama dalam masyarakat.
Sedangkan akses terhadap pendidikan yang merata berarti semua penduduk usia
sekolah telah memperoleh kesempatan pendidikan, selanjutnya akses terhadap
pendidikan dianggap adil jika antar kelompok bisa menikmati pendidikan secara
sama. Dengan demikian
konsep mengenai moderasi islam akan sulit terealisasikan tanpa adanya konsep
pendidikan islam yang tepat. Sedangkan, konsep pendidikan islam yang tepat juga
tidak akan berjalan jika pemerataan pendidikan tidak maksimal. Penulis: (Tulisan ini
dimuat dalam buku modul PBAK 2019 Institut Agama Islam Negeri Tulungagung
sebagai pengantar materi pendidikan dan keislaman) |