“Cara pandang yang memberi julukan liar (atau segala yang dianggap seperti itu) yang berada di luar nilai kemanusiaan, betul-betul sikap yang paling nyata dan paling jelas dari orang liar sendiri”.- Claude Levi-Strauss

Peradaban umat manusia telah memasuki periode-periode paling menyulitkan. Walau bukankah kemajuan tekhnologi yang sekarang telah dicapai terutama oleh kiblatnya (barat) mampu memudahkan umat manusia, setidaknya ia bisa melepaskan diri dari periode-periode ‘primitif’ atau ‘liar’.

Kerap kita jumpai lelucon mengenai status quo sebuas ras dan kebudayaan. Warisan terakhir yang kita terima ialah bahwa barat merupakan bentuk peradaban maju dan modern, dan di sisi lain, atau di luar pusaran peradan maju itu dikenal sebagai ras dan suku ‘primitif’, ‘bar-bar’, dan ‘liar’.

Hal itulah yang menjadi salah satu fokus studi cloude Levi-Strauss. Dalam mengungkapkan kesinisannya pada fakta saling serang antar ras, Levi-Strauss, menggunakan anekdot yang begitu sangat terkenal.

“Beberapa tahun setelah penemuan Amerika, orang-orang Spanyol mengirimkan komisi penyelidik ke wilayah Antillia Raya untuk meneliti apakah penduduk pribumi memiliki nyawa atau tidak. Para penyidik kulit putih itu akhirnya tertawan dan ditenggelamkan oleh penduduk pribumi untuk mengetahui apakah mayatnya bisa membusuk ataupun tidak.”

Ini merupakan salah satu hal yang bisa dibicarakan oleh studi sejarah, dan, dalam perkembangannya kita menyaksikan perwujudan lain, terutama mengenai pergolakan timur dan barat.

Claude Levi-Strauss dilahirkan di Brussles, Belgia pada tanggal 28 November 1905, ia merupakan keturunan Yahudi (Hedy Sri Ahimsa-Putra: 2012). Suatu ketika di tahun 1940 ia pergi ke Amerika dan bertemu dengan Roman Jakobson, dan di situlah ia mulai tertarik dengan kajian linguistik strukturalis, yang kemudian mendasari berbagai pemikirannya. Dengan demikian ia mewarisi pemikiran strukturalis sebelumnya yaitu Ferdinan de Saussure, terutama dalam lingkup kajian antropologi budaya.

Maka tak berlebihan kiranya jika mengatakan Levi-Strauss dan Saussure sama dekatnya dengan Marx dan Hegel. Bedanya jika Marx meletakkan pemikirannya dalam lingkup sosial-ekonomi, sedangkan Levi-Strauss meletakkannya pada bahasa dan komunikasi.

Levi-Strauss memberikan ciri baru dalam strukturalisme yaitu menganggap bahwa segala yang terjadi di masyarakat upacara-upacara, sistem-sistem kekerabatan, pola tempat tinggal, pakaian dan lain-lain, dapat dikatakan sebagai bahasa-bahasa. Dengan demikian dapat kita pahami juga bahwa strukturalisme Levi-Strauss menekankan pada aspek bahasa. Struktur bahasa mencerminkan struktur sosial masyarakat. Disamping itu kebudayaan juga diyakini memiliki struktur sebagaimana yang terdapat dalam bahasa yang digunakan dalam suatu masyarakat (Isnaini:2018).

Berkenaan dengan etnosentrisme dan terutama beberapa aspek buruk mengenainya, tidak begitu saja dapat dihapuskan oleh kemajuan ilmu pengetahuan. Sikap paling kuno dan yang berdasarkan bentuk-bentuk kebudayaan: moral, agama, sosial, estetika yang semakin lama semakin jauh dari apa yang kita identifikasikan (Claude Levi-Strauss:2000).

Selam pergolakan sejarah kerap kita menemui bagaimana sebuah cara pandang yang meletakkan kebiasaan kita yang dibenturkan dengan kebiasaan aneh peradaban di seberang sana. Dan sering kali menciptakan arogansi bahwa kebiasaan di luar diri kita (kelompok) yang secara kenampakan berbeda kita maknainya sebagai sebuah ‘keanehan’.

Hal di atas dapat ditelisik bagaimana orang-orang yunani (yang kemudian yunani-romawi) mengacaukan diri, bahwa, apa-apa yang tidak termasuk dalam kebudayaan mereka dengan nama sama yaitu: ‘bar-bar’. Begitupun dengan peradaban barat pun menggunakan istilah ‘liar’ dalam kasus yang sama dikemudian hari. Di belakang julukan itu terselip penilaian yang sama: kemungkinan kata ‘bar-bar’ ataupun ‘liar’ menunjukan kekacauan dan ketidakbermaknaan nyanyian burung, berlawanan dengan nilai-nilai penanda dalam bahasa manusia.

Bagi Levi-Strauss, cara pandang yang memberi julukan liar (atau segala yang dianggap seperti itu) yang berada di luar nilai kemanusiaan, betul-betul sikap yang paling nyata dan paling jelas dari orang liar sendiri.

Di titik ini Levi-Strauss mengkritik berbagai pandangan pemikir sebelumnya, yaitu bentuk objek manipulasi perkembangan kemanusiaan. Dari konsepsi paling kuno, Pascal, Dan berlanjut sampai skema paling fundamental pada abad 18, yang diikuti objek manipulasi berupa: konsepsi “spiralnya” Vico, “Tiga Tahap Umur” Comte yang menyatakan “tiga keadaan” dan tangga dari Condorcet.

Termasuk dua tokoh peletak dasar teori evolusionalisme sosial yaitu Spencer dan Taylor, yang dianggap Levi-Strauss masih urung terselesaikan, terutama mengenai aspek observasi dan induksinya belum tentu dapat memberi kunci suatu hari nanti.

Sikap yang ditunjukan Levi-Strauss, dengan pendekatan strukturalismenya, bukan berarti menolak bentuk apapun dari kemajuan realitas, namun agar kita lebih hati-hati dalam menyadarinya. Karena, perkembangan pengetahuan prasejarah dan arkeologi cenderung dibeberkan dalam ruang bentuk-bentuk peradaban yang membawa kita berimajinasi seperti urut-urutan perjalanannya waktu, Yang bagi Levi-Strauss, hal tersebut menandakan dua hal: kemajuan dan lompatan. Seperti kuda catur yang selalu siap membuat gebrakan, namun jarang dengan satu arah yang sama.

Usaha pengaburan etnosentrisme oleh manusia hanya sebatas ciri khusus yang menandai keberadaan kelompok masyarakat. Kita akan mengatakan bahwa suku, kelompok bahasa, bahkan desa sebagai bagian indah dari perbedaan, termasuk mengenai alam yang ada. Namun, itu tak berlaku jika membacarakan manusianya, kita akan mengatakan manusia---disana adalah yang buruk, jahat, kera bumi, atau telur kutu, bahkan, sering menyebutnya sebagai hantu atau penampakan.

Jelas bahwa situasi etnosentrisme yang mengakibatkan superioritas antar ras saling memberi bantahan satu dengan yang lain. Situasi inilah yang menggambarkan relativisme kebudayaan (yang akan kita temukan nanti dalam bentuknya yang lain). Orang bar-bar, menurut Levi-Strauss, pertama-tama adalah orang yang percaya pada kebiadaban. Jika saat ini kita menganggap orang-orang yang hidup di hutan jauh dari perkotaan sebagai orang yang tertinggal, itu hanya mewakili salah satu aspek, yaitu kemajun tekhnologi. Namun, disisi lain kita akan menemukan fakta-fakta bahwa merakalah manusia seutuhnya, bahkan mungkin, kitalah orang bar-bar itu.

Kemanusiaan selalu dipenuhi dua proses bertentangan. Pertama, kecenderungan untuk menyatu dan kedua kecenderungan untuk memelihara atau membangun kembali keanekaragamannya. Namun, seperti kecenderungan yang ada bahwa kemanusiaan hancur disaat ia sedang membentuk diri, prosesnya masih berlangsung akibat dari suatu pandangan yang belum lengkap. Sebab, dari dua segi dan dua tingkat yang bertentangan tentu saja adalah dua cara yang berbeda untuk membangun diri.

Levi-Strauss di dalam bukunya Ras dan Kebudayaan mengungkapkan, begitu penting menjaga keberagaman kebudayaan dalam dunia yang terancam oleh hal-hal yang monoton dan seragam. Sampai di sini peran institusi-institusi internasional tidak bisa dilepaskan. Dalam mencapai tujuan menjaga keanekaragaman, tidak cukup hanya memelihara tradisi-tradisi lokal dan menunda waktu yang sudah berjalan.

Kenyataan adanya keanekaraman yang harus diselamatkan, bukannya apa isi sejarah yang berlangsung di setiap zaman yang bahkan tak ada seorangpun dapat melestarikan. kita harus mencermati tiap biji gandum yang tumbuh, mendorong potensi-potensi terpendam, menyerukan panggilan untuk hidup bersama yang rukun seperti yang sudah diajarkan lewat sejarah; kita juga harus siap menghadapi seluruh bentuk-bentuk sosial dari pernyataan yang baru yang mungkin menyuguhkan ketidakwajran tanpa keheranan, tanpa jijik, tanpa revolusi.

Sementara itu, dalam esainya yang berjudul makna ganda kemajuan, Levi-Strauss memberikan pengertian bahwa toleransi bukanlah sebuah perenungan, karena akan membiarkan segala hal yang sudah dan sedang terjadi. Baginya, toleransi merupakan sikap dinamis, yang akan meramalkan, memahami, dan mempromosikan apa yang akan diwujudkan, bahwa, keanekaragaman kebudayaan manusia ada dimana-mana, di belakang, di sekeliling maupun di depan kita.

Satu-satunya tuntutan yang bermanfaat dalam cara ini (tercipta untuk setiap individu dengan tugasnya yang selaras) adalah terjadinya keanekaragaman kebudayaan dengan bentuk-bentuk yang merupakan kontribusi setiap individu bagi kemuliaan yang lebih tinggi terhadap orang lain.

PENULIS:

Anggakafi

Santri Pusat Kajian Filsafat Dan Teologi (PKFT) Tulungagung yang sedang mengembara di kampus IAIN Tulungagung jurusan Bahasa Indonesia.