Media sosial telah menjadi ruang baru dalam strategi gerakan sosial. Di Indonesia sendiri media sosial merupakan alat paling mujarab untuk memobilisasi massa. Trend yang terjadi ialah masyarakat sipil semakin masif membicarakan isu-isu publik di dunia maya. Kecondongan tersebut dianggap masih kurang, karena belum mampu mengubah isu publik keranah agenda politik. 

Realitasnya agenda politik yang dibangun lewat kanal-kanal media terbukti sukses mencuri pandangan rakyat. Fenomena Pilgub DKI sampai perang hashtag akhir-akhir ini dirasa cukup untuk menggambarkan betapa vital peran media dalam menjalankan roda kepentingan di negeri ini.

Marshal Mcluhan (1964) telah memprediksi hal ini sebagai fenomena global villeg atau desa global. Dimana dunia dianalogikan sebagai sebuah desa global yang sangat besar dan luas. Di era desa global, Marshal menegaskan, komunikasi antarpersonal akan semakin mengarah ke komunikasi massa dikarenakan bentuk informasi apapun dikomunikasikan menggunakan internet sehingga siapapun dapat mengetahui dan mengakses.

Tentu tak lekang di ingatan kita, gerakan yang dipantik oleh media sosial, semisal perjuangan bali tolak reklamasi atau yang terbaru hashtag-hashtag #lawanmafia, #savesatinah, #2019gantipresiden, yang diproduksi di kanal-kanal media sosial, seperti facebook, instagram, tweter, dsb.

Dunia media digital seperti yang kita kenal saat ini ibarat kita sedang mengarungi lautan literasi baru, dimana kita sekarang mungkin masih sedang mengejanya. Dunia digital sudah mulai terjadi sejak satu dekade lalu, dan pada saat yang sama ada pertumbuhan alat penerima komunikasi yang semakin canggih. 

Alat komunikasi yang kita miliki sekarang memungkinkan kita untuk tidak sekadar berkomunikasi lisan, tetapi juga berkomunikasi dengan tukar menukar data, berkirim pesan tertulis, dalam jumlah yang sangat besar.

Media sosial menjadi sangat urgen terutama guna memainkan isu-isu gerakan sosial baru. selama ini belum disadari oleh berbagai organisasi kemahasiswaan terkhusus PMII. Mlempemnya gerakan-gerakan mahasiswa tidak lain merupakan ketidak cakapan para kadernya dalam menyelami realitas modern. Kebanyakan cuma diambang batas permukaan saja. 

Hingga tak jarang banyak ditemuai berbagai Ormeg masih terjebak dalam paradigma kuno yang kurang efektif. Dalam setrategi gerakan saat ini, penguatan basis media dirasa sangat penting. Terutama menejemen isu dan branding intelektual kader, guna merebut ruang baru generasi milenial

Aktivitas media sosial dapat dimaknai sebagai setrategi gerakan,. Chandler, dikutip oleh singh (2002) mengatakan bahwa setrategi adalah penetapan sasaran dan tujuan jangka panjang, serta arah tindakan dan alokasi sumber daya yang diperlukan untuk mencapai sasaran dan tujuan itu. Penggunaan media sosial memang sengaja ditetapkan sebagai salah satu bentuk alokasi sumber daya untuk mencapai tujuan gerakan. 

Berperan sebagai strategi, aktivitas media sosial terbukti mampu memengaruhi bentuk gerakan nyata (van de Donk, Loader, Nixen & Rucht, 2004, h.88).

Media sosial harus dipandang sebagai ranah baru dalam pengoptimalan gerakan. Gubin Yang, mengistilahkannya sebagai Online Activism (OA) yaitu internet sebagai instrument gerakan juga sebagai pengendali massa. 

Dalam menjalankan isunya, Gubin membagi OA menjadi empat ranah; Pertama, aktivitas budaya yang berfokus pada isu-isu terkait nilai, moralitas, gaya hidup, dan identitas. Kedua, aktivitas sosial berfokus pada masalah-masalah seperti korupsi, degradasi lingkungan, dan hak-hak kelompok yang dirugikan. Ketiga, aktivitas poitik menekankan pada isu seputar hak asasi manusia dan reformasi politik. Kempat, isu-isu yang bersentuhan langsung dengan pemangku kebijakan.

Sudah menjadi keharusan bagi seluruh kader PMII melek literasi digital. Menjadi literat digital berarti dapat memproses berbagai informasi, dapat memahami pesan dan berkomunikasi efektif dengan orang lain dalam berbagai bentuk. Dalam hal ini, bentuk yang dimaksud termasuk menciptakan, mengkolaborasi, mengkomunikasikan, dan bekerja sesuai dengan aturan etika, dan memahami kapan dan bagaimana teknologi harus digunakan agar efektif untuk mencapai tujuan. 

Termasuk juga kesadaran dan berpikir kritis terhadap berbagai dampak positif dan negatif yang mungkin terjadi akibat penggunaan teknologi dalam kehidupan sehari-hari. Memacu individu untuk beralih dari konsumen informasi yang pasif menjadi produsen aktif, baik secara individu maupun sebagai bagian dari komunitas.

Adapun guna menunjang literasi digital oleh kader-kader PMII, menurut Mayes dan Fowler Terdapat tiga prinsip pengembangan pada literasi digital. Pertama, kompetensi digital yang meliputi keterampilan, konsep, pendekatan, dan perilaku. Kedua, penggunaan digital yang merujuk pada pengaplikasian kompetensi digital yang berhubungan dengan konteks tertentu. Ketiga, transformasi digital yang membutuhkan kreativitas dan inovasi pada dunia digital.

Sedangkan, dalam membangun strategi gerakan baru PMII berbasis media. sekurang-kurangnya ada dua aspek yang harus dilakukan, yaitu konseptual dan operasinal, aspek konseptual merujuk pada pengembangan kader, dalam aspek kognisi maupun emosi kader.

Aspek kedua yaitu operasinal, aspek ini merujuk pada kemampuan teknis kader menggunakan media atau ketrampian kader memainkan teknologi-teknologi modern. kedua aspek tersebut dapat dilakukan dengan pengoptimalan pengkaderan non-formal. Menggandeng praktisi-praktisi yang mampu meng-upgred kader ke level yang lebih tinggi. dengan kapasitas individu maupun basis yang baik, memungkinkan gerakan ini tertata secara sistematis dan mendalam tidak hanya sekadar bermain kepentingan.

Fokus progam PMII sesuai yang diungkapkan ketua umum PB PMII, bahwa yang paling utama adalah merebut ruang generasi millenial. Hal tersebut menjadi sebuah tantangan berat, melihat bahwa generasi melenial sangat aktif di media. Sedangkan PMII masih bergelut dengan perdebatan teologis an sich. Dengan kata lain PMII harus mampu memanfatkan media. Mencari formulasi baru guna menentukan arah gerakan yang tak terdistorsi budaya populer generasi milenial.

Penguatan kapasitas di tubuh PMII menjadi fokus utama. Setelah menyadari bahwa pergolakan pergerakan terutama di dalam kampus haruslah memiliki kecakapan bermedia. Untuk itu pembekalan literasi media dan digital harus menjadi menu baru dalam pengkaderan di PMII. 

Adapun menurut hemat saya setidaknya ada lima hal yang harus disiapkan PMII dalam upayanya merebut ruang generasi millenial. Pertama, PMII sebagai fasilitator, yaitu penguatan kapasitas kader guna menjadi fasilitator. Semisal peran kedua orang tua di dalam keluarga. Dengan demikian PMII menjadi pegiat sekaligus pengelola taman-taman bacaan.

Kedua, PMII harus mampu menciptakan/memberi fasilitas sumber belajar. Strategi ini menjadikan PMII sebagai magnet, bukan jaring. Bisa diawali dengan pembuatan media sosial blog, instagram, facebook, youtube, dll. Yang secara masif terus dijalankan dan berasosiasi langsung dengan iklim target. memberikan progam peminjaman buku gratis dan PMII menyediakan buku-buku bermutu.

Ketiga, perluasan akses, setelah aspek pertama dan kedua berjalan aspek ketiga ini mengintegrasikan cakupan peserta. Dari rayon yang memiliki cakupan perfakultas di kampus beranjak naik hingga komisariat, bahkan cabang. Sehingga tidak hanya berkutat di kampus. Namun, juga melakukan advokasi langsung kemasyrakat. Tidak menutup kemungkinan melakukan aksi turun jalan jika diperlukan.

Keempat, pelibatan publik, melakukan kerjasama dengan pemangku kebijakan, praktisi, bahkan pelaku industri. Hal tersebut baik, guna mengangkat citra PMII. Membuka forum-forum diskusi menggunakan jarigan tersebut. Permasalahannya PMII sering bersifat konservatif-eksklusif, membuat forum hanya untuk kader-kadernya saja. Jadi, seringkali PMII lebih takut pada Ormeg lain ketimbang kemungkinan positif terkait merebut ruang generasi millenial.

Kelima, penguatan tata kelola, hal ini meliputi pengelolaan ekosistem kader PMII yaitu sebuah sistem yang terintegrasi dari pusat hingga taraf rayon. Hal tersebut mencerminkan keseriusan seluruh pihak dalam menyukseskan strategi gerakan. 

Jadi, PB sendiri hendaknya tidak sekadar memfokuskan diri di kampus-kampus ternama. Haruslah mampu menjangkau segala lini terkecil, semua komisariat dilibatkan dan menjadi gerakan nasional. Jika demikian bisa terlaksana, Counter Radikalisme dan upaya merebut ruang generasi millenial di media bisa dijalankan dalam skala yang lebih besar.


PENULIS: Anggakafi

*Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII)

Komisariat IAIN Tulungagung, Rayon Bahasa Avicenna