“Die Grenzen Meiner Sprache bedeuten die (Batas bahasaku adalah batas duniaku)”

 Ludwig Wittgenstein

Seperti halnya cosmologi, teori awal kelahiran bahasa juga tak terlalu diminati.  Padahal manusia dengan kodratnya sebagai makhluk yang berpikir, sangat memerlukan bahasa dalam proses berpikirnya. Ernest Cassirer mengemukakan bahwa lebih dari itu (berpikir) manusia adalah makhuk berbahasa (animal symbolicum). Mungkinkah Tanpa bahasa manusia bisa berpikir? Atau bisakah proses berpikir berjalan tanpa bahasa?.

Tiada keraguan bahwa bahasa merupakan unsur pokok dan prasyarat utama perkembangan peradaban manusia. Oleh karena itu, menjadi menarik untuk kembali mengajukan sebuah pertanyaan klasik seputar kelahiran bahasa yang selama ini telah menjadi perdebatan para ahli dan filsuf bahasa. Sejak kapan bahasa ada? Sah-sah saja jika seseorang menjawab sejak manusia ada. Bila nirmana (perspective) evolusionisme Darwinian digunakan, maka bahasa lahir bersamaan dengan munculnya spesies homo sapiens (Rahardjo 2006).

Rahardjo menyatakan, secara filosofis, sebutan manusia sebagai makhluk pengguna simbol memiliki cakupan lebih luas dibanding sebutan manusia sebagai makhluk berpikir (homo sapiens), karena hanya dan hanya bila menggunakan bahasa maka manusia bisa berpikir dengan runtut, teratur, canggih, dan abstrak. Lebih lanjut, semua prestasi kolektif manusia, seperti khasanah pengetahuan keilmuan, kemajuan peradaban, serta keadiluhungan budaya, hampir pasti tidak bisa diwujudkan tanpa peran bahasa sebagai prasyarat utama.

Teori tentang asal-usul bahasa terutama dalam kajian linguistik merupakan aspek yang masih menjadi pertentangan oleh para ahli. Dalam usaha mencapai poin tunggal terkait kemunculan bahasa tersebut. Bahasa menjadi vital dalam hal ini, karena dalam perkembangan peradaban umat manusia bahasa adalah alat baru, yang, walaupun masih samar diketahui kemunculannya, mengemban peran vital dalam kehidupan manusia.

Kaelan (1998:28) memaparkan bahwa kajian mengenai proses kelahiran bahasa manusia sudah ada sejak 2.500 tahun lalu, pada zaman Plato dan aristoteles. Mereka mempertanyakan apakah bahasa itu? Lalu bagaimana bahasa tersebut dapat terbentuk dan lahir? Apakah bahasa berasal dari alam (fisei) ataukah berasal dari konvensional atau kesepakatan (nomos) penuturnya.

Fakta bahwa di seluruh dunia terdapat lebih kurang 5445 bahasa alamiah. Bahasa-bahasa ini dipergunakan sebagai isyarat komunikasi antara anggota masyarakat pemakainya, yaitu dengan sistem komunikasi yang bersifat produktif, imanen, dan kreatif. Bahasa dapat berkembang, bertambah (secara kualitatif dan kuantitatif), hilang, dan berganti (Perera dalam Ening Herniti 2017).

Filsuf yunani klasik, aristoteles mendefinisikan bahasa sebagai alat untuk mengungkapkan pikiran dan perasaaan manusia. Dengan kata lain, karena pikiran bahasa itu ada. Manusia bisa berpikir tanpa bahasa, dan manusia menyadari bahwa mereka memerlukan bahasa yang dipatuhi bersama agar mereka bisa saling mengerti.

Dalam meta narasi yang ada, teori awal kelahiran bahasa dapat digolongkan dalam dua bangunan besar. Yaitu, teori tradisional dan teori modern ( termasuk di dalamnya teori akuisisi). Atau dalam istilah lain disebut sebagai fase origin (divine origin phase) dan fase organis (organic phase).

Teori Tradisional

ada dua teori besar penanda teori tradisioal mengenai awal lahirnya bahasa, yakni monogenesis dan polygenesis (sebagai gerbang teori-teori kelahiran bahasa modern).

Monogenesis

Teori ini memiliki kaitan erat dengan kepercayaan (divine origin), bahwa, dalam kebudayaan primitive manusia meyakini campur tangan Tuhan atau Dewa dalam kelahiran bahasa. Dalam agama samawi (agama yang turun dari langit) misalnya, meyakini bahwa bahasa merupakan pemberian Tuhan. Di dalam kitab Injil menurut penulis barat, dikemukakan bahwa Tuhan telah melengkapi pasangan manusia pertama di dunia, yaitu Adam dan Hawa (Eva) dengan kemampuan alam (kodrati) untuk berbahasa dan bahasa inilah kelak akan diteruskan kepada turunan mereka (Sumarsono 2004:68)

Sementara itu, islam, di dalam surat Al-Baqarah ayat 31 Allah berfirman, yang artinya;

“Dan Allah mengajarkan kepada Nabi Adam semua nama-nama benda. Kemudian diajukannya kepada malaikat. Kemudian Allah berfirman, sebutkan kepada-Ku nama-nama benda itu jika kamu memang benar” 

Ayat di atas, memberikan penjelasan bahwa manusia mendapatkan kemampuan berbahasa langsung dari Allah. Dengan demikian, jika berdasarkan Al-Quran maka sejak semula (adam sebagai manusia pertama yang menginjak bumi) telah diberi kemampuan berbahasa.

Menurut Bloomfield (Di dalam E. Herniti 2017). Ada banyak cerita nenek moyang yang menjadi batu peletak teori ini. Kisah raja Herodotus (5 SM) yang menganggap bahasa Phrygia sebagai bahasa pertama. Pada abad ke-5 SM, Herodotus mengatakan bahwa Raja Psammetichus mengadakan penyelidikan tentang bahasa pertama. Menurut sang raja kalau bayi dibiarkan ia akan tumbuh dan berbicara bahasa asal. Untuk penyelidikan tersebut diambilah dua bayi dari keluarga biasa, dan diserahkan kepada seorang  pengembala untuk dirawatnya. Gembala tersebut dilarang berbicara sepatah kata pun kepada bayi-bayi tesebut. Setelah sang bayi berusia dua tahun, mereka dengan sepotan menyambut si gembala dengan kata ”Becos!”. Segera si penggembala tadi menghadap Sri Baginda dan diceritakannya hal tersebut. Psammetichus segera menelitinya dan berkonsultasi dengan para penasehatnya. Menurut mereka becos berarti roti dalam bahasa Phrygia; dan inilah bahasa pertama. Cerita ini diturunkan kepada orang-orang Mesir Kuno, hingga menurut mereka bahasa Mesirlah bahasa pertama.

Secara garis besar dapat dikatakan bahwa dalam teori monogenesis kunci utamanya terletak pada sumber tunggal, yaitu kekuatan yang maha besar, sesuai kepercayaan-kepercayaan mereka. Cerita yang berdasarkan kepercayaan nenek moyang di atas disebut hipotesis Monogenesis (mono=tunggal, genesis=kelahiran), yaitu hipotesis yang mengatakan semua bahasa di dunia ini berasal dari satu bahasa induk. Namun, hipotesis ini ditentang oleh J.G. Von Herder (1744--1803). Menurutnya kalau betul bahasa berasal dari Tuhan, tidak mungkin bahasa itu begitu buruk dan tidak selaras dengan logika karena Tuhan itu maha sempurna (Sumarsono, 2004: 69).

Poligenesis

Bagi teori ini, bahasa tidak lagi merupakan anugrah Ilali, seperti apa yang ada dalam teori monogenesis. Teori yang berkembang abad ke-18 ini melihat bahasa lahir dan berkembang sesuai dengan penuturnya. Masyarakat yang hidup dalam berbagai bangunan kebudayaan memiliki andil besar dalam terciptanya sebuah bahasa. F. Von Schlegel (Di dalam E. Herniti 2017) menjelakan, keragaman bahasa di dunia ini tidak mungkin berasal dari satu bahasa induk. Asal usul bahasa itu sangat berlainan, bergantung pada faktor-faktor yang memengaruhi perkembangan bahasa itu.

Dengan demikian, F. Von Schlegel, dalam penjabarannya ada bahasa yang dilahirkan oleh onomatope (contoh bahasa Manchu). Ada pula bahasa fleksi yang dilahirkan oleh kesadaran manusia (contoh bahasa Sansekerta). Dari manapun asal-usulnya, akal manusialah yang membuatnya sempurna.

Semenjak akhir abad ke-18 inilah perkembangan studi mengenai awal lahirnya bahasa mulai menemukan gairahnya kembali. Dimana, spekulasi mengenai asal-muasal bahasa berpindah dari wawasan keagamaan, mistik, takhayul ke alam baru yang disebut organic phase. Ditandai dengan buku karya Johann Gottfried Von Herder pada 1772. Dalam bukunya tersebut Von Herder mengemukakan, tidaklah benar bahasa sebagai anugrah Ilahi, menurutnya bahasa lahir karena dorongan manusia untuk mencoba-coba berpikir. Bahasa adalah akibat hentakan yang secara instingtif seperti halnya janin dalam proses kelahiran. Teori ini bersamaan dengan mulai timbulnya teori evolusi manusia yang diprakarsai oleh Immanuel Kant (1724-1804) yang kemudian disusun oleh Charles Darwin (E. Herniti 2010:112).

Modernitas

Manusia menurut Aristoteles (Dalam Ibnu Malik 2018) adalah Animal Rationale, hewan yang berpikir. Berpikir bagi Aristoteles berarti mampu berbicara atau bisa berbahasa. Berbicara artinya mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Pemikiran Aristoteles ini praktis menjadi basis dari tradisi pemikiran barat. Kalaupun ada yang berbeda itu hanya modifikasi.

Sejak perpindahan dari fase origin ke fase organis yang dalam filsafat umum di sebut sebagai renaisance, memberi dampak besar dalam perkembangan peradaban manusia. Dimana manusia merasa perlu untuk memisahkan antara ranah Agama dan Ilmu Pengetahuan, yang pada masa sebelumnya (abad pertengahan) ilmu pengetahuan dicengkram oleh gereja.

Di era ini, kiranya perlu mencermati peran sangat penting bahasa, dan lebih-lebih bahasa tulis dalam kemajuan peradaban, tidak mengherankan kalau sosiolog terkemuka Talcott Parsons juga menempatkan pemilikan bahasa sebagai salah satu tahap paling kritis berkembanganya peradaban. Selengkapnya, talcott parsons berpendapat ada lima tahapan perkembangan kebudayaan, yaitu: (1) kebudayaan primitive, (2) kebudayaan baca-tulis, (3) kewarganegaraan luas, (4) filsafat dan kesusastraan, (5) kebudayaan berkaidah hukum dan agama universalistic.

Zaman modern ditandai dengan kemajuan pengetahuan manusia, kemajuan itulah secara tidak langsung mendorong studi tentang bahasa, bahwa bahasa dituntut untuk mampu membahasakan seluruh pengetahuan yang manusia miliki. Karena itu, fakta memaksa kita untuk menyimpulkan, bahwa di samping begitu berjasa dalam sejarah perkembangan pengetahuan manusia, ternyata begitu terbatas kemampuan bahasa untuk digunakan sebagai piranti pengungkap seluruh pengetahuan manusia. Lebih dari itu, bahasa juga telah membatasi manusia dalam mengungkapkan kenyataan sebagaimana adanya. Jadi, bahasa memiliki sifat reduksionis (Mudjia Rahardjo 2006:10).

Pandangan yang tergolong baru adalah Brooks (1975). Menurutnya, bahasa lahir pada waktu yang sama, yaitu ketika manusia ada. Berdasarkan temuan antropologi, arkeologi, biologi, sejarah, dan manusia. Bahasa dan budaya secara bersamaan lahir untuk pertama kalinya di tenggara Afrika lebih kurang dua juta tahun lalu. Namun, menurut Brooks, walaupun bahasa manusia diperkirakan lahir dua juta tahun lalu, tetapi kelahiran bahasa bagi manusia bermula ketika ia berusia 18 bulan dan mencapai bentuk yang hampir sempurna ketika berumur 4 tahun.

Jadi, setiap bahasa adalah milik manuisa, manusia berhak atas seluruh bahasa di dunia ini. Di sisi lain, dengan kesatuan realitas manusia juga dituntut untuk berada dalam satu kesamaan bahasa. Tidaklah mustahil jika suatu saat di dunia ini hanya akan ada satu bahasa penghubung. Manusia bebas untuk menggunakan bahasa apapun, kecuali, memang yang dipertahankan adalah bangunan kebudayaan yang berdiri di atas bahasa tersebut.

Penulis: Angga Kahfi