Pusat Kajian Filsafat dan Teologi (PKFT) Tulungagung, tadi malam (16/11) kembali menggelar agenda yang Insya Allah akan menjadi rutinitas Mingguannya: KOBAM#1 (Kongkow Bareng Jum’at Malam) dengan tema "Berebut Wacana: Hilangnya Etika Komunikasi di Ruang Publik Dunia Maya."

foto diambil pada saat acara berlangsung oleh salah satu peserta diskusi.

Sebuah program yang dilatar-belakangi kegelisahan tentang lenyapnya nilai etika komunikasi dalam konteks dunia maya. Media sosial misalnya, menjadi gelanggang baru untuk menebar narasi-narasi kebencian dan hoaks.

Acara ini diawali dengan sambutan dari Direktur Pusat Kajian Filsafat dan Teologi (PKFT) Nanda Royansyah. Dalam sambutanya, ia menyampaikan bahwa acara ini akan dilaksanakan rutin setiap Jum’at malam dengan tema-tema lain yang tak kalah menarik. Sehingga acara ini menjadi program rutin yang tidak hanya diperuntukkan untuk kalangan tertentu melainkan semua kalangan yang mencintai ilmu.

Acara dimoderatori oleh Regita Farani, mahasiswi Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) IAIN Tulungagung yang mendampingi pemantik: Saiful Mustofa. Sebelum masuk ke acara inti moderator memberikan sedikit genealogi tentang seperti apa isi materi pada malam itu, terutama berkaitan dengan background of studies pada materi yang bakal disampaikan oleh pemantik.

Saiful Mustofa kemudian menjelaskan secara bertahap mulai dari pengertian wacana, latar belakang munculnya perebutan wacana dalam rentang waktu sejak momentum Pipres 2014-sekarang, sampai dengan landasan epistemologi bagaimana etika diskursus Habermas dijadikan pisau analisa untuk membedah wacana dan fenomena-fenomena kegaduhan "mabuk kekuasaan" yang dibalut simbol-simbol agama itu.

Diskusi yang dihadiri oleh teman-teman dari PMII, HMI dan komunitas-komunitas di sekitar IAIN Tulungagung itu riuh dengan antusiasme peserta. Sesekali narasumber melempar pertanyaan kepada peserta, "Sesungguhnya apa motif kegaduhan publik (dunia maya) yang merembet menjadi aksi-aksi bela agama dan pembakaran bendera itu?"

Saiful Mustofa menggambarkan perebutan wacana diruang publik (public sphere) dunia maya semacam kontestasi, bahkan perang antara wacana dominan untuk menentukan siapa yang paling berpengaruh dan punya klaim-klaim kesahihan (validity claims).

Dalam pemaparannya ia juga menyebutkan bahwa "perang wacana" dalam konteks politik-kekuasaan mengalami peningkatan yang signifikan seiring menguatnya hoaks, hate speech dan isu-isu berbau SARA. Baik dari masing-masing kubu petahana dan oposisi melancarkan hoaks dengan begitu masifnya sehingga publik dijadikan lahan untuk kontestasi kekuasaan.

"Data yang saya dapat dari Masyarakat Telematik Indonesia (MASTEL) tahun 2017 meyebutkan bahwa jenis hoaks yang paling besar dan sering diterima masyarakat adalah sosial politik (91,81%), SARA (88,60%), dan disusul dengan isu kesehatan, makanan, penipuan keuangan dst," tuturnya.

Di sisi lain, menurut pria yang dikenal juga sebagai penulis dan editor itu, konsep Habermas tentang ruang publik dalam pengertian politis (political public sphere) dikaitkan dengan gerakan radikalisme agama masih sangat relevan bagi praktik demokrasi di Indonesia. Sebab bagi Habermas, di dalam ruang publik seharusnya tidak ada satupun tradisi, budaya dan agama yang dapat mengklaim komitmen etisnya sebagai norma bagi semua pihak. Ruang publik harus menjadi lokus penyatuan yang dapat mendamaikan konflik, klaim persaingan, perdebatan dalam konteks komunikasi yang setara dan bebas dari dominasi kekuasaan.

Dalam kongkow kali ini, peserta diajak untuk langsung praktik menganalisa kasus Ahok, pembakaran bendera bertuliskan kalimat tauhid, tampang Boyolali dan aksi bela tauhid yang sempat viral dan menjadi trending topic. 

Kesimpulannya, semua tulisan ataupun potongan video-video yang disebar oleh masing-masing kubu mengalami kematian rasionalitas komunikatif atau distorsi komunikasi lantaran di dalamnya tak terdapat setidaknya tiga klaim kesahihan: kebenaran, ketepatan, dan kejujuran, dan dalam hal ini, komunikasi yang sehat tidak terjadi.

Acara yang dihadiri tak kurang dari 45 orang itu berlangsung hingga setengah satu dini hari dan ditutup dengan sebuah kesadaran bersama untuk tetap merawat akal sehat dan menjaga kerukunan antar sesama.

Laporan oleh: Surahmat Al-Azis