Sudah lebih dari setengah abad masyarakat Indonesia mengenyam kemerdekaan, berdiri sendiri tanpa komando memaksa dari negara-negara adidaya seperti halnya pada masa-masa penjajahan. Masa dimana pribumi layaknya tamu di negara sendiri. Masa dimana pribumi harus rela dan ikhlas hasil kerja jerih payah memanggang kulit di sawah dirampas oleh orang-orang berambut pirang. Tanpa sedikit pun belas kasihan. 

Berangkat dari kondisi sulit dan perut yang melilit, bermunculan pahlawan dari berbagai ras, suku dan latar belakang pendidikan berbeda-beda. Bahkan latar belakang tingkat sosial yang berbeda-beda pula. Mereka dengan semangat berapi-api memelopori perjuangan segenap rakyat Indonesia mengusir para penjajah yang biadab dan tidak beradab dari bumi kesayangan Indonesia. Dengan kegigihan sepenuh hati dan kesungguhan berlapis baja, perlahan namun pasti penjajah berhasil dilumpuhkan dan melangkah mundur dari bumi pertiwi. 

Sedikit bergeser ke peristiwa lain, aksi heroik pejuang di ujung Pulau Jawa tak kalah seru dengan aksi merampas kemerdekaan. Ya, sebaris peristiwa yang sekarang dikenal dengan nama Hari Pahlawan Nasional yang diperingati setiap tanggal 10 November. Peristiwa tersebut yaitu Pertempuran Surabaya. Pertempuran arek-arek Suroboyo (anak-anak Surabaya) dengan tentara Inggris yang ada di Surabaya. Pertempuran ini dipicu oleh adanya paksaan melalui selebaran yang disebarkan di atas langit Surabaya pada tanggal 27 Oktober 1945 oleh tentara Inggris dari Jakarta kepada para tentara dan milisi Indonesia untuk menyerahkan senjata mereka. Kemudian terjadilah peperangan dari yang kecil sampai besar antara warga Indonesia dengan tentara Inggris.

Peperangan terus berlanjut sampai tanggal 28 Oktober 1945 dan menewaskan 200 orang. Karena hal inilah, tentara Inggris dan petinggi Indonesiapada tanggal 29 Oktober 1945mengadakan negosiasi mengenai gencatan senjata. Pada saat itu Indonesia diwakili oleh Soekarno, Hatta dan Amir Syarifudin Harahap. Meskipun sudah diadakan diskusi mengenai gencatan senjata, pertempuran belum juga berhenti. Hal ini dipicu karena tidak adanya rasa saling percaya dari kedua belah pihak. 

Pertempuran mencapai puncaknya saat tentara Inggris Mallaby. R.C Simth untuk daerah Jawa Timur tertembak mati oleh sekelompok milisi Indonesia di daerah dekat Jembatan Merah. Hal ini memantik amarah Philip Christison Letnan Jendral tentara Inggris. Pasalnya saat itu Mallaby. R.C Simth hendak menyampaikan kesediaan tentara Inggris untuk melakukan gencatan senjata. Pertempuran pun tidak dapat dihindari lagi. Bahkan lebih besar dari pertempuran-pertempuran sebelumnya. 

Pada tanggal 10 November, pasukan Inggris mulai maju secara metodikal di sepanjang kota dengan menggunakan bombardir laut dan udara sebagai pelindung mereka. Terlepas dari perjuangan rakyat Indonesia yang luar biasa, hampir seluruh kota Surabaya berhasil diduduki dan pertempuran diakhiri setelah tiga minggu pada 29 November.Tentara Indonesia mengalami kekalahan dengan jumlah korban yang lebih banyak dari pada tentara Inggris, yaitu Indonesia sekitar 6.000-15.000 jiwa sedangkan tentara Inggris hanya 600 jiwa. 

Dari rentetan peristiwa diatas, ada hal yang penting untuk kita ingat, yaitu tentang adanya rasa saling percaya sehingga tidak terjadi suatu kesalahpahaman.Betapa kesalahpahaman yang biasanya dianggap sebagai suatu hal yang remeh bisa memantik peperangan yang begitu dahsyat. Seperti kesalahpahaman yang terjadi antara tentara Indonesia dengan pasukan Jenderal Mallaby.

Lantas, apa benang merah antara Hari Pahlawan Nasional berpuluh tahun yang lalu dengan zaman millenial seperti sekarang ini? 

Dewasa ini tidak bisa dipungkiri lagi bahwasanya Indonesia tengah berada dalam masalah yang cukup serius dalam hal persatuan dan kesatuan. Maraknya teriakan fanatik terhadap suatu golongan merambah dimana-mana, hampir di seluruh pelosok negeri. Padahal nyatanya Indonesia mencakup berbagai ras dan golongan dari Sabang sampai Merauke. Belum lagi berita yang beredar secara bebas di media sosial yang provokatif dan belum tentu valid kebenarannya (hoax). Menjadi bumbu penyedap yang melenakan sekaligus menghanyutkan. Jika tidak segera ditangani maka bisa menimbulkan masalah yang serius, bahkan sampai perpecahan NKRI. Bukankah ini terdengar mengerikan? Akankah kita tega merobohkan begitu saja kemerdekaan yang dengan terseok-seokk digapai oleh para pendahulu kita? 

Maka selaku generasi muda yang mengemban amanah mempertahankan kemerdekaan, sudah sepatutnya untuk meningkatkan rasa mawas diri, tidak menerima mentah-mentah apa yang tersebar pemberitaan media. Akan tetapi menyelami dulu lebih dalam tentang apa yang sebenarnya terjadi. Apalagi mahasiswa yang mendapat gelar The Agent of Change. Harusnya membawa NKRI kepada peningkatan kualitas kemerdekaan yang lebih baik. Memberikan pembaruan-pembaruan yang positif terhadap NKRI.

Oleh: Siti Fauziyah
Penulis adalah Mahasiswa aktif kampus Unipdu Jombang semester tujuh dari jurusan Tadris Matematika

Tulisan ini pernah dimuat dalam Buletin Aufklarung yang diterbitkan setiap hari Kamis oleh PKFT Tulungagung dan diikut sertakan dalam lomba menulis kreatif dalam rangka memperingati Hari Pahlawan yang diadakan oleh Pusat Kajian Filsafat dan Teologi Tulungagung pada November 2017